My Sweet Home
Rahasia Tidur
author

Rahasia Tidur




Republika, 28 September 2010

TIDUR
merupakan salah satu nikmat Allah SWT yang tak terhingga nilainya karena di dalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari, dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS Ar-Rum [30]: 23).

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, tidur adalah suatu kondisi yang ditandai meresapnya suhu insting dan kekuatan jiwa dalam tubuh untuk mencari ketenangan (istirahat). Ada empat jenis tidur. Pertama, tidur yang alami, yaitu tidur pada malam hari. “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS An-Naba’ [78]: 9-11).

Allah SWT menggambarkan suasana malam seperti pakaian karena malam itu gelap menutupi jagat, seperti pakaian menutupi tubuh. Sedangkan siang dijadikan untuk mencari penghidupan karena dengan suasana siang yang cerah dan terang itu, manusia dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, tidur yang buruk, yaitu tidur pada pagi hari. Tidur pagi dapat menghalangi datangnya rezeki karena pagi hari merupakan saat yang baik untuk memulai akitivitas. Rasulullah SAW bersabda, “Tidur di waktu pagi itu dapat mencegah datangnya rezeki.” (HR Ahmad).

Ketiga, tidur yang paling buruk, yaitu tidur pada sore hari. Tidur sore membuat tubuh menjadi lemah, kepala pusing, dan dapat mengakibatkan stres. Dalam sebuah penelitian disebutkan, tidur sore berimplikasi buruk pada pertumbuhan mental anak. Bahkan, dapat menyebabkan kegilaan atau stres.

Keempat, tidur Qailulah, yaitu tidur sejenak pada siang/tengah hari. Qailulah ini sangat membantu bangun malam untuk qiyamullail. Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah qailulah agar bisa membantumu bangun malam.” (HR Ibnu Majah, Hakim, dan Thabrani).


Yang pasti, tidur adalah suatu proses ketika Allah SWT menahan roh atau jiwa. Jika berkehendak, Allah akan mengembalikannya pada jasad. Namun, jika tidak, akan terjadi kematian. Allah SWT berfirman, “Allah memegang jiwa orang ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS AzZumar [39]: 42).


Karena itu, Rasulullah SAW memberikan tuntunan kepada setiap Muslim agar senantiasa berdoa sebelum tidur. “Bismika Allahumma ahya wa bismika amut (Dengan kekuasaan-Mu ya Allah aku hidup dan aku mati).”

Dan, ketika bangun tidur, dianjurkan untuk berdoa pula. “Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihin nusyur (Segala puji milik Allah yang telah memberikan kehidupan kembali setelah mematikan dan kepada-Nya aku kembali).”

Wallahu A’lam.

dari : sahabat FBku Kak Setta
Bencana dan Kualitas Iman
author

Bencana dan Kualitas Iman



Bencana dan Kualitas Iman

Oleh: Anbar Thea


Dikisahkan, salah satu kaki Urwah bin Zubair salah seorang fuqaha tabi’in, terkena infeksi. Berdasarkan hasil diagnosa para tabib, kaki sosok mukmin penyabar ini harus diamputasi agar tidak menyerang lutut dan pahanya. Juga bisa jadi akan menggerogoti seluruh tubuhnya. Rencana operasi kaki pun dimatangkan. Untuk menghilangkan rasa sakit, para tabib menganjurkan agar pasiennya meminum obat penenang. Anjuran dokter ini ditanggapi dengan kata-kata yang mencerminkan kualitas iman seorang hamba kepada Rabb-nya. Ia berkata, “Tak masuk diakal, bila seseorang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah, ia akan meminum obat yang bisa membuatnya tidak sadar sampai-sampai dirinya tidak mengenal Rabb-nya. Biarkan aku shalat dua rakaat karena Allah. Baru usai shalat, silakan kalian memotong kakiku.” Usai shalat, tim medis mulai mengamputasi kaki. Ajaib, Urwah bin Zubair tak sedikit pun meringis, merintih apalagi menangis.


