My Sweet Home
author

Mari Kita Merenung

bismillahir-Rahmanir-Rahim

Pernahkah Anda mengetik di komputer dan tiba-tiba listriknya padam? Kemudian ketika listrik kembali hidup, kita memeriksa hasil ketikan tadi. Kita merasa kecewa. Karena hasil ketikan yang telah kita buat sebelum listrik padam banyak yang hilang, banyak yang belum ter-save. Kita belum sempat mem-back up file tersebut. Walhasil kita melakukan perbuatan, namun tidak terlihat hasilnya. Seolah perbuatan kita sia-sia.

Bila ini terjadi, kita merasa kesal. Karena tulisan yang telah diketik, merupakan hasil perenungan kita, berasal dari ide yang terlintas di benak atau telah tertata dalam kata-kata yang apik dan tepat. Bisa jadi tulisan yang telah diketik merupakan hasil terjemahan yang telah diramu dan diungkapkan dengan bahasa Indonesia yang tepat dan sesuai EYD.

Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong." (QS Ali Imran (3):21-22)

Allah berfirman, "Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat (karena tidak ada lagi pahala amal yang tersisa,pentj)." (QS Al-Kahfi (18):105)

Adakah persamaan kondisi di atas dengan dua ayat ini? Ada. Apa persamaannya?
Persamaannya; sama-sama melakukan perbuatan, namun tidak ada hasilnya. Sudah mengetik susah payah hingga beberapa halaman, namun hasilnya tidak terlihat. Karena belum sempat di-save.

Sudah melakukan perbuatan yang dianggap baik, tapi ternyata ketika menghadap Allah, hasil (pahala) dari perbuatan atau amal itu tidak ada. Mengapa pahala amal shalih dapat hilang, bisa terhapus? Dua ayat di atas sudah menjelaskan mengenai penyebabnya.

Oleh karenanya berhati-hatilah lantaran berbagai penyebab yang dapat melenyapkan atau menghapus pahala amal-amal shalih. Bukankah sakit hati, kesal; ketika kita sudah mengetik beberapa halaman, namun hasilnya tidak ada. Karena kita belum sempat men-save, sebelum lampu atau listrik mati.

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda, "Kedengkian, iri hati dapat memakan/melenyapkan berbagai kebaikan, seperti api membakar kayu bakar." (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kedengkian itu seperti letikan api yang menyambar kayu bakar atau seperti bara puntung rokok yang terkena bensin. Terlihat kecil tapi dapat banyak memakan korban, begitulah karakter api dan demikian pula karakter dari kedengkian.

Sebelum kedengkian itu dapat padam, maka kedengkian itu akan terus menghabiskan kebaikan yang kita miliki. Berhati-hatilah pada kedengkian.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw pernah bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut (pailit)?" Mereka menjawab, "Menurut kami, orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan." Rasulullah Saw bersabda, "Umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa dan zakat, tetapi dia pernah memaki, menuduh dan makan harta orang lain, serta pernah membunuh dan menyakiti orang lain, kemudian pahalanya diambil untuk diberikan kepada masing-masing orang dari mereka (yang dimaki, dituduh, yang hartanya diambil, yang dibunuh dan disakiti,pentj) sehingga pahalanya habis padahal tuntutan mereka (yang dimaki, dituduh, yang hartanya diambil, yang dibunuh dan disakiti,pentj) banyak yang belum terpenuhi, akhirnya sebagian dosa dari masing-masing mereka diambil untuk dibebankan kepada orang itu, lalu dia dilemparkan ke neraka." (HR Muslim, kitab tentang Kezaliman)

Berhati-hatilah dalam berinteraksi, bermuamalah dan bergaul dengan orang lain. Jangan sampai kita memaki, menuduh atau menyakiti hati orang lain. Bayangkanlah! Jika kita (na'udzu billahi min dzalik) yang termasuk kategori orang yang bangkrut. Kita mempunyai pahala shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya. Namun di samping itu, kita juga kerap berbuat dzalim (na'udzubillah min dzalik). Apakah pahala shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya dapat menutup tuntutan dari kedzaliman yang pernah dilakukan? Untuk selanjutnya silahkan bayangkan sendiri!

Pesan-pesan yang terdapat dalam ayat dan dua hadits di atas merupakan pesan yang harus diwaspadai. Jangan sampai kebaikan kita seperti kayu bakar yang dimakan api. Jangan sampai kebaikan kita seperti hasil ketikan yang belum sempat di-save. Padahal kita telah menghabiskan tenaga, waktu dan harta yang tidak sedikit untuk berbuat baik.

(dari : sahabatku Mas Yan)
author

Siapa Yang Melakukan Kejahatan, Maka Ia Sendiri Yang Akan Menuai Akibatnya

Siapa Yang Melakukan Kejahatan, Maka Ia Sendiri Yang Akan Menuai Akibatnya

Dikisahkan bahwa para pembantu sebagian raja menemukan seorang bocah di sebuah jalan, lalu mereka mengambilnya. Mengetahui hal itu, sang Amir memerintahkan agar bocah tersebut dididik dengan baik dan dijadikan bagian dari keluarga istana. Ia lantas memberinya nama ‘Ahmad al-Yatim’ (Ahmad Si Yatim).

Tatkala ia semakin tumbuh menjadi remaja, tampaklah padanya tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran. Karena itu, sang raja menggambleng akhlaqnya dan memberikan pengajaran kepadanya. Dan ketika ajalnya sudah dekat, ia berwasiat kepada putra mahkotanya agar menjaga anak ini, maka ia pun dimasukkan ke dalam istana kerajaan, menjadi orang pilihan dan diambil janjinya untuk tetap setia sebagai pembantu yang amanah. Setelah itu, pangkatnya dinaikkan menjadi pemutus perkara yang terjadi di antara para pembantu Amir (putra mahkota) dan pengontrol jalannya urusan istananya.

Pada suatu hari, sang Amir menyuruhnya untuk menghadirkan sesuatu di sebagian biliknya. Maka pergilah ia ke sana untuk mengambilnya, namun secara tak sengaja ia memergoki salah seorang dari para pelayan wanita yang bekerja khusus untuk sang Amir tengah berduaan dengan seorang pemuda dari kalangan para pembantu, melakukan perbuatan mesum dan berzina. Menyadari dirinya kepergok, si pelayan wanita ini memelas kepadanya agar merahasiakan kejadian tersebut dan berjanji akan memberinya semua yang diinginkannya seraya menggodanya dengan tujuan agar rahasianya tidak dibocorkan akan tetapi ia malah berkata kepada si pelayan wanita tersebut, “Aku berlindung kepada Allah dari melakukan khianat terhadap sang Amir dengan berzina padahal dia telah berbuat baik padaku.” Kemudian ia meninggalkan pelayan wanita tersebut dan berpaling darinya sementara dalam hatinya, ia berniat untuk tidak membocorkan rahasia tersebut.

Rupanya, si pelayan wanita tersebut merasa ketakutan lebih dahulu dan membayangkan seakan Ahmad al-Yatim akan membocorkan rahasianya kepada sang Amir. Karena itu, ia menunggu kedatangan Amir ke istananya, kemudian pergi ke sana sambil menangis-nangis dan mengadu. Lalu Amir menanyakan kepadanya apa gerangan yang terjadi.? Dia mengatakan bahwa Ahmad al-Yatim telah menggodanya dan ingin memaksanya untuk melakukan zina. Begitu mendengar pengaduan itu, marah besarlah sang Amir pada Ahmad dan berniat untuk membunuhnya. Kemudian, beliau pun membuat rencana pembunuhan tersebut secara terselubung agar tidak ada orang yang tahu mengenai kematiannya nanti dan apa sebab terbunuhnya.

Untuk itu, sang Amir berkata kepada pembantunya yang paling senior, “Bila aku utus kepadamu seseorang yang membawa nampan dan meminta kepadamu begini dan begitu, maka penggallah lehernya dan letakkan kepalanya di dalam nampan tersebut serta kirim lagi kepadaku.” Sang pembantu senior itu pun mengiyakannya dengan penuh kepatuhan.

Pada suatu hari, sang Amir memanggil Ahmad al-Yatim seraya berkata, “Pergilah ke fulan, si pembantu lalu katakanlah kepadanya begini dan begitu.”

Ia pun melakukan apa yang diperintahkan Amir tersebut dan langsung pergi, hanya saja di tengah perjalanannya dia bertemu dengan sebagian pembantu yang ingin agar ia menengahi perselisihan yang terjadi di antara mereka akan tetapi ia minta ma’af karena ada halangan dengan mengatakan bahwa ia sedang mengemban tugas dari Amir. Mereka menahannya seraya berkata, “Kami akan mengirim fulan, si pembantu untuk menggantikanmu dan melakukan apa yang diminta darimu untuk melakukannya tersebut sehingga kamu bisa memutuskan perselisihan di antara kami ini.” Maka dia pun mengabulkan permintaan itu dan mereka pun mengirim seorang pembantu di antara mereka untuk menggantikannya. Ternyata, orang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pemuda yang telah berbuat zina dengan si pelayan wanita tersebut.

Tatkala orang ini pergi ke tempat yang telah ditentukan, ketua pembantu yang senior itu membawanya pergi ke suatu tempat yang telah dipersiapkannya dan setibanya di sana, ia segera memenggal lehernya dan meletakkan kepalanya ke dalam nampan lalu menutupnya. Setelah itu, ia membawanya ke hadapan Amir. Saat sang Amir melihat nampan tersebut, ia mengangkat tutupnya namun betapa terperanjatnya ia karena ternyata yang ada di dalamnya itu bukanlah kepala Ahmad al-Yatim. Karena itu, sang Amir langsung memanggil para pembantu agar menghadirkan Ahmad, lalu menanyakan kepadanya kenapa bisa terjadi demikian. Maka, ia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi sehingga posisinya digantikan oleh pembantu yang lain. Sang Amir pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu apa dosa yang dilakukan si pembantu ini.?”
“Ya, dia telah melakukan ini dan itu bersama si pelayan wanita, lalu kembali dan mereka berdua memintaku atas nama Allah agar merahasiakan kejadian itu,” katanya.

Begitu mendengar penuturannya, sang Amir memerintahkan agar si pelayan wanita tersebut pun dieksekusi juga.

Akhirya, suasana seperti semula kembali lagi menyeruak ke dalam kehidupan Ahmad. Ia semakin mendapatkan kecintaan dan penghormatan dari sang Amir.

Alhasil, inilah buah dari kesetian dan sebaliknya akibat dari perbuatan khianat. Allah Ta’ala berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya."(Q.s.,Faathir:43)

(SUMBER: Mi`atu Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.33-35)
Ucapan Ini Merupakan Amal Sholeh dan Amal Sholeh pun Akan Mengucapkannya
author

Ucapan Ini Merupakan Amal Sholeh dan Amal Sholeh pun Akan Mengucapkannya



Author: Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah

Ucapan ini adalah amalan sholeh dan kelak amal sholeh pun akan mengucapkannya…

Ucapan ini bagi yang mengucapkannya adalah ibadah. Karena ucapan ini adalah sebuah doa dan doa itu adalah ibadah.

Adapun bagi yang menerimanya, ucapan ini adalah sebuah kalimat yang sangat baik.

