My Sweet Home

Mencari dan Menggali Ide di Sekitar Kita

Mencari dan Menggali Ide di Sekitar Kita
Oleh : Haya Aliya Zaki



Biasanya, kesulitan yang sering mendatangi penulis pemula adalah bagaimana mendapatkan ide dan menuangkannya ke dalam tulisan. Ada yang bengong sepanjang hari, ada yang bertapa di tempat sepi, sampai kucel karena nggak mandi berhari-hari (ini sih nggak ada hubungannya!) demi menanti sepotong ide jatuh dari langit. Syukur alhamdulillah kalau ide bisa didapatkan dengan cara seperti itu. Tapi, bagi yang tidak termasuk dalam kelompok tadi, jangan sedih dulu, jack! Banyak jalan menuju Roma kan? Banyak cara untuk mencari dan menggali ide. Dimana? Gimana caranya? Gampang kok! Ide itu ada di sekitar kita!

Ide ada dimana-mana

Menurut Arswendo Atmowiloto (Mengarang Itu Gampang, Gramedia, 2004), ide berawal dari ilham. Kalau batin kita sudah terkena letikan, maka semua yang dilihat, bisa saja menjadi ide. Oya, pengertian ‘melihat’ di sini, tidak selalu berarti melihat dengan mata sendiri secara langsung. Bisa dari mendengar, merasa, membaca, dan mencium, jelas Wendo. Pokoknya kita memaksimalkan panca indra kita terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar kita (tambahkan indra batin kalau bisa).

Jadi sebenarnya, kalau kamu mau lebih peka pada lingkungan sekitar, kamu nggak akan pernah kekeringan ide. Coba perhatikan tingkah temanmu yang sedang terpanah asmara. Gaya mengajar guru-gurumu di sekolah, mungkin ada yang galak (ehm!), ada juga yang humoris dan selalu tersenyum. Amati repotnya ibumu di rumah, mengurus dan menyiapkan kebutuhanmu setiap hari. Atau, amati juga polah adikmu yang masih balita. Semuanya bisa menjadi ide lho!

Mungkin kamu-kamu bertanya, apa istimewanya sih kejadian-kejadian tadi? Plis, deh! Eit, jangan under estimate dulu dong. Semuanya bisa diangkat menjadi cerita yang menarik. Tinggal bagaimana kemampuan kita untuk menggali ide itu lebih dalam. Yuk!

Menggali ide

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menggali ide. Poin-poin di bawah ini bisa kamu ikuti.

1. Observasi

Wawancaralah dokter, guru, pedagang sayur, pemulung, atau siapa saja yang kamu butuhkan pengalaman dan pengetahuannya untuk bahan tulisanmu. Bagaimana mungkin kita bisa menulis kisah tentang seorang dokter dengan baik jika kita tidak pernah minimal mengenal dokter dan ngobrol sejenak dengannya?

Sobat muda, mari kita simak pengalaman menarik penulis Gola Gong berikut ini. Dengan bermodal sekilo jeruk atau apel, ia pernah beberapa kali mendatangi pasien yang sedang sendirian di rumah sakit, karena tidak ditengok oleh kerabatnya. Ia menjadi teman si pasien dan berempati dengan penyakit mereka. Gola Gong ‘mewawancarai’ pasien-pasien tadi. Selama ini, ia mengaku kehadirannya tidak pernah ditolak karena ia bukan saudara. Bahkan mereka merasa senang dijenguk. Dari ‘wawancara’ tadi, Gola Gong tidak hanya bisa menggali ide lebih dalam. Tapi ia banyak mendapatkan pelajaran berharga yang lebih mahal dari sekilo jeruk atau apel! Sungguh bermanfaat untuk mengisi ceruk jiwa (MATABACA, September 2005).

2. Membaca

Seperti yang kita tahu, ayat yang pertama kali diturunkan Allah membawa perintah : membaca. Dalam Al Quran surat Al Alaq ayat 1-5, membaca dikaitkan dengan al-qalam yang berarti “pena”. Menggoreskan pena bermakna menulis. So, you see, membaca dan menulis emang udah jadi satu paket! Hubungan keduanya sangat erat, tidak mungkin dapat dipisahkan.

Membaca adalah observasi dalam bentuk lain. Membaca memberikan banyak ilmu, wawasan, dan membuka cakrawala berpikir. Karena itu, dengan membaca, ide-idemu akan lancar mengalir dari isi kepala dan sanubarimu.