Allah pun menurunkan ujian lainnya. Di malam dirinya diamputasi, putera yang paling ia cintai meninggal dunia. Cara meninggalnya pun sangat tragis. Ia jatuh dari atap rumah. Usai dishalatkan dan dimakamkan, Urwah berkata, “Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Putera-puteraku berjumlah tujuh orang. Engkau ambil satu orang dan menyisakan enam orang. Demikian pula, dulu aku memiliki empat ujung (dua kaki dan dua tangan), sekarang engkau ambil satu dan menyisakan tiga. Sungguh, jika Engkau mengambil. Saat itulah Engkau memberi. Dan andaipun Engkau telah menguji hamba-Mu, Engkau telah mengampuni.” (Dalil As-Sailin, hal. 386)

****

“Indonesia Menangis”. Demikian topik yang menjadi headline hampir seluruh media massa, cetak maupun elektronik plus menjadi buah bibir media mulut ke mulut. Gempa yang disusul Tsunami, memorakporandakan Nangroe Aceh Darussalam. Tak ada yang tersisa, selain masjid-masjid dan mushala-mushala yang masih berdiri kokoh. Sebagai bukti solidaritas, kaum muslimin Indonesia turut menyumbangkan apa saja yang mampu disumbangkan. Ada uang, sembako, pakaian layak dan lain sebagainya. Doa-doa dikumandangkan di setiap kesempatan. Shalat ghaib mendadak diadakan hampir di seluruh pelosok negeri. Derai air mata, isak tangis ‘sedikit’ memupus hingar bingar tahun baruan, yang sudah menjadi tren beberapa elemen masyarakat Indonesia.


Demikianlah. Bangsa ini berduka sekaligus bersatu padu atas bencana yang menimpa masyarakat yang tak kunjung didera nestapa. Mereka itulah, masyarakat muslim Aceh. Masyarakat yang dulu dikenal dengan semangat gigih membela kebenaran, dermawan dalam kebajikan, religi dalam kehidupan dan patuh pada aturan syariat Tuhan.


Sebenarnya, ada bencana yang menimpa manusia seperti dituturkan Syaikh Abul Hamid Hakim yang diperkuat pendapat Ibn Qudamah. Pertama, bencana yang dari awal hingga akhirnya tidak ada kaitan dengan pilihan manusia. Tentu, tak ada seorang pun yang menjadikan bencana sebagai pilihan hidup. Contoh bencana seperti ini adalah, bencana ditinggalkan mati karib kerabat, hancurnya harta benda, pupusnya kesehatan karena sakit dan berbagai bencana yang tak diundang tapi datang seiring sunnahtullah. Allah berfirman, “Segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (Al-Qamar: 49)


Di ayat lain, Allah menegaskan, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mencipyakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”(Al-Hadid: 22)


Bencana demikian menimpa seluruh makhluk. Muslim, kafir, munafik, mulhid, ateis, penyembah berhala, pemuja setan dan lain sebagainya. Jika demikian halnya, maka bencana yang menimpa di Aceh dan negeri-negeri lainnya akhir-akhir ini bisa menjadi malapetaka (adzab), bukti kasih sayang Allah (rahmat), ujian (ibtila), teguran (tadzkirah) atau ampunan (maghfirah). Semua bisa terjadi, tergantung dalam kondisi apakah seseorang menerima bencana tersebut.


Seorang anak mengisahkan, dirinya kehilangan neneknya yang tengah shalat dan membaca Al-Qur’an di salah satu masjid. Dalam siaran langsung salah satu teve swasta ditayangkan seorang perwira polisi yang begitu komitmen menghadiri tugas. Begitu pun ada pula yang mati mengenaskan. Hanya Allah yang Mahatahu dalam kondisi apakah mereka diterjang badai. Uniknya, dengan kebesaran Allah, semua mata kita dapat menyaksikan berbagai fenomena mencengangkan dan penuh ibrah dari peristiwa gempa dan badai Tsunami ini. Kita saksikan, orang-orang yang lari pontang-panting menyelamatkan diri dengan berbagai kondisi. Ada yang cuman handukan. Ada yang lengkap berjilbab. Tak sedikit yang tak menutp auratnya.


Insya Allah, bagi sosok muslim yang ketaatan, kesalehan, memiliki militansi dalam berislam. Bencana yang menimpanya justru menjadi bukti kasih sayang Allah atas dirinya. Bagi muslim yang agama belum menjadi akhlak hidupnya, dimana ketaatannya hanya dalam tataran ‘wajar’ dan biasa-biasa saja, mungkin musibah yang menderanya bagian dari ampunan Allah atas dirinya. Bagi muslim yang tengah berusaha mengejar ketertinggalan dirinya dalam ketaatan terhadap Allah dan agama-Nya, tak menutup kemungkinan bencana sebagai mozaik dari ujian atas mujahadah dirinya. Sedang bagi muslim yang nun jauh dari terpaan badai Tsunami dan gempa atau selamat dari malapetaka, menjadi bukti Allah menegur dirinya. Allah hanya menurunkan siksa (adzab) kepada muslim yang membangkang, kaum musyrikin, mengkufuri ketauhidan, menyekutukan Allah dan mereka yang bergelimang dosa dan maksiat.