Membuat wajah ingin tersenyum dan membahagiakan hati…

Ucapan ini lebih manis daripada “Syukron”…

Dan lebih bermanfaat daripada “terima kasih”…

Dan sangat tepat diucapkan oleh seseorang yang ingin menyampaikan kepada temannya bahwa ia tidak mampu membalas kebaikannya.

Ucapan yang dimaksud adalah: “Jazakallohu khoiron” (semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan) atau “Jazakillahu khoiron” jika yang diberi ucapan adalah wanita.

Ucapan ini adalah amalan sholih karena ucapan ini merupakan sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid, ia berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا؛ فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاء

Barang siapa yang diberi suatu kebaikan kepadanya, lalu ia mengucapkan kepada orang yang memberi kebaikan tersebut: “Jazakallohu khoiron”, maka sesungguhnya hal itu sudah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.

[HR. at-Tirmidzi no. 1958, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubro 6/53, dll. Dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani rohimahullohu ta’ala dalam Shohih at-Targhib wat Tarhib (969).

Dalam Faidhul Qodir (172/6) dijelaskan: “telah mencukupi rasa syukurnya” maksudnya adalah hal tersebut karena pengakuan terhadap kekurangannya, dan ketidakmampuan dalam membalas kebaikannya, dan mempercayakan membalas kebaikannya pada Alloh agar ia mendapatkan balasan yang sempurna.

Berkata al-allamah al-Utsaimin rohimahulloh dalam Syarah Riyadhus Sholihin : “Hal itu dikarenakan jika Alloh membalas kebaikannya dengan kebaikan, hal itu merupakan kebahagian baginya di dunia dan akhirat.”

Cara Menjawabnya

Dan yang utama dalam menjawab kalimat yang bagus ini adalah dengan mengulang kalimat tersebut yakni membalasnya dengan mengatakan : “wa anta fajazakallohu khoiron” atau yang semisalnya. Walaupun membalasnya dengan ucapan “wa iyyakum” dan yang semisalnya adalah boleh-boleh saja, namun yang lebih afdhol adalah membalas dengan mengulang lafadz doa tersebut. Sebagaimana difatwakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafidzohulloh:

السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟

Pertanyaan: Apakah ada dalil bahwa membalasnya (ucapan jazakallohu khoiron) adalah dengan ucapan “wa iyyakum”?

فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول :(وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى

(مفرغ من شريط دروس شرح سنن الترمذي ,كتاب البر والصلة ,رقم:222)

Beliau menjawab: “Tidak, sepantasnya dia juga mengatakan “wa jazakallohu khoiron” (dan semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan), yaitu didoakan sebagaimana dia mendoakan, dan seandainya ia mengucapkan semisal “wa iyyakum” sebagai athof (mengikuti) atas ucapan “Jazakum”, yakni ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, semoga kalian juga”.

Akan tetapi jika ia membalasnya dengan ucapan “antum jazakumulloh khoiron” dan mengucapkan dengan lafadz do’a tersebut, tidak diragukan lagi bahwa ini lebih jelas dan lebih utama.” [*] –selesai nukilan fatwa Syaikh Abdul Muhsin hafidzohulloh -

[*] Di transkrip dari kaset Durus Syarh Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Birr wash Shilah no. 222, oleh ustadz Abu Karimah hafidzohulloh. Sumber: http://ibnulqoyyim.com/content/view/36/9/, dengan perubahan dalam terjemahannya.

Dan dalil apa yang difatwakan Syaikh Abdul Muhsin di atas adalah sebagaimana dalam hadits berikut :

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu anhu ia berkata: Usaid bin al-Hudhoir an-Naqib al-Asyhali datang kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, maka ia bercerita kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tentang sebuah keluarga dari Bani Zhofar yang kebanyakannya adalah wanita, maka Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam membagi kepada mereka sesuatu, membaginya di antara mereka, lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berkata :

تركتَنا -يا أسيد!- حتى ذهب ما في أيدينا، فإذا سمعتَ بطعام قد أتاني؛ فأتني فاذكر لي أهل ذلك البيت، أو اذكر لي ذاك. فمكث ما شاء الله، ثم أتى رسولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طعامٌ مِن خيبر: شعيرٌ وتمرٌ، فقسَم النبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الناس، قال: ثم قسم في الأنصار فأجزل، قال: ثم قسم في أهل ذلك البيت فأجزل، فقال له أسيد شاكرًا له: جزاكَ اللهُ -أيْ رسولَ الله!- أطيبَ الجزاء -أو: خيرًا؛ يشك عاصم- قال : فقال له النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وأنتم معشرَ الأنصار! فجزاكم الله خيرًا- أو: أطيب الجزاء-، فإنكم – ما علمتُ- أَعِفَّةٌ صُبُرٌ

Engkau meninggalkan kami wahai Usaid, sampai habis apa-apa yang ada pada kami, jika engkau mendengar makanan mendatangiku, maka datangilah aku dan ingatkan padaku tentang keluarga itu atau ingatkan padaku hal itu.

Maka setelah beberapa saat, datang kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam makanan dari khoibar berupa gandum dan kurma, maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam membaginya kepada manusia. Ia berkata: kemudian beliau membaginya kepada kaum Anshor lalu makanan itupun menjadi banyak, lalu ia berkata: kemudian beliau membaginya kepada keluarga tersebut lalu makanan itupun menjadi banyak. Lalu Usaid pun mengucapkan rasa syukurnya kepada Nabi: “Jazakallohu athyabal jaza’ –atau khoiron- (Semoga Alloh membalasmu -yaitu kepada Rosululloh- dengan sebaik-baik balasan –atau kebaikan), Ashim (perawi hadits, pent) ragu-ragu dalam lafadznya, lalu ia berkata : Nabi shollallohu alaihi wa sallam kemudian membalasnya : “wa antum ma’syarol Anshor, fa jazakumullohu khoiron –atau athyabal jaza’- (dan Kalian wahai sekalian kaum Anshor, semoga Alloh membalas kalian dengan kebaikan –atau sebaik-baik balasan), sesungguhnya setahuku kalian adalah orang-orang yang sangat menjaga kehormatan lagi penyabar…”

[HR. an-Nasa’i no. 8345, ath-Thobroni dalam Mu’jam al-Kabir no. 567, Ibnu Hibban no. 7400 & 7402, Abu Ya’la al-Mushili dalam Musnadnya no. 908, dll. Dishohihkan syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 3096]

Begitu pula terdapat contoh atsar para salaf yang mengamalkan ucapan ini. Imam Bukhori rohimahulloh meriwayatkan dalam al-Adabul mufrod dengan sanadnya dari Abu Murroh, maula Ummu Hani’ putri Abu Tholib:

:أنه ركِبَ مع أبي هُريرة إلى أرضِه بالعقيق، فإذا دَخَلَ أرْضَهُ صَاح بأعلى صوتِه : عليكِ السَّلامُ ورحمةُ اللهِ وبركاتُه يا أُمتاه! تقول

وعليكَ السَّلامُ ورحمةُ اللهِ وبركاتُه، يقول: رحمكِ اللهُ؛ ربَّيْتِني صغيرًا

فتقول: يا بُنيّ! وأنتَ فجزاكَ اللهُ خيرًا، ورضي عنك؛ كما بَرَرْتَني كبيرًا

Bahwasanya ia berkendara bersama Abu Huroiroh ke kampung halamannya di ‘Aqiiq. Ketika ia sampai di rumahnya ia berkata dengan mengeraskan suaranya: “Alaikissalam warohmatullohi wabarokatuh wahai ibuku.”

Lalu ibunya berkata :” wa’alaikassalam warohmatullohi wabarokatuh.”

Ia berkata (bersyukur kepada ibunya, pent) : “Rohimakillah (semoga Alloh merahmatimu wahai ibu), engkau telah merawatku ketika aku masih kecil.

Maka ibunya berkata : “Wahai anakku wa anta fajazakallohu khoiron, semoga Alloh meridhoimu sebagaimana engkau berbuat baik kepadaku saat engkau sudah besar.

[HR. al-Bukhori dalam al-Adabul Mufrod no. 15, syaikh al-Albani rohimahulloh berkata: “sanadnya hasan” dalam shohih al-Adabul Mufrod no. 11]

Dalam Thobaqot al-Hanabilah diriwayatkan:

أنبأنا المبارك عن أبي إسحاق البرمكي حدثنا محمد بن إسماعيل الوراق حدثنا علي بن محمد قال: حدثني أحمد بن محمد بن مهران حدثنا أحمد بن عصمة النيسابوري حدثنا سلمة بن شبيب قال: عزمت على النقلة إلى مكة فبعت داري فلما فرغتها وسلمتها وقفت على بابها فقلت: يا أهل الدار جاورناكم فأحسنتم جوارنا جزاكم الله خيراً وقد بعنا الدار ونحن على النقلة إلى مكة وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته قال: فأجابني من الدار مجيب فقال: وأنتم فجزاكم الله خيرا ما رأينا منكم إلا خيرا ونحن على النقلة أيضاً فإن الذي اشترى منكم الدار رافضي يشتم أبا بكر وعمر والصحابة رضي الله عنهم.

Dari Salamah bin Syabib[**], ia berkata : aku ingin pindah ke Mekkah, lalu akupun menjual rumahku. Ketika urusannya selesai aku pamit kepada tetanggaku dan mengucapkan salam sambil berdiri di depan pintu rumahnya, aku berkata: “Wahai tetanggaku, kami telah hidup bertetangga dengan kalian dan kalianpun telah berbuat baik dalam bertetangga dengan kami, jazakumulloh khoiron, aku telah menjual rumah kami dan kami akan pindah ke Mekkah, wa’alaikumussalam warohmatulloh wa barokatuh.”

Lalu seseorang dari rumah itu menjawab: “wa antum fajazakumulloh khoiron, tidaklah kami melihat pada kalian melainkan kebaikan, tapi kami mau pindah juga karena ternyata yang membeli rumah kalian adalah seorang Rofidhoh (syi’ah) yang mencela Abu Bakr, Umar dan pada shahabat rodhiyallohu anhum.

[Thobaqot al-Hanabilah 1/65, Maktabah Syamilah]

[**] Salamah bin Syabib (W. 246 H) adalah seorang ulama salaf perowi hadits yang sezaman dengan imam Ahmad bin Hambal, adz-Dzahabi berkata tentang Salamah bin Syabib: “al-Hafidz, Hujjah”.

Dan Amal Sholeh pun Mengucapkannya

Hal ini terjadi di alam kubur, sebagaimana dalam sebuah hadits yang panjang yang diriwayatkan al-Barro’ bin Azib rodhiyallohu anhu, bahwa setelah seorang hamba yang beriman diuji (dengan pertanyaan dalam kubur, pent) dan ditetapkan dalam menjawab ujian:

يَأْتِيهِ آتٍ حَسَنُ الْوَجْهِ طَيِّبُ الرِّيحِ حَسَنُ الثِّيَابِ، فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِكَرَامَةٍ مِنَ اللهِ وَنَعِيمٍ مُقِيمٍ؛

فَيَقُولُ: وَأَنْتَ؛ فَبَشَّرَكَ اللهُ بِخَيْرٍ، مَنْ أَنْتَ؟

فَيَقُولُ: ”أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ، كُنْتَ –وَاللهِ!- سَرِيعًا فِي طَاعَةِ اللهِ، بَطِيئًا عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا.

:ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِنَ الْجَنَّةِ وَبَابٌ مِنَ النَّارِ فَيُقَالُ

…هَذَا كَانَ مَنْزِلَكَ لَوْ عَصَيْتَ اللهَ، أَبْدَلَكَ اللهُ بِهِ هَذَا

Datanglah seseorang dengan wajah yang baik, berbau wangi dan memakai baju yang bagus, lalu orang tersebut berkata: “Bergembiralah dengan kemuliaan dari Alloh dan kenikmatan yang abadi”, maka hamba yang beriman tersebut bertanya: “Wa anta fa basyarokallohu bi khoirin (dan semoga Alloh juga memberimu kabar gembira berupa kebaikan), siapakah anda?” lalu orang itu menjawab : “aku adalah amal sholehmu, engkau dahulu –demi Alloh- sangat cepat dalam ta’at kepada Alloh sangat lambat (menjauhi, pent) dalam maksiat kepada Alloh, fa jazakallohu khoiron”.

Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu dikatakan: “Ini (neraka) adalah tempatmu seandainya engkau bermaksiat kepada Alloh, dan Alloh telah menggantikan untukmu dengan yang ini (surga)…

[HR. Ahmad no. 17872, Abdurrozzaq dalam Mushonnaf-nya no. 6736,dll. Dishohihkan syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal.158]

Maka beruntunglah seorang hamba yang diberi taufik dalam kehidupan dunianya terhadap ucapan yang baik ini, baik ia mengucapkannya maupun ia menerimanya. Dan di akhiratnya ia mendapat kabar gembira dengan ucapan ini oleh amal sholehnya. Seandainya bukan karena keutamaan dan rahmat Alloh maka ia tidak mampu beramal sholeh.

Subhanalloh… Alloh Yang Maha Memberi Nikmat, memberikan nikmat berupa taufik kepada hamba-Nya untuk beramal sholeh, kemudian memberi nikmat lagi berupa menjadikan amal sholehnya memuji hamba tersebut…

Subhanalloh… hadits yang mulia ini juga mengingatkan kita untuk cepat dalam ta’at kepada Alloh dan menjauhi maksiat…

Semoga Alloh ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk mampu mengamalkan sifat yang mulia ini…

__________________

Maroji’ :

# Artikel “Hiya Amalun Sholih wa yaquluha al-Amal ash-Sholih” yang ditulis oleh salah seorang putri syaikh al-Albani, yaitu Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin al-Albaniyyah hafidzohalloh dalam blog beliau [tamammennah.blogspot.com], dan tulisan ini banyak mengambil faidah dari sana –fa jazahallohu khoiron-.

# Transkrip Fatwa Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad oleh ustadz Abu Karimah Askari hafidzohulloh di http://ibnulqoyyim.com/content/view/36/9/

# Al-Maktabah asy-Syamilah v3, dan penomoran hadits & atsar merujuk kepada software ini.

***

(dari : sahabat FB Sakir Akhi)
Pembaharuan Syari'ah ala Na'im: Sebuah Kritik
author

Pembaharuan Syari'ah ala Na'im: Sebuah Kritik

Prolog
Salah satu pemikir yang rajin mengemukakan gagasan pembaharuan dalam Syari'at Islam adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im. Pemikir asal Sudan yang kini bermukim di Amerika ini rajin memasarkan nilai-nilai Barat (HAM, Hukum Internasional, dsb) ke dunia Islam. Baginya, Syari'ah Islam telah gagal berdialog dengan masyarakat modern. Karena itu, perlu dibaharui. Sebenarnya apa yang Na'im lakukan? Mari kita lihat!

Abdullahi Ahmed an-Na'im


Bagaimana Cara Naim Memperbarui Syariat Islam?
Pertama-tama, Na'im menjadikan diterapkannya nilai-nilai dan budaya Barat sebagai Maqasid
as-Syari'ah
, sebab baginya ia bersifat universal. Di sini Na'im menggeser peran teks sebagai 'wasilah' yang mengandung 'tujuan syari'ah (maqasid as-Syari'ah) kepada budaya Barat. Maksudnya, jika ingin menemukan 'tujuan syari'ah', harus dicari pada budaya Barat.

Cara pandang seperti inilah yang oleh 'Abdul Majid al-Najjar dilihat sebagai akar kesalahan kaum liberalis, sebab memisahkan antara maqsad (objektif) dan syara' yang menjadi wasilah kepada tujuan (objektif) itu. Padahal, dua hal itu tidak boleh dipahami secara terpisah, karena Maqasid as-Syari'ah itu ada pada syara', haythuma wujida al-Shar'a fa thamma al-maslahah (baca: Yusuf al-Qardawi).

Na'im dalam bukunya, Toward an Islamic Reformation juga mengatakan syari'ah yang selama ini kita kenal dan terapkan hanyalah produk interpretasi ulama Muslim di tiga abad pertama Islam; terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, bagi Na'im syari'ah itu bukan wahyu itu sendiri, bukan produk Tuhan. Sehingga ia bersifat relatif; tidak memiliki unsur Ketuhanan, tidak abadi dan tidak mengikat.

Tentu, pandangan relativistik Na'im terhadap syari'ah tidak tepat. Sebab, syari'ah adalah an nushush al muqaddsah dari al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum tercampuri oleh pemikiran manusia.

Dalam wujud seperti ini, syari’ah disebut at thariqoh al mustaqimah (jalan/cara yang lurus). Ini sejalan dengan pendapat Ibn Athir, yaitu bahwa syari'ah merupakan ketentuan agama yang diwajibkan Allah ke atas hamba-Nya (baca: Yusuf Hamid al-'Alim). Oleh sebab itu, syari'ah Islam itu tidak akan pernah berubah, sebab ia langsung dari Allah swt (cermati A1-Ma'idah: 15-16). Yang berubah hanya ushlub (metodologi) pengajaran dan dakwah (baca: Yusuf al-Qaradhawi dan Sayyid Qutub).

Selain itu, pandangan bahwa Syari'ah hanya produk pemikiran manusia dapat menimbulkan implikasi keagamaan yang cukup besar. Sebab, ia akan selalu digugat untuk dinegosiasikan dengan konteks ruang dan waktu. Bahkan, hal itu juga akan menegasikan kesakralan agama Islam itu sendiri, melonggarkan ikatan religiusitas manusia, yang akan berakhir dengan rendahnya tingkat kepatuhan manusia untuk menjalankan tuntutan syari'ah-nya. Di sini, Na'im sungguh telah merendahkan Islam sebagai Agama rekayasa manusia.

Nalar Publik: Satu-satunya Instrumen Tasyri'

Sebagai ganti syari'ah, Na'im mengusulkan, syari'ah yang akan dijadikan hukum publik atau perundang-undangan harus senantiasa diuji dalam Nalar Publik (public reason). Yaitu sebuah ruang dialog dan debat yang berakar pada Civil Society. Di sanalah maksud, alasan dan tujuan suatu syari'ah diuji dan diperdebatkan oleh masyarakat luas.

Namun sayang, bagaimanapun syari'ah seperti yang saat ini ada tetap ia tolak. Sebab bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya Barat, ujarnya, sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Islam and The Secular State.

Padahal, konsep Na'im tentang nalar publik itu sendiri masih sangat debatable. Dominasi kekuasaan, finansial dan media massa, konflik kepentingan, dan perbedaan level ilmu pengetahuan masyarakat menjadi kendala yang tak terhindarkan. Apalagi, semuanya hanya dibangun di atas pertimbangan suka atau tidak. Bisa jadi, pagi disetujui siang sudah dianulir.

Epilog
Uraian singkat ini menunjukkan bahwa Na'im gagal membedakan antara teks dan tafsir, wahyu dan pikiran manusia. Makanya, ia tidak sedang melakukan pembaharuan Syari'ah Islam, tapi sedang memasarkan paham-paham yang lahir dari perut Barat Modern dan Post-Modern; kebebasan (liberalisme), relativisme, dan hedonisme. Jadi, bukan Islam yang sedang ia perjuangkan, tapi paham-paham Barat yang hari ini sedang berkuasa.
..............................................................................
Dimuat dalam: Koran Republika, Kamis, 17 Juni 2010 (hlm. 6); Bisa juga dilihat di: http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=99%3Apembaharuan-syariah-ala-naim&catid=17%3Apemikiran-liberal&Itemid=15 & http://bataviase.co.id/node/255974
...............................................................................
"Ya Allah, 'Allimna 'ilman yanfa'una wanfa'na bima 'allamtana innaka anta al-'alimulhakim.."

(dari : sahabatku Asmu'i Marto)

.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄

Berikut ini adalah hasil diskusi sahabatku Asmu'i dengan beberapa orang :

Mohammad Suud Ibnu Aqil
Perlu dibedakan antara syariah yang universal dengan fikih yang partikular..yang digugat al-Na'im adalah fikih....bagaimanapun fikih, sampai kapanpun akan menyesuaikan dengan konteks ruang waktu

Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil: Na'im tidak mau membedakan antar Syari'ah dan Fikih. Baginya, dua hal itu sama2 sebagai produk pemikiran. Namun demikian, Na'im tidak mau menyebut proyek yang digagasnya berada pada kawasan Fikih. Ia lebih suka menempatkannya pada wilayah Syari'ah.

.................
Lagi pula, TIDAK TEPAT men-generalisir bahwa ranah fiqhiyyah itu semuanya partikular. Sebab bagaimana pun, fiqh itu berkaitan erat dengan syari'at. Ia bukan hasil rekayasa para fuqaha'. Sebab, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Asmandi, bahwa fiqh adalah "al-ahkam al-mustafadah bi al-syar' la al-ahkam al-mudrikah bi al-'aql (baca: Badhl al-Nazar fi al Usul).

Karena itu, Umar Sulayman al-Ashqar menegaskan bahwa adakalanya fiqh bisa menjadi syari'ah, yaitu ketika ijtihad sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Tapi adakalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh teteplah fiqh, tidak berubah menjadi syari'ah. Untuk hal ini kita juga harus memahami bahwa tidak semua masalah fiqhiyyah masuk kategori berubah, sebut saja misalnya masalah wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga dengan haramnya zina, mencuri, dan membunuh. Semua ini berada dalam wilayah fiqh, tapi sudah menjadi bagian syari'ah, karenanya ia bersifat permanen (baca: Tarikh al-Fiqh al-Islami).

Mohammad Suud Ibnu Aqil
Dalam bukunya "Azmah al-fikr al-Arabi wa al-Islami", Rif'at Sa'id mengatakan bahwa syariah adalah murni dari Tuhan yang bersifat absolut karena tidak ada interversi nalar manusia di dalamnya. Smentara fikih adalah tafsir manusia terhadap kalam Tuhan, maka ia bersifat nisbi. Kontradiksi tidak ada dalam syariat dan ada dalam fikih (pembacaan mujtahid), begitulah Syatibi katakan dalam muwafaqatnya.

Syariah adalah syariah, fikih adalah fikih, tidak bisa dicampur adukkan. Jika kita katakan bahwa segala sesuatu yang berada dalam ranah ijtihadiyah adalah fikih, maka benar atau salah ia tetap fikih karena hasil ijtihad manusia (al-mushawwibah mengatakan bahwa kullu mujtahidin mushib)

Okelah ada beberapa ketetapan yang sifatnya permanen yang kita anggap sebagai syariat, seperti hukum wajib shlat, zakat, dan sebagainya, namun beberapa hal terkait dengan tetek bengik di dalamnya termasuk syarat-syarat penerapannya adalah sesuatu yang berada dalam ranah perdebatan. Shalat dan zakat adalah ketetapan yang bersifat permanen, namun dalam penerapannya tetap mempertimbangkan syarat-syarat yg mengitarinya.