Sebagai contoh sederhana, artikel saya yang berjudul Gosip…oh, Gosip…! (pernah dimuat di rubrik TRP Analisa). Saya mendapatkan idenya dari melihat tetangga yang gemar bergosip (tapi saya nggak ikutan nggosip lho hihihi…) dan tayangan infotainment yang marak di televisi. Setelah itu saya bergerak, mencari sumber-sumber yang kredibel (dapat dipercaya) dan bisa dipertanggungjawabkan untuk ‘menjinakkan’ ide saya tadi. Bisa dari Al Quran, hadits, koran, buku, majalah, kamus, dan lain-lain. Oya, saya terbiasa mengkliping artikel yang saya anggap menarik. Dan ternyata, itu sangat berguna! Kliping menjadi salah satu sumber referensi andalan, yang membuat materi tulisan semakin kaya. Makanya, sayang banget kan kalau ide yang udah nyantol di kepala, menguap begitu aja karena kita malas mencari referensi?

Lalu bagaimana dengan karya fiksi? Sekali pun mengarang fiksi, kamu juga butuh data dan pengetahuan yang matang. Imajinasi saja tak cukup. Tujuannya agar karyamu terlihat nyata di mata pembaca. Jangan sampai ngawur dan benar-benar terkesan ‘ngarang’. Bisa-bisa kamu dianggap tidak profesional. Kan berabe jadinya!

3. Jalan-jalan

Mungkin sebagian dari kamu sudah ada yang mendapat ide, misalnya kisah si A yang tinggal di kota Jakarta. Kamu tidak bisa hanya menceritakan tentang si A yang tinggal di kota Jakarta. Titik. Bagaimana sudut kota Jakarta, penduduknya, gedung-gedung pencakar langitnya, dan lain-lain, harus dijelaskan juga. Tujuannya agar tulisanmu terasa hidup. Kamu pasti tahu dong, pengarang Sidney Sheldon? Membaca novel-novelnya, kita serasa diajak ‘piknik’. Betapa menyenangkan membaca karya yang seperti itu! Nah, kamu punya beberapa alternatif cara untuk mewujudkannya.

Yang pertama, dengan jalan-jalan. Mungkin kamu pernah mendengar nama penulis Novia Syahidah. Doi adalah penulis yang kerap bercerita dengan latar (tempat dan budaya) yang berbeda-beda. Novia mengaku, bahwa ia lebih sering berangkat dari latar, baru menentukan ide cerita yang akan ia garap. Baginya, jalan-jalan ke suatu daerah sangat membantunya dalam menggali dan menuangkan ide cerita. Bila bepergian, buku catatan dan sebuah peta selalu tergenggam dalam tangannya. Semua diperhatikan Novia dengan sungguh-sungguh. Mulai dari nama-nama jalan, tempat bersejarah, penduduk, budaya, tradisi, sampai sisi-sisi unik lain dari daerah tersebut. Tekadnya, setiap pulang ia harus ‘membawa sesuatu’ untuk ditulis (Proses Kreatif Penulis Hebat, Dar! Mizan, 2003).

Yang kedua, bisa dengan cara menjelajah internet. Jadi tidak harus selalu melakukan perjalanan secara fisik lho. Ada penulis yang bisa melukiskan latar suatu daerah dengan baik padahal ia sama sekali belum pernah berkunjung ke daerah tersebut. Ternyata, tulisannya itu adalah hasil kejeliannya memanfaatkan teknologi canggih internet. Udah ‘jalan-jalan’ jauh, biayanya murah lagi! Hehehe…

4. Menulis buku harian

Kalau biasanya kamu curhat ke temen atau ortu, mulai sekarang cobalah curhat ke…buku harian! Pasti seru! Tulislah sesuatu yang unik dan menyentuh hatimu (berdasarkan apa yang kamu lihat, kamu rasa, dan kamu alami). Selain untuk menyalurkan luapan emosi, menulis buku harian ibarat ‘menabung’ ide. Goresan penamu di sana, bisa menjadi ‘stok’ bahan cerita untuk kamu tuliskan kelak. Dijamin deh kamu nggak akan pernah kehabisan bahan!

Ingat, kunci utama, selalu buka mata, pasang telinga, dan pertajam rasa. Setelah dapat, galilah idemu agar menjadi lebih kaya, berkembang, lalu disampaikan melalui media tulisan. Berlatih dan terus berlatih. Yakinlah dengan hasilnya. Kamu akan takjub sendiri!***

(dari : sahabat FBku Haya Aliya Zaki)
author

a wife, a mom, a blogger, a survivor of ITP & Lupus, a writer, author, a counselor of ITP & Lupus autoimmune, a mompreuneur, a motivator, a lecturer.