Kedua, bencana yang ada kaitannya dengan pilihan (ikhtiyar) manusia. Bisa jadi bencana yang dimaksud memang sengaja diciptakan, atau atas dasar kelalailan dan bisa pula dilatarbelakangi ketamakan. Bila puluhan ribu lebih masyarakat Aceh tersapu gelombang Tsunami dan gempa. Bukankah jutaan rakyat Indonesia terhimpit kehinaan, dilanda kemiskinan, diserbu kelaliman dan tertindih ketidakberdayaan akibat ulah segelintir pejabat korup dan birokrat amoral yang memperdagangkan harga diri bangsa demi keuntungan pribadi dan kelompoknya? Bila ribuan anak-anak Aceh menjadi yatim dan papa karena Tsunami dan gempa, bukankah jutaan anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang bukan saja kehilangan orang tua atau keluarga, tapi kehilangan harapan dan masa depan berkat kerakusan aparat dan para pejabat yang sibuk mempercantik keluarga tak peduli menelantarkan rakyat banyak?


Jelas, badai bencana kedua lebih dahsyat daripada bencana pertama. Inilah yang patut sama-sama kita tangisi. Bangsa ini telah kehilangan jati diri dan harga dirinya sekaligus. Semua bermula dari bencana yang menimpa bangsa ini, melalui tangan-tangan para penguasa lalim, amoral dan tak berperikemanusiaan. Jelas tulisan ini tidak dimaksudkan menganggap remeh apa yang menimpa saudara-saudara di Aceh. Tapi hanya ingin memperjelas kerugiaan yang diderita bangsa Indonesia akibat badai kedua, jauh lebih besar daripada bencana alam.


Jika mantan Wapres Jusuf Kalla memperkirakan kerugian yang diakibatkan gempa dan Tsunami adalah 1 triliyun, pertanyannya, berapa ratus trilyun uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat digerus para pejabat, aparat dan konglomerat?


Kesabaran memang kunci solusi dari kedua bencana di atas. Sebagai muslim, saat ditimpa musibah diajarkan untuk mengucapkan “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un”. Sungguh kami milik Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali. Ungkapan yang oleh Rasyid Ridha disarankan saat pengucapannya benar-benar penuh penghayatan dan kesadaran akan kondisi diri dan tuntutan iman. Artinya, bila bencana yang datang adalah bencana pertama, maka tak ada daya dan upaya kita selain kembali merengkuhkan badan dan menapikan kesombongan diri dalam taubat nasuha. Namun bila yang menimpa adalah bencana kedua, selain kita bersabar dan bertaubat, kita harus sama-sama berusaha menolak dan menghilangkan bencana tersebut. Agar harta, kehormatan dan hak-hak terjaga.


Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengamputasi satu generasi bangsa ini. Kita singkirkan mereka biangkerok yang acap menimpakan bencana kepada bangsa ini. Bencana hutang, bencana inflasi, bencana pengangguran, bencana kemiskinan, bencana pembodohan, bencana dusta, bencana kemunafikan dan bencana-bencana lainnya yang mengakibatkan kita ‘sulit bernafas’. Caranya, seperti yang dilakukan Urwah bin Zubair, kita laksanakan shalat dua rakaat. Artinya, jadikan pribadi-pribadi kita kembali mentaati Allah dan Rasul-Nya dan mengejawantahkannya dalam tatanan kehidupan. Bila ini dilakukan, kita takkan merasakan rasa sakit sedikit pun saat penyakit yang terus menggerogoti bangsa ini kita singkirkan. Wallahu A’lam.


********************************************************************************


Semoga apa yang evi share kan kepada semua sahabat, dapat menjadi bahan perenungan kita semua. Setiap kejadian yang kita alami dapat diambil ibrah atau pelajarannya yang dapat membuat kita menjadi lebih baik dari sebelumnya, semakin mencintai Allah dan Rasul-Nya sehingga hati dan jiwa selalu bersih untuk mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


Diambil contoh tsunami Aceh sebagai salah satu bahan perenungan, karena saat terjadi kejadian ini, saya sendiri di Medan, merasakan gempa berulang-berulang sangat kuat yang kemudian berujung tsunami. Begitu dahsyatnya perhatian dunia terhadap bencana ini.