Kita temukan bagaimana ulama berdebat dalam persoalan fikih. Maka dalam menerapkan fikih perlu ada uji coba materi atau didialogkan dalam nalar publik sehingga benar-benar mencapai kemaslahatan dan tidak berbenturan dengan budaya setempat.

Jika menerapkan yang permanen saja perlu dengan uji coba nalar publik, apalagi yang tidak permanen.

Syariat diterapkan harus menyesuaikan diri dengan wacana-wacana kekinian semisal HAM, demokrasi, dan hukum internasional dengan harapan penerapan syariat benar-benar mencapai kemaslahatan manusia; tidak kontraproduktif

Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil:
1). Ana sepakat bahwa fiqh bukanlah syari'ah. Cakupan syari'ah lebih luas dari sekedar hukum. Selain itu, ciri utama syari'ah adalah sifatnya yang permanen. Beda halnya dengan fiqh yang bersifat relatif dan fleksibel. Dimana ia bisa berubah sesuai dengan peredaran waktu, sebab ia merupakan hasil ijtihad 'ulama, terkadang sesuai dengan dalil juga kondisi nyata yang berlaku di tengah masyarakat. NAMUN DEMIKIAN, bukan berarti bahwa fiqh itu karya pemikiran semata, karena ia berkait erat dengan syari'at. Ia bukan hasil rekayasa para fuqaha'.

2). Selain itu, TIDAK TEPAT melihat hubungan antara "fikih" dan "syari'ah" sebagai hubungan "pencampur-adukan". Sebab di antara keduanya memang sangat berkaitan, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, seperti yang sudah ana jelasin di atas. Di sini Anda terkesan terlalu memaksakan diri untuk memisahkannya. Dalam hal itu Anda terjebak dalam cara pandang Dichotomis, yang merupakan ciri khas Barat Modern.

3). Generalisir bahwa fikih harus didialogkan dengan nalar publik tetap SATU KEKELIRUAN. Bahkan fatal. Sebab "masalah2 fiqhiyyah" tidak lepas dari Prinsip Syari'ah, bukan pada nalar publik semata. Selain itu, Anda tahu "apa" itu nalar publik? Apakah definisi dan pemahaman Anda tentang Nalar Publik sama dengan definisi dan pemahaman pemikir-pemikir Liberal itu?

Tidak semestinya kita asal comot terhadap "istilah-istilah" yang datang dari Barat. Sebab "istilah" itu sejatinya adalah konsep-konsep Barat Modern dan Post-Modern, yang tentu sebagai representasi dari nilai-nilai dan pandangan hidup mereka.

Bukan bermaksud "alergi" terhadap apa saja yang datang dari Barat, tapi hendaknya kita lihat dulu, sesuai atau tidak dengan Islamic Worldview.

4). Generalisasi Anda juga mengesankan bahwa "Mashlahah" itu ada pada "nalar publik dan budaya masyarakat", tidak terkandung dalam "teks", bukan pada syari'ah Islam. Untuk itu, perjelas dulu, Anda sedang berbicara apa? Apa yang bisa didialogkan, dan apa yang tidak dapat?

Jika tidak, Anda terjebak pada cara pandang orang-orang liberal, yaitu gagasan meletakkan ajaran agama dalam dinamika sejarah, yang akan terus berkembang sesuai perkembangan waktu dan tempat yang membentuk sejarah. Tidak ada dan tidak boleh ada yang tsawabit (tetap) dalam ajaran agama, semuanya mutghayyirat (berubah). Walhasil, yang haq menjadi 'seolah-olah' bathil, yang bathil menjadi 'seakan-akan' haq. Na'udzubillahi min dzalik.

5). Secara umum, terdapat KETIDAK KONSISTENAN dalam komentar Anda di atas.

Di satu sisi Anda mengakui bahwa "syariah adalah murni dari Tuhan yang bersifat absolut karena tidak ada interversi nalar manusia di dalamnya." Artinya bersifata permanen. Namun di akhir tulisan Anda mengatakan bahwa penerapan syari'ah harus menyesuaikan dengan wacana-wacana kekinian semisal HAM, demokrasi, dan hukum internasional dengan harapan penerapan syariat benar-benar mencapai kemaslahatan manusia; tidak kontraproduktif.

Padahal sebelumnya Anda menegaskan bahwa dialektika dengan kondisi itu hanya dimiliki oleh perkara2 fiqhiyyah, bukan syari'ah.
Pertanyaannya: (a). Anda sedang berbicara fikih atau syari'ah? (b). Mengapa "tiba-tiba" Anda menjadikan nilai-nilai masyarakat Barat hari ini sebagai sesuatu yang universal dan permanen???

Walhasil, Anda GAGAL "membedakan" dan "melihat hubungan" antara "fikih" dan "syari'ah".

Catatan:
Ana sudah menjelaskan masalah2 tersebut dalam "note" dan "respon-respon" di atas.

Mohammad Suud Ibnu Aqil
Saya tak memandang syariat dan fikih secara dikotomis, saya hanya menegaskan karakter dan wilayah masing2 dari keduanya. Saya juga akui bahwa fikih bukan nalar pikir manusia mutlak, ada sisi ilahiliyah di dalamnya karena ia adalah tafsir terhadap kalam Tuhan. Jika kita baca perdebatan ulama klasik, persoalan-persoalan permanen juga diperdebatkan terkait penerapannya dalam konteks dan situasi tertentu, kemaslahatan, dan kebutuhan ummat. Ada dialog dialektis di sana, tidak berjalan datar sebagaimana asumsi kaum kolot selama ini. Saya tidak mengagungkan barat, tapi saya lagi kecewa pada dunia muslim saat ini yg hanya terjebak pada penerapan yg mereka anggap syariat namun kering nilai, tidak mampu menyuguhkan maqhasid. Klo kita baca "maqhasid syariah" karya ibnu asyur, akan kita temukan bahwa kebebasan dan toleransi bermazhab adalah bagian dari maqhasid syariah. Tapi nyatanya, barat lebih mampu menyuguhkan itu. Benar yg dikatakan abduh dan iqbal, "saya menemukan muslim di timur, tapi tak temukan islam di sana. Saya tak temukan muslim di barat, tapi saya temukan islam di sana"

Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil:
1). Tidak hanya Anda, kita semua prihatin dengan keadaan umat dan Peradaban Islam. Namun itu tidak tidak boleh menjadikan kita "lepas kontrol" dan menggunakan apa saja yang datang dari luar tanpa melalui proses kajian dan penyesuaian terlebih dulu. Dalam kaitannya dengan respon terhadap kemajuan Barat dan cara kita menyongsong kemajuan,
setidaknya ada empat tipe utama umat Islam:
(a). Kalangan Muslim awam yang meyakini bahwa Barat adalah simbol kemajuan teknologi, sistim pendidikan, ekonomi, tatanan sosial dan politik, disiplin, industri hiburan dan simbol-simbol kebudayaan lainnya. Karena itu segala yang berasal dari Barat diterima sebagai standar untuk menentukan kemajuan.
(b). Kalangan terpelajar yang menganggap Barat adalah simbok kecanggihan metodologi penelitian dan pengkajian. Kajian filsafat dan ilmu-ilmu humaniora lainnya diambil sebagai model bagi segala macam ilmu, termasuk ilmu keagamaan Islam. Kelompok ini pada umumnya menganggap ILMU ITU NETRAL dan oleh karenanya mengambil ilmu apapun dari Barat tidak ada masalah asal membawa "kemajuan". Kedua kelompok ini (a & b) oleh Cheryl Bernard disebut Muslim Modernis dan Sekuler (baca: Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies; U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11; The Muslim World After 9/11; dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror).
(c). Kelompok yang melihat Barat sebagai bangsa penjajah yang harus dimusuhi. Segala sesuatu yang berasal dari Barat harus ditolak.
(d). Kelompok yang melihat Barat secara kritis dan obyektif, yaitu bahwa Barat adalah peradaban asing yang berbeda dari Islam dalam banyak hal. Tidak semua yang datang itu baik, dan tidak pula semuanya buruk. Barat perlu dilihat secara cermat berdasarkan kajian yang serius dan dimulai dari akar-akarnya. Oleh sebab itu, kelompok ini tidak melihat Barat secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata, dan tidak juga membenci secara membabi buta.

2). Ulama Islam Klasik itu banyak, yang masing-masing masuk dalam ragam Manhaj Akidah dan lainnya. Untuk itu, jika ingin menjadikan seorang ulama sebagai panutan, kita harus tahu dulu Manhaj Akidahnya, sebab itu masalah pokok. Berikutnya, dalam masalah permanen yang Anda maksud, pastikan dulu "apa" itu dan siapa yang membicarakannya?

Jika tidak memperhatikan ini, laksana masuk ke hutan belantara, kita hanya akan "memungut" apa yang kita lihat paling dekat dengan kita tanpa tahu "apa dan bagaimana" itu.

3). "Maslahah atau Maqasidu as-Syari'ah" adalah sesuatu yang sangat urgen dalam ber-Islam. Namun sayang, atas nama keduanya, orang-orang liberal malah meninggalkan teks dan menuhankan "realita sosial".

Secara garis besar, hal ini telah ana singgung dalam "note" di atas.

4). Baiklah, agar yang ana maksud lebih mudah dipahami, ana ambil satu contoh ungkapan Anda terakhir yang "debatable."
....................
Anda mengatakan:"....Kebebasan dan Toleransi bermazhab adalah bagian dari Maqasid Syari'ah. Tapi nyatanya, Barat lebih mampu menyuguhkan itu."

Fokus kita pada kata "kebebasan dan toleransi" dan "Barat lebih mampu menyuguhkan itu".

Pertanyaannya: Kebebasan seperti apa yang Anda maksud? Tapi berdasarkan ungkapan terakhir Anda, sepertinya yang Anda maksud adalah kebebasan dan toleransi ala Barat. Padahal istilah "kebebasan dan toleransi" di Barat bermakna:
1. Bebas dari Tuhan.
2. Bebas dan toleransi terhadap perbuatan Lesbian.
3. Bebas dan toleransi terhadap perbuatan Homo seksual.
4. dan kebebasan-kebebasan lain yang semua itu hanya bentuk-bentuk dari pemuasan syahwat manusiawi belaka.

Ana tidak menafikan bahwa dalam beberapa aspek bisa kita ambil, namun ana hanya ingin menekankan bahwa jika kita menyebut istilah "kebebasan" ala Barat, maka itu pada hakikatnya adalah sebuah konsep baku yang didalamnya mengandung nilai-nilai dan cara pandang Barat hari ini.

Pertanyaan selanjutnya, apakah dalam Islam tidak ada konsep "kebebasan dan toleransi", khususnya dalam bermazhab? Jawabannya tentu ada. Para Fuqaha kita telah dengan baik menunjukkan itu. Di sini kita harus mampu membedakan antara "apa" yang seharusnya dan telah dicontohkan oleh para ulama yang tulus, ikhlas semata2 karena Allah swt dengan "apa" yang belakangan diperagakan oleh sejumlah "oknum" atas nama Islam yang bertentangan dengan itu.