“Allahumma inna laa nas'aluka raudhal qadha walakinna yutfaqih

(Ya Allah hamba bukan menolak takdir-Mu karena semua takdir-Mu adalah yang terbaik, tetapi berikan kecerdasan hamba untuk menangkap, menterjemahkan bahasa hikmah di balik ayat-ayat takdir-Mu)


Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallaah wallaahu akbar
.

(Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah dan Allah Maha Besar)


Sahabatku semua dimanapun berada, Evi mohon maaf jikalau evi ada kesalahan dalam penulisan, ucapan ataupun perbuatan yang membuat sahabat-sahabat evi tersinggung, terluka ataupun tersakiti karena evi hanyalah hamba Allah yang tidak sempurna masih melakukan kesalahan-kesalahan dan berusaha menjadi pribadi yang baik nan sholehah. Semoga kita semua senantiasa selalu berdzikir kepada-Nya setiap detik-detik hidup dan nafas kita.


Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

~Evi A.~

Medan, 26 September 2010
NIHILISME DALAM KASUS MAJALAH PLAYBOY
author

NIHILISME DALAM KASUS MAJALAH PLAYBOY



Kasus majalah Playboy Indonesia merebak lagi. Pada Jum’at 27 Agustus 2010 seorang pengurus Dewan Pers berdebat seru pada acara dialog di stasiun TVOne dengan juru bicara FPI mengenai kasus vonis 2 tahun, Erwin A, pimred Majalah Playboy Indonesia. Sebagaimana diberitakan, pimred majalah Playboy yang divonis 2 tahun penjara karena melanggar pasal 282 KUHP tentang kesopanan dan kesusilaan belum juga dieksekusi pengadilan. Dan di antara pokok permasalahan yang diperdebatkan pada dialog itu adalah, status majalah Playboy Indonesia. Pihak FPI yang diwakili Munarman meyakini, bahwa majalah Playboy bukanlah produk pers karena mengeksploitasi foto-foto tidak sopan model wanita. Kalaupun itu dikatakan produk pers, maka ada masalah dalam regulasi Dewan Pers.

Sementara Dewan Pers tetap ngotot bahwa Playboy termasuk kategori produk pers karena telah memenuhi standar-standar pers nasional, meskipun terdapat gambar wanita memakai bikini, sehingga majalah itu boleh terbit di Indonesia. “Foto wanita dengan memakai pakai pakaian dalam di majalah tersebut tidaklah fulgar dan tidak bermaksud mengundang nafsu” demikian alasan pihak Dewan Pers.


Masalah parameter porno-tidak porno selalu menjadi ganjalan untuk menjerat pelaku tindak pornografi. Kasus ini sebenarnya telah lama diperkarakan oleh sejumlah ormas Islam. Namun. standar porno dan tidak porno hingga kini menjadi perdebatan tak kunjung usai. Majalah Playboy edisi Indonesia yang untuk pertama kali diberi izin terbit pada 7 April 2006 akan terus mengundang kontroversi.Bagi ormas-oramas Islam penolakan majalah porno tersebut merupakan harga mati. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, saat pertama kali Playboy diterbitkan di Indonesia, ada tiga alasan menolak majalah Playboy. Pertama, majalah Playboy dinilai icon pornografi dunia. Kedua, distribusi Playboy tidak lagi selektif. Ketiga, untuk menyelamatkan generasi bangsa.

Sebenarnya, persoalan mendasar perdebatan antara yang pro dan kontra dalam masalah ini adalah terletak pada perbedaan sistem cara pandang. Untuk para pendukung majalah Playboy, tampak terkesan dari argumen-argumen yang dikeluarkan, bahwa cara pandang mereka adalah khas pandangan manusia postmodern, yang struktur dasar pemikirannya adalah; dekonstruksi, relativisme dan pluralisme. Struktur berpikir fundamental ini yang sulit dipertemukan dengan sistem nilai dalam norma agama.


Balutan Budaya Postmo Inti utama pemikiran postmodernisme secara umum adalah menentang segala hal yang berbau absolut, baku, menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis. Menurut Akbar S. Ahmed media menjadi bagian unsur utama pemikiran postmodernisme. Media, menurutnya berfungsi sebagai pemicu dan sekaligus bagian yang tak terpisahkan dari wacana postmodernisme (Akbar S. Ahmed,1992:27). terjangkiti postmodernisme adalah, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap kemapanan, semakin terbukanya peluang mengemukanan pendapat secara lebih bebas, semakin menguatnya wilayah urban sebagai pusat kebudayaan, dan meledaknya industri media massa (Zaitunah S,2005: 74).

Untuk standarisasi moral, postmodernisme dekonstrukif menerapkan suatu kecenderungan yang sangat berbahaya. Metode dekonstruksi yang diusung Jaques Derrida menawarkan logika-logika pembebasan tubuh (emancipation of body) atau pembebasan hasrat (liberation of desire) dari berbagai kekangan dan pembatasan. Logika seperti ini adalah pendobrak tembok dari batas-batas nilai yang telah mapan.

Sehubungan dengan peran media dalam emansipasi tubuh, ada tiga relasi yang saling terkait. Pertama, relasi tubuh yaitu bagaimana tubuh difungsikan di dalam berbagai relasi sosial, kedua tanda tubuh (body sign) yakni bagaimana tubuh dieksploitasi sebagai tanda-tanda di dalam media, ketiga relasi hasrat (desire>) yaitu bagaimana hasrat menjadi sebuah bentuk perjuangan, khususnya bagi pembebasan dan penyalurannya.

Inilah ciri khas worldviewpostmodernisme yang mendominasi baik secara sadar atau tidak sadar menghegemoni nalar manusia saat ini. Sebagaiman diungkapkan oleh Ernest Gellner, postmodernisme adalah bentuk baru dari relativisme yang menjangkiti manusia modern. Relativisme ini pernah diplokamirkan oleh Friedrich Nietzsche yang mengatakan “Konsep ‘kebenaran’ adalah sesuatu yang tidak bermakna”. Kebenaran baginya adalah metafora.

Cara pandang yang relativis, pluralis dan dekonstruksionis ini pada akhirnya membawa pada paham nihilsme. Menurut Nietzsche, filosof pengusung nihilisme, hidup itu sangat berharga, untuk itu manusia harus menjulangkan semangat hidup dan gairah setinggi-tingginya. Untuk tujuan itu, manusia menurutnya harus bebas dari ketakutan melakukan dosa dan bebas dari kungkungan nilai-nilai tradisional.

Paham nihilisme ini merupakan pemicu manusia untuk melepaskan diri dari nilai-nilai etika dan agama. Norma-norma agama yang membatasi aurat wanita dianggap pembelenggu potensi kemanusiaan. Sebab misi utamanya adalah emancipation of bodydan liberation of desire>. Maka wajar bila cara pandang ini kesulitan merumuskan standarisasi porno. Mungkin bagi mereka porno itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah seni (grafi). Maka kata “pornografi” tidak selalu diidentikkan dengan hal-hal yang tabu tentang aurat manusia, tapi term itu menjelma menjadi bagian dari seni yang patut dipuja dan diapresiasi.

Maka tidaklah heran bila seseorang postmo dengan entengnya mengatakan, “Wanita memakai bikini belum tentu adalah porno, tapi itu adalah seni (pornografi) yang tak perlu dilarang. Ini adalah seni fotografi”. Inilah sistem nalar manusia postmo yang mengusung kebebasan dan menceraikan Tuhan. Seiring dengan arus globalisasi, mau tak mau arus postmodernisme menyerang relung-relung pemikiran dan keagamaan.

ika proses ini terus berlangsung menghegemoni, maka akan terjadi pergeseran paradigma yang cukup radikal dalam keberagamaan masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam melihat berbagai persoalan bukan lagi Teistik(Tuhan sebagai pusat nilai) tapi bergeser menjadi non-teistik (Ateistik) Ukuran normatif tergantung kesepakatan intelek manusia. Di sinilah paham nihilisme bertemu dengan humanism-sekular.Dominasi-dominasi seperti itu makin menguat bila kasus-kasus pornografi tidak terselesaikan dengan baik dan tegas. Hegemoni nihilisme akan mengubah peradaban manusia pada peradaban yang tak bermartabat. Oleh sebab, itu tugas utama umat manusia saat ini adalah melepaskan balutan-balutan doktrin postmodernisme dalam nalar manusia. Kasus suksesnya majalah Playboy terbit di Indonesia merupakan sinyal bahwa balutan doktrin postmo telah mulai menguasai masyarakat Indonesia. Inilah tantangan terbesar kaum muslimin dalam membangun peradaban yang bermartabat. Tantangan berat itu bukanlah krisis ekonomi, dan politik akan tetapi sebagaimana pernah ditegaskan oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, tantangan terberat umat Islam adalah paham postmodernisme.