Singkatnya, mari kita kaji lagi secara mendalam Khazana Islam. Peradaban ini telah menunjukkan keperkasaannya selama kurang lebih 7 abad lamanya. Sedangkan Barat baru sekitar 2 abad terakhir. Itupun dengan berbagai krisis yang hingga kini tak kunjung usai. Ana tidak hanya bermaksud "bernostalgia" belaka, tapi memang kenyataannya, TIDAK ADA SATU PERADABAN PUN YANG AKAN MAJU MANAKALA ORANG-ORANG DI DALAMNYA TIDAK LAGI BANGGA DENGANNYA.

Terakhir,.....
Dulu, saat jalan-jalan di Barat itu masih "becek dan licin", di negeri-negeri Islam telah "mulus dan ber-aspal". Mari....!!!

Imam Syadili
Ustadz Asmu'e n Bang Su'ud.
sejauh yang saya kethui, ada dua pendapat tntang definisi Syariat.
1. syariat adalah segala ajaran agama.
2. syariat dmaksudkan sebagai Hkum Fikih. (maka ada yg namanya kuliah syariat, yang sebenarnya konsentrasi pada pelajaran fiqih).
bisanya keduanya digunkan sesuai dengan konteks
jika syariat diartikan sebagai hal yang universal -sebagaimana poin satu- maka, dibawahnya ada fiqih, akhlak, dan aqidah dl.
membaca tulisan Ustad Asmu'i di atas, saya lebih condong syariat disini bermakna Fiqih (Partikular), atau atuan yuridis manusia yang diambil dri Nash.

Prlu sya teknkan, bahwa Syriat tidak muqaddas. ia tidak terlepas dari kekliruan, krena sudah bercampur dengan akal manusia. yang muqaddas ialah Nash yang masih orsnil.

Disini, saya melihat kesimpulan ustad Asmu'e keliru, bahwa syariah adalah Nusuhs Muqaddasah. sebagaimana pragraf ke 5. dan, saya lebih setuju dengan pendapat Na'im bahwa syriat bersifat rlatif. mungkin hal ini juga yang dimksud baginda Nabi "barang siapa yang berijtihad dan benar mka dapat dua pahala, dan jika salah dapat satu pahala."

orang Sudan seperti Na'im sudah biasa menggunakan lafadz syariat dengan arti fiqih sebagaimana orang arab lainya.

HAl Lain, sangat fatal menuduh orng sebelum tabayun (mncari penjlasan kebenaranya). misalnya mengatakan "pemabuk" atau "pezina" pada orang tanpa mengetahui fakta sejelas jelasnya.

Bang Su'ud, memang kita perlu banyak belajar. jika ingin mengkritik maqashid syari'ah, setidaknya baca muwafaqot karya Sytibi, sebagai pncetus maqasid syariah. selanjutnya, ya kitab pusaka anda, "maqashid syari'ah" karya Ibnu Asyur, penerus Syatibi. agar tulisan kita tidak kering.

Gus Fa
Mohammad Suud Ibnu Aqil dan Imam Syadili: Perdebtan yang luar biasa, namun kita harus bisa melihat hal tersebut melalui kaca mata dan tashawwur islami seperti halnya ungkapanya "Sayyid Kutb". secara pribadi Saya sependapat dengan akh asmu'i, bahwa saya melihat tantangan berat yang dihadapi oleh umat Islam, kini dan akan datang. Faktanya, bukan hanya ilmu-ilmu sains dan teknologi yang terhegemoni oleh Barat. Tapi, ilmu-ilmu keislaman pun sudah terhegemoni. Melalui pusat-pusat studi Islam di Barat, para orientalis, dulu dan sekarang, sangat aktif melakukan kajian keislaman dan mendidik sarjana-sarjana Muslim menjadi kader-kader mereka. Banyak yang mampu bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Tetatpi, sangat tidak sedikit yang silau dan terpukau dengan institusi studi Islam dan kehebatan para orientalis, sehingga seorang kandidat doktor studi Islam di AS ada yang menyatakan, bahwa studi Islam terbaik di dunia saat ini adalah di Amerika. Kata dia, studi Islam di Barat didasarkan pada ”kajian kritis”, bukan ”berdasar atas keimanan” (based on faith). Karena itulah, katanya, kajian Islam di Barat lebih berkembang ketimbang di dunia Islam. Sebab, kajian mereka bersifat objektif ilmiah.

Maklum, para orientalis yang melakukan studi Islam, sangat jarang yang kemudian beriman dengan yang mereka kaji. Ilmu dipisahkan dari iman dan amal. Inilah yang mereka katakan sebagai model kajian objektif ilmiah. Kaum Muslim yang mengkaji agama-agama lain dalam perspektif al-Quran langsung dimasukkan kotak: subjektif tidak ilmiah. Begitu juga jika seorang mengkaji al-Quran, tetapi sudah mengimani dan mensucikan al-Quran, langsung dimasukkan dalam kategori ”subjektif-ideologis”. Kata mereka, kajian Islam harus netral dari keberpihakan ideologis. Ketika mengkaji al-Quran, mahasiswa diminta ”melepaskan keimanannya” dan mengkaji al-Quran secara objektif. Itu yang dikatakan objektif ilmiah dan kajian kritis. Meskipun, biasanya, sikap kritis itu hanya ditujukan kepada para ulama Islam, bukan kepada ilmuwan-ilmuwan Barat. Sungguh sangat ironis meliahat realitas yang ada yang terbalik. Akumulasinya ternyata jiwa seorang muslim kini hanya kedok semata. Sisanya..silahkan interpretasikan sendiri...saya tidak tega untuk mengulaskanya..saya khawatir anda munkin yang terjebak dalam gemerlapnya dunia barat yang bersifat fatamorgana..

Asmu'i Marto
@Akhi Imam Syadili:

1). Masalah Na'im yang minum bir bukan tuduhan.

Jum... See more’at, 27 Juli 2007 yang lalu, penerbit Mizan mengadakan diskusi dan bedah buku “Islam dan Negara Sekular: Menegoisasikan Masa Depan Syariah” di MP Book Point Cipete Jakarta dengan menghadirkan penulisnya, Abdullah Ahmed An-Naim (Sudan), yang saat ini menjabat sebagai Professor of Law, Emory University, Atlanta, Georgia, U.S.A. Di samping itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil (Presiden Direktur INSISTS) diundang sebagai pembedah utama dan dua pembedah lainnya dari majalah Sabili dan Hizbut Tahrir.

Na'im menunjukkan itu ketika jamuan malam di hotel tempat dia menginap. Bisa dikonfirmasi ke Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis.

2). Masalah pandangan akhi Syadili tentang "syari'ah, fikih dan cara memahaminya" dipengaruhi oleh cara fikir "relativis" dan skeptis. Cara fikir ini adalah ciri Khas Barat Post-Modernisme, yang kelahirannya didahului oleh paham Nihilisme.
**********************************************************************
Rahasia do'a pernikahan:
author

Rahasia do'a pernikahan:



Rahasia do'a pernikahan...

Rahasia اللام dan على dalam Doa Pernikahan
ABU MUHAMMAD AL-‘ASHRI

Pembaca mulia, sebagai seorang muslim, kita tentu sering mendengar –bahkan sejak kita kecil- bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang paling jelas dan paling indah sehingga dipilih sebagai bahasa Al-Qur’an, bahasa umat Islam.

Namun, barangkali kebanyakan di antara kita sering timbul pertanyaan, “Di mana letak keindahan bahasa Arab?” atau “saya membaca terjemahan Al-Qur’an kok biasa-biasa saja, tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia lagi atau jika disesuaikan, malah kaku jadinya” atau pertanyaan-pertanyaan semisal.

Pembaca mulia, apakah kita pernah mempelajari bahasa Arab? Jika jawabannya “Belum”, sangat wajar apabila pertanyaan-pertanyaan di atas dapat muncul. Sesunggunya siapa pun yang tidak menguasai bahasa Arab, tidak akan bisa mengetahui, di mana letak keindahannya.

Nah, untuk mengungkap seluruh keindahan bahasa Arab, tentunya tidak akan cukup dalam satu artikel. Dalam kesempatan ini, penulis akan coba ketengahkan salah satu rahasia bahasa Arab dalam hal preposisi (kata depan) semata. Ya, sebatas preposisi pun mempunyai makna yang dalam.
Alasan ditulisnya artikel ini adalah ketika beberapa waktu yang lalu, penulis mendapat undangan pernikahan dari salah seorang ikhwan. Dalam undangan tersebut, teretera doa walimah

بارك الله لك و بارك عليك و جمع بينكما في خير1
/baarakallahu lak, wa baaraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fii khair/

Doa di atas, sering diterjemahkan

Semoga Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.

Sekilas, terjemahan di atas sudah tampak benar. Akan tetapi, terjemahan tersebut belumlah mewakili makna yang terkandung dalam doa walimah tersebut.

Setelah melihat undangan tersebut, penulis menjadi teringat penjelasan Al-Ustadz Al-Fadhil Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif tentang perbedaan preposisi اللام dan على dalam doa walimah secara khusus, dan dalam penggunaan bahasa Arab secara umum. Hal ini beliau sampaikan ketika beliau memberi materi dalam daurah bahasa Arab kelas takhossus Angkatan XI pertengahan tahun 2006 di Ma’had Al-Furqon Gresik. Beliau juga memberikan faidah tambahan setelah menjelaskan makna doa walimah tersebut, yang insya Allah akan penulis tuangkan dalam artikel ini.

Rahasia Preposisi اللام dan على

Pembaca mulia, bila dilihat secara leksikal, memang tidak salah apabila kita menemui kalimat
بارك الله لك و بارك عليك و جمع بينكما في خير
Lalu kita terjemahkan,
Semoga Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan

Pertanyaannya adalah, “Apakah pembaca dapat membedakan makna padamu dan atasmu dalam terjemah doa walimah di atas? Tentu tidak bisa bukan?
Penjelasan :

Pembaca mulia, preposisi اللام /laam/ secara harfiyyah artinya memang bisa diterjemahkan ‘pada’. Adapun على /’alaa/ dapat diterjemahkan ‘di atas’. Akan tetapi, jika kedua preposisi tersebut terdapat dalam satu kalimat secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyyah’ pada’ atau ‘di atas’ lagi. Namun, makna اللام menunjukkan makna yang baik, sedangkan menunjukkan makna yang buruk. Oleh karena itu, jika memerhatikan hal ini, doa walimah di atas jika diterjemahkan akan menjadi panjang, yaitu:

“Semoga Allah memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis, dan semoga Allah (tetap) memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu terjadi kerenggangan (terjadi prahara), dan semoga Dia (Allah) mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Nah, bagaimana arti di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis bisa muncul? Jawabnya adalah karena adanya preposisi اللام yang makna menunjukkan hal-hal yang baik jika disandingkan dengan preposisi على dalam satu kalimat. Konteks kalimat di atas adalah pernikahan, sehingga diketahui secara pasti bahwa hal-hal yang baik dalam pernikahan adalah ketika pasangan hidup dalam keadaan harmonis.

Demikian pula sebaliknya, arti di saat rumah tanggamu terjadi kerenggangan (terjadi prahara) dapat muncul sebagai terjemahan dari preposisi على . Preposisi ini akan menunjukkan makna yang buruk jika disandingkan dengan preposisi اللام dalam satu kalimat. Konteks kalimat di atas adalah penikahan, sehingga diketahui secara pasti bahwa hal-hal yang buruk dalam penikahan adalah ketika pasangan hidup mengalami kerenggangan atau prahara dalam rumah tangganya.
Hal ini membawa pelajaran penting bagi setiap orang yang akan menikah bahwa Nabi sudah mengisyaratkan dalam rumah tangga yang akan dihadapi tidaklah selamanya dalam keadaan yang bahagia dan harmonis. Setelah menikah nanti, seorang istri akan melihat sisi lain dari sang suami, yang tidak ia ketahui sebelum menikah. Demiakian pula sebaliknya, sang suami akan melihat banyak hal yang tidak diketahuinya dari si istri setelah ia bergaul dengan istri beberapa hari pasca pernikahan. Pertengkaran sangat mungkin terjadi antara suami dengan istri, yang bisa muncul karena adanya kecemburuan, kesalahan dari salah satu pihak, bahkan karena adannya hal-hal sepele sekalipun. Dalam kondisi prahara ini, Nabi mengisyaratkan bahwa Allah bisa akan tetap memberi berkah pada suami istri tersebut. Bagaimana sikap suami ketika mengadapi kesalahan istri, demikian pula bagaimana istri ketika menghadapi kesalahan suami adalah hal-hal yang telah diajarkan dalam syariat Islam.

Anggapan bahwa rumah tangga selamanya 100% akan harmonis, tanpa ada perselisihan dan pertengkaran adalah anggapan yang keliru. Bagi yang sudah menikah, tentu mengetahui hal ini.

Nabi kita yang mulia, memberi sifat bagi wanita bahwa mereka adalah kaca-kaca, sebagaimana dalam sabdanya,
ارفق بقوارير
‘Lembutlah kamu kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)’

Dalam kitab Fathul bari, dijelaskan bahwa wanita disamakan dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho, dan karena tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran), sebagaimana kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan.2
Oleh karena itu, ulama jenius, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, memberikan nasehat kepada kita tentang wanita,
“…Sebuah kata yang Engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang Engkau ucapkan, bisa menjadikannya dekat di sisimu.”3

Bahkan, Nabi sendiri juga menjelaskan bahwa sangat memungkinkan suami akan mendapati hal-hal yang tidak ia kehendakai pada istrinya, tetapi hal tersebut Nabi larang dijadikan alasan untuk membenci istrinya tersebut, sebagaimana dalam sabda beliau
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها آخر
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain)”4
Maka, benarlah apa yang pernah disampaikan Al-Ustadz Firanda bahwa
Suami yang paling sedikit mendapat taufiq dari Allah dan yang paling jauh dari kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh kebaikan-kebaikan istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan istrinya dan menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan matanya. Bahkan terkadang kesalahan istrinya yang sepele dibesar-besarkan, apalagi dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk yang akhirnya menjadikannnya berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki kebaikan.

Ustadz Firanda juga menyampaikan bahwa di antara yang dilakukan syaitan kepada suami tatkala marah kepada istrinya ialah dengan berkata,
” Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak wanita yang shalihah, cantik lagi.., ayolah jangn ragu-ragu…” Syaithan juga berkata, “Cobalah renungkan jika Engkau hidup dengan wanita seperti ini.., bisa jadi di kemudian hari ia akan membangkang kepadamu… Atau syaithan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah kepadamu kecuali karena ia tidak menghormatimu.. atau kurang sayang kepadamu, karena jika ia sayang kepadamu ia tidak akan berbuat demikian.”

—Selesai penjelasan Ustadz Firanda—

Demikianlah, syaithan berusaha memisahkan hubungan antara suami dengan istri. Kesempatan yang tidak disia-siakan syaithan adalah ketika suami melihat satu kesalahan istrinya, maka syaithan akan membisiki sang suami untuk menjauhinya sampai menceraikannya. Namun, ingatlah kembali lafadz بارك عليك ‘Semoga Allah memberi berkah kepadamu ketika kamu ditimpa prahara’ ketika manusia mengucapkannya di saat Anda menikah dulu.

Lalu, bagaimana agar Allah tetap memberi berkah ketika rumah tangga ditimpa prahara dan pertengkaran? Ketika penulis berupaya menyusun risalah untuk menjawab pertanyaan ini, penulis sudah membayangkan berpuluh-puluh halaman untuk menyelesaikannya. Maka, hal tersebut akan penulis sajikan dalam artikel tersendiri. Namun, satu kunci pembuka untuk menjawab pertanyaan di atas adalah sabda Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ألا إن المرأة خلقت من ضلع و أنك إن ترد إقامتها تكسرها فدارها تعش بها
Ketahuilah bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika Engkau ingin meluruskannya, maka Engkau akan mematahkannya. Oleh karenanya, berbasa-basilah! Niscaya Engkau bisa menjalani hidup dengannya.”5
Maka, benarlah perkataan Adh-Dhohak,
“Jika terjadi pertengkaran antara seorang dengan istrinya, janganlah ia bersegera untuk mencerainya. Hendaknya ia bersabar terhadapnya , mungkin Allah akan menampakkan dari istrinya apa yang disukainya.”6

Bumi Allah,
Ahad, 26 April 2009 pukul. 20.57
Ketika dinginnya malam semakin merasuk ke dalam tubuhku….
—Abu Muhammad Al-Ashri—
____________________________FOOTNOTE________________________________
1] Lihat kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadral ‘ala shahihain/, karya محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري /Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I Beirut, tahun 1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, juz II, hal. 199, hadits nomor: 2745. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.
2] Periksan dalam Fathul Bari X/545
3] Periksa dalam kitab Syarhul Mumti’, XII/385.
4] Lihat kitab صحيح مسلم /shahihil muslim/, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري /Muslim bin Al-Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, cet. Beirut: Daar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, juz. II, hal. 1091, hadits nomor: 1469. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليق محمد فؤاد عبد الباقي /Ta’liq Muhammad Fuad Abdul Baqi/.
5] Lihat Kitab Lihat kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadral ‘ala shahihain/, karya محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري /Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I Beirut, tahun 1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, juz 4, hal. 192, hadits nomor: 7334. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.
6] Periksa kitab Ad-Dur Al-Mantsur II/465

(dari : sahabatku Ahmad Zen)
~* Gerhana Bulan di Indonesia Terlihat 26 Juni 2010 *~
author

~* Gerhana Bulan di Indonesia Terlihat 26 Juni 2010 *~



Jum'at, 25 Juni 2010 - 04:56 wib

BANDUNG- Fenomena alam gerhana bulan yang terjadi Sabtu 26 Juni 2010 dapat disaksikan di seluruh Indonesia. Saat itu bulan purnama akan tertutup setengah umbra bumi.

“Kita bisa menyaksikan dengan mata telanjang,” kata Direktur Observatorium Bosscha, Lembang, Hakim L Malasan di Bandung, Jawa Barat, kemarin.

Peristiwa gerhana bulan pertama pada tahun 2010 ini dapat disaksikan di seluruh Indonesia tanpa terkecuali.

Menurut Hakim, gerhana akan berlangsung pukul 18.00 WIB dan berakhir pukul 20.00. Puncak gerhana atau saat bulan tertutup umbra bumi hingga 50 persen akan terjadi pukul 19.30-19.45 WIB. Secara total, gerhana akan terjadi selama dua jam.// [Koran SI/Koran SI/ful]



KAIFIAH SHOLAT GERHANA

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud.
Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)

Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:

Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)

Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Ringkasnya, agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:

[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

[4]Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5]Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6]Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7]Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8]Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

[9]Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

[10]Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11]Salam.

[12]Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

Nasehat


Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat.
Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Lihat Syarh Muslim, 3/322)

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.

*******
Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga dapat mengetahui hal ini.

Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.


Muhammad Abduh Tuasikal, ST
Pantai Yang Indah
author

Pantai Yang Indah


Pantai Yang Indah
Oleh : ~Evi A.~

Birunya air menawan hatiku
Angin berhembus dengan sepoi-sepoi
Menghampiri wajahku penuh senyuman
Pohon-pohon hijau tumbuh berkembang
Senandung kicauan burung yang merdu
Menyapa teman riang gembira

Keajaiban terpancar di sekeliling pantai
Aku berlari-lari mengejar ombak
Menyentuh pasir putih yang berkilauan
Ditembus sang mentari bersinar terang
Kesunyian tak mampu menyibak rahasia-Nya

Pesonanya mengukir memoriku
Menatap indahnya gelombang pantai
Sungguh ciptaan Tuhan begitu Luas
Nikmat-Nya selalu ku rasakan

Santapan minuman dan makanan terhidang
Menambah rasa yang menggoda
Tak mungkin ku lupa
Saat-saat terindah menikmati eloknya pantai

Ketika alam tersenyum padaku
Aku pun melantunkan nada-nada cinta pada-Nya
Karna Dia yang selalu membuatku rindu
Akan cahaya-Nya menerangi setiap kegelapan

Oh, negeriku begitu indah
Tempat menyimpan banyak pemandangan alam
Dimana berada kedamaian dan ketenangan
Mengukir keramahan cinta
Membuat detik-detik kehidupan menjadi penuh makna

***************************************************
Puisi ini terinspirasi film korea yang menampilkan alam pantai yang indah. Wuih jadi rindu banget untuk tafakkur alam. Jadi ingat masa-masa tinggal di Depok sering jalan-jalan liat pemandangan alam di berbagai tempat. Tetap semangat dan tersenyum.

Sobatku, aku bukan penyair
Aku juga bukan seorang penulis
Aku hanya manusia biasa
Yang ingin bercerita tentang alam
Menjadi suatu bentuk karya yang indah

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
~Evi A.~
Medan, 25 Juni 2010
Mengenal Apa itu Nyeri dan Nyeri Kepala
author

Mengenal Apa itu Nyeri dan Nyeri Kepala



Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Apakabar sahabatku semua? Alhamdulillah masih bertemu kembali di catatan evi berikut ini. Hari ini evi ingin banget berbagi ilmu dengan semua sahabat evi mengenai kesehatan. Ketika evi membaca buku ini terbesik di hati ingin berbagi ilmu juga. Walaupun bahasanya sedikit kedokteran dan farmasi, tapi insyaAllah dapat kita pahami sebagai orang awam mengenai tentang hal ini ^_^. Selamat menikmati hidangan evi berikut ini ya.

Apa itu Nyeri?

Sahabatku yang dirahmati Allah, tentu selama ini kita sering mengalami nyeri bukan? Yuk kita pelajari sebenarnya apakah nyeri itu. Semoga sahabat tidak merasa bosan ya.

Nyeri adalah perasaan/sensasi tidak nyaman yang menandakan adanya kerusakan sel dalam tubuh atau inflamasi (radang). Nyeri timbul karena tubuh kita menerima rangsangan atau stimulus seperti :
1. rangsang mekanik contohnya trauma, terpukul, teriris dan cubitan
2. panas yaitu cahaya matahari, api, listrik
3. kimia yaitu makanan/minuman yang terlalu asam, penyakit.

Oleh karena itu sahabat, nyeri itu sesungguhnya adalah respon tubuh kita disebabkan adanya salah satu rangsang yang mengenai tubuh kita.

Jenis Nyeri
Nyeri terbagi dua yaitu
1. Nyeri perifer : nyeri ringan
2. Nyeri visceral : nyeri kuat karena rusaknya sel/radang di organ dalam tubuh manusia

Bagaimana memblok (mengurangi) Rasa Nyeri?
1. Memblok pembentukan mediator nyeri yaitu dengan pemberian analgetik steroid seperti prednisone, deksametason, maupun nonsteroid seperti aspirin, parasetamol, ibuprofen,dll.