Cara pandang postmodern tersebut secara diametral berseberangan dengan pandangan hidup Islam Islamic worldviewdimana tata nilai dan etika sangat dijunjung tinggi. Cara pandang terhadap realitas diteropong secara integral yang selalu terhubung dengan Tuhan. Menurut Prof. MN. Al-Attas, konsep adab memayungi semua aspek kehidupan. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat hewani. Ketika seorang manusia mampu menguasai dan mengontrol sifat hewaninya maka ia telah menempatkan dirinya pada tempat yang semestinya, pada posisi yang benar. Inilah yang disebut keadilan bagi dirinya. Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma-norma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya memenuhi syarat.

Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasrakan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannnya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya berdasrakan akal.Manusia beradab adalah manusia yang baik mampu memfungsikan dirinya secara adil terhadap berbagai aspek. Inilah yang beliau sebut sebagai manusia universal yang tidak pernah lepas dari norma-norma Tuhan. [kh]

Kholili Hasib, Pandaan 30 Agustus 2010


(kiriman dari : sahabatku Kholili)
[Motivasi] Bulatkan Tekad, Kuatkan Tawakal Kepada Allah
author

[Motivasi] Bulatkan Tekad, Kuatkan Tawakal Kepada Allah



Bulatkan Tekad, Kuatkan Tawakal Kepada Allah

By: ANbar Thea


Sahabat, janganlah kita menjadi pribadi yang ragu. Sebab ragu adalah aib yang sangat berbahaya. Ia akan menggerogoti keyakinan dan membuka celah bagi setan untuk mempermainkan dan merusak suara hati serta kejernihan pikiran kita. Jangan pernah juga kita tunduk kepada hawa nafsu kita atau rayuan setan.

Oleh sebab itu, jadilah orang yang berkarakter, penuh kepastian, dan pantang mundur. Jika kita ragu untuk melakukan suatu pekerjaan, lakukanlah shalat istikharah dan perbanyak musyawarah. Kendalikan hati agar tetap hidup dan berdenyut dengan memperbanyak doa karena Allah tidak menerima hati yang lalai lagi pelamun. Jika hasil istikharah telah bulat dan mantap, lakukan musyawarah dengan orang-orang berilmu dan memiliki kompetensi berkaitan dengan apa yang kita hadapi.

Sebagaimana Allah berfirman :

"Bertanyalah kepada ahli dzikir, jika kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya: 7)

Setelah itu, tentukan keputusan dengan mempertimbangkan hasil istikharah dan hasil musyawarah. Panjatkanlah doa, "Ya Allah, sungguh hama menyerahkan seluruh wajah kepadaMu, menyerahkan segala urusan hamba kepadaMu, dan mempercayakan punggungku kepadaMu (berskitar hanya kepada Allah). Semua didasari harapan dan rasa takut kepadaMu karena tidak ada tempat mengadu, dan tempat meminta keselamatan kecuali Engkau."

Di titik ini, kita telah siap menuntaskan keputusan yang sudah kita tentukan.
Nah, jika keraguan kembali menghinggapi diri kita, jangan hiraukan. Berhati-hatilah, jika Kita membatalkan janji atau memutus kesepakatan yang telah kita buat. Orang yang membatalkan janji atau memutus kesepakatan, seperti orang yang menjilat muntahannya sendiri.

Bersikaplah ridha terhadap apa yang Allah berikan untuk kita, walaupun secara lahiriah merugikan kita. Karena bisa jadi, persepsi kita lebih menonjol dalam menilai. Percayalah kepada Allah dan semua kebijakanNya. Niscaya Kita tidak akan pernah merugi dalam hal apapun. Allah berfirman:

"Jika engkau telah ber'azam, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakal." (Ali Imran: 159)


Perhatikan kisah berikut:

Sebelum Perang Uhud, kaum muslimin terpecah ke dalam dua kelompok. Ada kelompok muda yang meyakini keharusan berperang di luar Madinah. Ada kelompok sepuh, termasuk di dalamnya Baginda Rasul, berpendapat untuk menjadikan Madinah sebagai benteng pertempuran dan tidak harus keluar Madinah.