2. Memblok penghantaran nyeri oleh serabut saraf dapat dilakukan melalui anestesi (obat bius).
Contoh : pada cabut gigi, khitan diberikan lidokain semprot/injeksi dan pada bedah sesar diberikan anestesi melalui injeksi intravena (masuk pembuluh vena) melalui sumsum tulang belakang.

3. Pusat nyeri di otak yakni dengan analgetik narkotik
Morfin, pethidin.

Sahabat, pada dasarnya kita juga harus hati-hati dalam memilih obat, apalagi orang awam seperti kita ini.

Setelah membaca buku ini evi baru tau kalau obat golongan salisilat seperti asetosal (aspirin, aspilet, naspro), piroksikam (feldene), asam mefenamat (mefinal, ponstan, asam mefenamat: obatgenerik/OG ), ibuprofen (Proris, Ibuprofen/Obat Generik) harus dihindari oleh penderita yang mempunyai gangguan di lambung dan usus. Karena keasaman yang sangat tinggi akan memicu bahkan akan memperparah gangguan di lambung.

Selain itu obat parasetamol juga tidak selamanya aman bahkan harus dihindari terutama bagi penderita yang telah memiliki gangguan di hati/ hepar/ liver, penderita hepatitis, sirosis hepatic.

NYERI KEPALA
Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering terjadi dalam setahun kehidupan manusia. Setidaknya, sekali dalam setahun seseorang akan mengalami nyeri kepala. Namun, jenis dan tingkat nyeri kepala yang dialami seseorang boleh jadi bervariasi bergantung banyak hal. Salah satunya adalah jenis nyeri kepala. Selama ini terjadi ketidakpastian jenis nyeri kepala. Setidaknya terdapat lebih dari empat macam nyeri kepala yang sering diderita.

Penggolongan Nyeri Kepala

1. TENSION
Ditandai dengan nyeri yang hilang timbul, dapat menyerang bagian depan maupun belakang kepala. Tanda yang khas adalah terjadinya kekakuan selain adanya rasa nyeri. Penyebab nyeri jenis ini antara lain posisi badan dan kepala yang tidak tepat, contoh yang paling sering terjadi adalah posisi duduk saat menggunakan komputer. Karena sekarang komputer sudah menjadi kebutuhan utama baik untuk mengetik maupun mencari informasi apa saja, maka posisi penempatan komputer yang tidak pas dengan posisi kepala akan memicu terjadinya nyeri kepala jenis tension ini.

2. MIGRAIN
Nyeri kepala yang terjadi akibat ketidaknormal vaskuler ini biasanya menyerang dimulai dari dalam dan sekitar mata atau pelipis, menyebar ke satu atau dapat juga dua sisi kepala (namun yang paling sering terjadi hanya disalah satu sisi kepala saja). Nyeri diikuti rasa berdenyut, hilangnya nafsu makan, bahkan disertai mual dan muntah. Ketegangan psikologis dan factor genetic diduga menjadi penyebab migrain.

3. CLUSTER
Nyeri jenis ini terutama dialami oleh pria, biasanya menyerang satu sisi kepala, terjadi secara periodic diseling adanya masa ketika ada keadaan terbebas nyeri. Pembengkakan mata, hidung meler, dan mata berair di sisi yang nyeri merupakan gejala khas jenis ini.


4. KELAINAN SINUS
Merupakan nyeri yang bersifat akut dan subakut, terjadi di kepala bagian depan, bersifat tumpul dan berat. Pada pagi hari, dalam keadaan yang dingin dan lembap, nyeri ini muncul kembali. Nyeri ini sebagian besar terjadi di tulang dahi dan tulang pipi.

Nyeri kepala jenis lain masih ada, namun jarang terjadi, contohnya nyeri tumor otak, nyeri karena adanya produksi cairan di otak akibat infeksi toksoplasma, infeksi pada selaput otak/meninges, dan nyeri karena hipertensi.


Terapi Farmakologi

Penggunaan obat dalam nyeri jenis ini utamanya menggunakan obat analgetik/pain killer (telah dibahas pada Bab 7). Pada migrain, beberapa obat direkomendasikan untuk mengurangi nyeri yang terjadi, antara lain dari golongan ergotamine, metamizol, cinnarizine, dan sumatriptan.

Obat Migrain yang Dipasarkan di Indonesia beserta Zat Aktif :
Ergotamin, merek di Indonesia : Ergotamin cafein (OG), Cafergot, Dihydroergot, Ericaf.
Metamizol, merek di Indonesia : Arsinal, Medizol
Cinnarizine, merek di Indonesia : Merron
Sumatriptan, merek di Indonesia : Triptagic, Cetatrex
Naratriptan, merek di Indonesia :

Keterangan : OG = Obat Generik

Maraji (Referensi) : Cerdas Mengenali Penyakit dan Obat karangan Ika Puspitasari.


*********************************************************
Semoga tulisan evi diatas bermanfaat bagi kita semua dan menambah ilmu.

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
~Evi A.~
Medan, 24 Juni 2010
Renungan Surat Ash-Shaff Bagi Aktivis Dakwah
author

Renungan Surat Ash-Shaff Bagi Aktivis Dakwah



Renungan Surat Ash-Shaff Bagi Aktivis Dakwah
Oleh: Tim dakwatuna.

As-Shaff yang bermakna barisan adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang patut menjadi bahan renungan bagi para da’i. Surat ini merupakan Ma’alim fii at-Thoriiq (petunjuk jalan) bagi aktivis dakwah. Surat ini walaupun pendek tetapi mencakup semua yang dibutuhkan para da’i dari aqidah, akhlak, sejarah, ukhuwah, obyek dakwah, sampai pada puncak ajaran Islam, yaitu Jihad di jalan Allah. Sehingga para kader wajib menghafalnya, mentadaburinya secara berulang-ulang dan mengamalkannya dalam aktivitas dakwah mereka.

Nama surat biasanya menjadi tema sentral dari substansi surat tersebut, demikian juga surat As-Shaff. Shaff adalah sesuatu yang sangat penting dan sangat menentukan keberhasilan dalam dakwah, jihad dan pergerakan Islam. Bahkan kesatuan shaff adalah persyaratan mutlak bagi kemenangan pergerakan dan dakwah Islam. Tanpa adanya kesatuan shaff, maka akan menimbulkan dampak langsung bagi kekalahan dan kegagalan dakwah dan perjuangan. Kisah perang Uhud merupakan salah satu bukti dari kekalahan perang disebabkan shaff yang berantakan, padahal sebelumnya sudah berada diambang kemenangan.

Namun demikian kesatuan shaff merupakan proses panjang dari realisasi aktivis dakwah terhadap nilai-nilai Islam. Kekuatan dan kekokohan shaff apalagi digambarkan Al-Qur’an sebagai kal-bunyaan al-marsuus (seperti bangunan yang kokoh) sangat terkait dengan nilai yang paling fundamental dari aktivis harakoh yaitu aqidah, ukhuwah dan fikrah Islam. Tanpa ada kekuatan aqidah, ukhuwah dan pemahaman yang mendalam terhadap fikrah Islam, maka mustahil kesatuan dan kekokohan shaff yang digambarkan Al-Qur’an dapat tercapai. Maka marilah kita merenungi apakah shaff dakwah kita sudah kokoh ? Apakah shaff Partai kita sudah bersatu dan kuat kal-bunyaan al-marsuus ?

Dan jika kita melihat realitas Partai Dakwah sekarang, maka sesungguhnya kita sangat membutuhkan pemimpin, figur dan tokoh Dakwah yang dapat mengokohkan shaff dan ukhuwah itu. Karena kesatuan shaff dan kekuatan ukhuwah adalah sesuatu yang paling prinsip dan mendasar dalam dakwah ini. Kita sangat membutuhkan pemimpin teladan yang dapat menjadi panutan para aktivis dakwah lainnya. Kita membutuhkan pemimpin yang zuhud yang dapat membebaskan dirinya dari fitnah harta dan jabatan.

Perjalanan dakwah masih panjang dan ujian dakwah sudah menghadang ditengah kita. Terkadang para da’i berhasil menghadapi ujian kesulitan dan penderitaan, tetapi tidak berhasil menghadapi ujian kemudahan dan kelezatan dunia, baik harta, wanita maupun jabatan. Dan demikianlah yang pernah diungkapkan oleh generasi terdahulu kita: Ubtuliina bid-dhorraa fashabarnaa ubtuliinaa bis-sharraa falam nashbir (kami diuji dengan kesulitan, maka kami bersabar, kami diuji dengan kemudahan tetapi kami tidak sabar). Oleh karenanya, hanya aktivis dakwah yang ikhlaslah yang dapat berhasil keluar dari ujian dan fitnah dalam dakwah tersebut

Surat As-Shaff memberikan Ma’alim fii at-Thariiq bagi para da’i agar tidak menyimpang dalam dakwahnya dan agar tetap teguh dalam shaff yang rapi dan kokoh walaupun ujian, fitnah dan cobaan dalam dakwah datang menghadangnya. Dan marilah kita renungi satu-persatu ayat-ayat dalam surat tersebut.

Tasbih kepada Allah (At-Tasbiih Lillah)


1. Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Seluruh mahluk Allah yang ada di langit dan bumi melantunkan tasbih kepada Allah SWT. Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Mereka bertasbih dengan bahasanya masing-masing. Maka manusia sebagai mahluk Allah yang paling sempurna lebih layak untuk bertasbih. Dan para da’i yang senantiasa mengajak manusia agar beribadah dan menyembah Allah lebih layak lagi untuk bertasbih, mensucikan dan mengagungkan Allah SWT. Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaha illallahu Allahu Akbar. Kehidupan para da’i adalah kehidupan tasbih, dzikir dan do’a. Kehidupan aktivis dakwah adalah kehidupan shalat, tilawah Al-Qur’an dan menyembah Allah SWT.

Modal utama yang harus dimiliki oleh aktivis harakah adalah quwwatus shilah billah (kekuatan hubungan dengan Allah). Tanpa modal itu, maka percuma menjadi kader dakwah dan tidak akan berhasil menjadi kader dakwah. Karena perjalanan dakwah adalah perjalanan yang sulit, berliku, banyak rintangan dan panjang. Dan itu tidak akan dapat dilampui, kecuali aktivis dakwah yang memiliki quwwatus shilah billah. Pelajaran inilah yang kita dapatkan dari turunnya surat Al-Muzammil yang mengiringi tugas berat Rasul saw. mendakwahi kaumnya. Surat Al-Muzzamil mengajarkan kepada para da’i pentingnya membangun quwwatus shilah billah dengan sholat malam dan tilawatul Qur’an.

Kejujuran dalam Berkata (Shidqul Kalam)

2. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

Allah SWT. menegur keras orang beriman dan aktivis dakwah yang mengatakan apa yang tidak diperbuat, bahkan Allah SWT. sangat membencinya. Karena aktivitas yang dominan dilakukan para da’i adalah dakwah yang banyak menggunakan ucapan. Sehingga ucapan itu harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan sifat munafik. Sehingga kejujuran adalah modal utama berikutnya bagi para da’i.

Dan kejujuran harus dilakukan para da’i dalam dakwahnya. Jujur dalam menyampaikan risalah Islam, jujur dalam bersikap dan jujur dalam berkata-kata. Salah satu ajaran Islam yang terpenting adalah jihad dan berperang melawan musuh Allah. Tetapi kita menyaksikan banyak para penceramah yang sudah dikenal oleh orang banyak dengan sebutan ustadz atau kyai dan sebutan lainnya tidak jujur dalam menyampaikan Islam. Mereka tidak berani menyampaikan jihad, dan kalaupun menyampaikan kata jihad, maka dibatasinya dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Atau semua bentuk jihad disebutkan, kecuali jihad dalam memerangi musuh Allah, baik musuh Allah itu Yahudi, maupun orang kafir lainnya.

Kejujuran dalam berkata dan bersikap merupakan keharusan bagi setiap muslim apalagi para kader dan pemimpin dakwah yang menyampaikan nilai-nilai Islam. Para kader dakwah tidak boleh memiliki standar ganda dalam perkataan dan sikap. Karena standar ganda akan merusak barisan dakwah dan menggagalkan perjuangannya. Syuro’ yang dilakukan Rasulullah saw. sebelum perang Uhud merupakan sikap kejujuran yang paling baik yang terjadi pada diri Rasul dan sahabatnya. Ketika terjadi musyawarah sebagian besar sahabat menghendaki peperangan dilakukan di luar Madinah, sementara Rasulullah saw. cenderung peperangan dilakukan di Madinah. Pendapat Rasul diikuti sahabat lain, tetapi mayoritas sahabat terutama para pemuda yang belum ikut perang Badar menghendaki perang dilakukan diluar Madinah. Akhirnya, Rasulullah saw. mengikuti pendapat mayoritas dan perang dilakukan diluar Madinah. Dan Rasulullah saw. memimpin langsung perang tersebut. Demikianlah, kejujuran adalah bagian dari prinsip bagi kader dan pemimpin dakwah dalam aktivitas dakwahnya.

Perang di Jalan Allah dalam Satu Barisan yang Kuat (Al-Qitaal fii Sabilillah Shaffan)


4. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.

Kehidupan di dunia sejatinya merupakan peperangan antara kebenaran dan kebatilan. Perang antara para pengikut kebenaran dan pengikut kebatilan semenjak mulai nabi Adam as versus Iblis la’natullah. Inilah logika dan aqidah yang harus melandasi para da’i dalam berdakwah. Dan puncak peperangan adalah perang fisik dan perang peradaban. Peradaban Materialisme dan Peradaban Islam akan terus menerus bersaing dan berperang untuk meraih kemenangan. Peradaban Materialisme di komandani oleh penguasa kafir dan diktator dari dahulu sampai akhir zaman. Mereka adalah Namrud, Firaun, Qorun, Abu Jahal, Abu Lahab, Lenin, Stalin, Hitler, Goerge Bush dan anaknya Goerge Walker Bush, Ariel Saron dll. Sedangkan peradaban Islam dipimpin oleh para nabi as sampai nabi terakhir nabi Muhammad saw. Khulafaur Rasyidin, dan para ulama yang tegak membawa panji kebenaran.

Perang fisik memang jalan terakhir jika orang-orang kafir tidak mempan dengan logika dan fikiran. Karena Islam, sesuai dengan namanya adalah agama cinta damai dan mengutamakan perdamaian. Perang fisik bukanlah tujuan, tetapi sarana agar orang hanya tunduk kepada kebenaran dan agar tidak ada lagi fitnah yang disebarkan musuh-musuh Allah. Islam menghendaki tidak ada kerusakan dan kezhaliman di muka bumi. Dan para da’i bertugas untuk mengajak manusia agar mereka tunduk kepada kebenaran, tidak melakukan kezhaliman dan kerusakan.

Pada saat jalan lain buntu, tujuan perdamaian tidak tercapai dan manusia tidak merasa aman, maka perang fisik adalah sarana yang paling ampuh untuk menegakkan keamanan dan perdamaian tersebut. Allah SWT. berfirman, artinya:” Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya)” (QS An-Nisaa’ 84).

Mengambil Pelajaran dari Dakwah Para Rasul as. (Akhdzul ibroh min Da’watir Rusul)

5. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?” Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.

6. Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”.

Para Rasul yang besar adalah Rasul yang mendapat gelar Ulul Azmi, mereka adalah nabi Nuh as., nabi Ibrahim as., nabi Musa as., nabi Isa as., dan nabi Muhammad saw. Dan dalam surat ini menceritakan dua nabi besar yang pengikutnya paling besar setelah nabi Muhammad saw. Dan peradaban umat manusia terbesar sekarang dari ketiga pengikut nabi tersebut, yaitu nabi Musa as. nabi Isa as. dan nabi Muhammad saw. Nabi Musa as. diklaim oleh bangsa Yahudi, walaupun mereka sendiri mengingkari ajaran nabi Musa as. dan kitab sucinya. Sedangkan nabi Isa as diklaim oleh kaum Nashrani (Kristen), walaupun mereka mengingkari ajaran tauhid nabi Isa dan kitabnya. Dan kedua nabi besar tersebut berasal dari Bani Israil yang sekarang mendominasi masyarakat barat. Sedangkan umat nabi Muhammad saw. adalah umat Islam yang mendiami dunia Islam dan sebagian di wilayah lainnya.

Kedua ayat diatas menceritakan bagaimana keingkaran umat nabi Musa as. dan umat nabi Isa as pada nabinya. Jadi jika nabi dari kaumnya sendiri saja diingkari, apalagi jika datang nabi dari kaum yang lain, yaitu nabi Muhammad dari bangsa Arab. Inilah yang sekarang terjadi, permusuhan dan kebencian Yahudi dan Nashrani kepada Islam dan umat Islam. Dan aqidah inilah yang harus diyakini oleh semua umat Islam. Allah SWT. berfirman, artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS Al- Baqarah 120).

Dan ayat-ayat berikutnya dari surat As-Shaff akan menceritakan bagaimana kebencian dan upaya orang-orang kafir tersebut memusuhi Islam dan umat Islam. Dan bagaimana mereka berupaya semaksimal mungkin memadamkan cahaya Islam tersebut.

Mengetahui Hakekat Orang Kafir (Ma’rifah Haqiqat al-Kuffar)

7. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

8. Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.

9. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.

John Elpostito menawarkan tesis Dialog Peradaban, dan tentu saja teori itu sejalan dengan ruh Islam yang sangat mencintai perdamaian. Namun, mungkinkah Dialog Peradaban tersebut dapat terealisir? Sedangkan Samuel Hutington memiliki tesis tersendiri, yaitu Konflik Peradaban atau Perang Peradaban. Dan nampaknya, tesis inilah yang dekat dengan sifat-sifat orang kafir yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Orang-orang yang menolak Islam adalah orang yang paling zhalim, karena mereka menolak kebenaran.

Lebih jauh dari itu orang-orang kafir berupaya sekuat kemampuan mereka untuk memadamkan cahaya Islam dengan segala potensi, kekayaan dan jiwa mereka. Media masa adalah sarana yang paling efektif yang mereka gunakan untuk memadamkan cahaya kebenaran itu. Televisi mereka gunakan untuk merusak citra Islam, dan mempropaganda agama mereka. Pada saat yang sama mereka mempublikasikan segala bentuk kemusyrikan dan kemaksiatan lewat televisi yang mereka kuasai. Misionaris datang ke dunia Islam bersama para penjajah, menawarkan ‘cinta kasih’ dengan makanan, kesehatan dan bantuan lainnya. Cinta kasih yang berisi racun itu banyak membuat umat Islam yang miskin terbuai dan mengikuti mereka. Maka bertebaranlah gereja dan yayasan sosial milik misionaris di dunia Islam. Tetapi pengorbanan dan upaya maksimal yang dilakukan orang-orang kafir untuk memadamkan cahaya Islam tidak akan berhasil. Karena agama ini adalah milik Allah dan Allah akan memenangkan agama-Nya walaupun mereka benci.

Pada saat mereka merasa tidak mampu memadamkan cahaya Islam dengan media masa itu, maka mereka menggunakan senjata terakhir, yaitu perang fisik dan pemusnahan umat Islam. Inilah hakekat yang harus diketahui orang-orang beriman dan para da’i. Hakekat ini telah terbukti dengan realitas yang terjadi. Inilah yang terjadi di Palestina, Bosnia, Irak, Afghanistan, Rusia, India, Pilipina, Thailand, Burma, Singapura, Timor Timur, Maluku dll. Di Palestina umat Islam dibantai oleh Yahudi, di Rusia umat Islam dibantai oleh komunis, di Bosnia, Pilipina, Muluku dll umat Islam dibantai Kristen, di India umat Islam dibantai oleh Hindu, di Thailand dan Burma umat Islam dibantai oleh Budha. Demikianlah umat Islam menjadi musuh bersama, hanya karena mereka menyembah Allah. Dan sangat jika Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa kekafiran adalah satu agama.

Berdagang dengan Allah (At-Tijarah Ma’allah Ta’ala)

10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?

11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,

12. niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga `Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

13. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.

Setelah para da’i mengetahui tentang hakekat orang-orang kafir, kemudian Allah mengajak mereka pada suatu bisnis yang menguntungkan mereka dunia dan akhirat. Karena musuh-musuh Allah hanya dapat dihadapi dan dikalahkan oleh orang-orang yang siap berbisnis dengan Allah. Namun demikian bisnis ini syaratnya berat, sehingga tidak semua orang beriman mengikutinya. Bisnis ini syaratnya adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa. Hanya orang yang tahu (berilmu) agama yang mendalamlah yang dapat mengikti bisnis ini. Ilmu yang membuat orang beriman semakin khusu’ dan lebih mengutamakan kehidupan yang mulia dan kehidupan yang kekal di akhirat.

Bisnis ini sangat besar imbalannya, yaitu ampunan dari Allah atas dosa-dosa yang dilakukan, surga Allah yang penuh dengan kenikmatan berupa air yang mengalir, dan rumah-rumah yang indah. Dan tambahan yang lain berupa pertolongan Allah dalam kehidupan dunia dan kemenangan yang dekat atas musuh-musuhnya. Jihad memang satu-satunya jalan menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Kabar gembira ini diperuntukkan bagi orang-orang beriman, yaitu orang yang tidak tertipu dengan segala fasilitas dunia. Orang beriman tidak mudah tunduk patuh dan loyal kepada orang-orang kafir dan fasik. Orang beriman menjadikan aktivitas politiknya untuk kemenangan Islam dan umatnya, bukan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Orang beriman adalah orang yang yakin akan hari akhirat dan perjumpaan dengan Allah sehingga berupaya zuhud dari kehidupan dunia dan tidak membuat istana di dunia. Allah SWT. berfirman, artinya: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al-Qashash 83)

Jadilah Penolong Allah (Kunuu Anshrallah)


14. Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.

Dan puncak dari tawaran Allah adalah tawaran untuk menjadi penolong Allah (Anshorullah). Maukah kita menjadi tentara Allah ? Maukah kita menjadi penolong Allah ? Padahal sejatinya Allah tidak membutuhkan pertolongan kita. Tetapi inilah bahasa yang sangat indah, bujukan yang sangat halus, ajakan yang tidak ada yang bisa menangkapnya kecuali orang-orang yang beriman dan para da’i yang hatinya hidup serta siap memberikan sesuatu yang terbaik untuk agama Allah. Dan sebagai buahnya adalah dominasi dan kemenangan Islam serta kejayaan umat Islam. Wallahu A’lam Bishawaab.

(dari : sahabat FB ku, Bintang Di langit)