Saat kaum muda mendesak, Rasul pun bersiap untuk menyongsong musuh di luar Madinah. Rasul menerima saran kaum muda, walau agak kurang setuju. Ketika kaum muda memohon kepada Rasul untuk berdiam di Madinah, Baginda Rasulullah bersabda, "Tidak seorang nabi pun yang telah siap mengenakan baju perangnya untuk berperang, lalu kembali melepaskannya."

Walaupun dalam Perang Uhud, umat Islam kalah dengan pelbagai peristiwa tragisnya, kita tidak pernah mendengar Rasul mencela atau menyalah-nyalahkan kaum muda yang memaksakan pendapat untuk keluar Madinah. Sebuah pelajaran berharga bagi kita, sebab takdir Allah adalah penentu. Ia bukan sesuatu yang bisa kita rekayasa. Akan tetapi, kita harus siap menyongsong takdir dan menerima pahala.

Dalam kehidupan kita, biasanya masyarakat kurang begitu percaya dengan sosok peragu. Mereka menganggapnya sebagai anak bawang dan menyebutnya dengan julukan-julukan yang jauh dari rasa hormat. Sebaliknya, masyarakat akan percaya terhadap pribadi-pribadi yang berkarakter. Pribadi yang siap maju, pantang mundur, dan tidak takut menghadapi bahaya, apatah lagi sekedar problema.

Jelas ada perbedaan mendasar antara karakter penuh tekad dan karakter nekat. Karakter pertama sangat terpuji. Sementara itu, karakter kedua, sangat tercela. Karakter nekat tidak dilakukan oleh orang-orang berakal, tetapi hanya dilakukan orang-orang dungu. Nekat hanya berakibat fatal bagi pelaku dan orang-orang sekelilingnya. Lain halnya dengan tekad bulat. Karakter ini sangat dianjurkan untuk dimiliki.
(Sumber: Hadits-hadits CInta, karya: Nandang Burhanudin)


*********************************************************


Semoga catatan yang evi bagikan buat semua sahabat dimanapun berada, semakin menambah semangat kita untuk menjadi lebih baik dengan tekad yang kuat, tidak mengenal kata menyerah, tiada menjadi pribadi pesimis, tiada merasa putus asa tapi menjadikan setiap langkah kita positif, selalu optimis dan istiqomah yaitu konsisten, persisten, konsekuen, resisten. Don’t ever give up, always keep moving forward. No matter what people said persist keep going don’t quit the campion never quit. (Jangan pernah menyerah, majulah terus. Apapun yang orang katakana kita tetap jalan, jangan pernah mundur dari arena kehidupan. jadilah seorang juara sejati, juara kehidupan). Jika kita telah berbuat, azamkan pada Allah, berikan kepada Allah swt.

Jikalau evi ada salah dalam ucapan maupun perbuatan, tolong maafi evi ya sahabatku. Tetap terus saling berbagi ilmu, saling menasehati dalam kebaikan dunia dan akhirat serta menjalin tali silaturrahmi persahabatan dimanapun berada.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
~Evi A.~
Medan, 20 September 2010
Meniti ‘Fitrah Hidup’ Di Hari yang Fitri
author

Meniti ‘Fitrah Hidup’ Di Hari yang Fitri

Meniti ‘Fitrah Hidup’ Di Hari yang Fitri [Catatan Akhir Pekan (CAP) Asmu'i ke-10]
by Asmu'i Marto

Prolog
Pencapaian tertinggi dari ibadah puasa Ramadhan adalah taqwa (QS. Al-Baqarah: 183). Posisi dimana manusia secara sadar mengakui keagungan Tuhannya, mengakui kelemahan dirinya, mengetahui tugas dan tanggung jawabnya serta melaksanakannya dengan tulus-ikhlas karena Allah swt semata. Di antaranya, seperti yang baru saja kita lakukan, yaitu ibadah puasa Ramadhán dan amal-amal shalih lainnya. Sehingga di penghujung Ramadhan meraih fitrah diri.

Tapi tidak jarang, di hari yang fitri ini, saat merasa bebas dari segala khilaf dan dosa, ada yang ‘terbesit’ bahkan bertekat untuk kembali hidup secara bebas. Mengisi hari-hari penuh ketidakhati-hatian dan malas-malasan. Tidak optimis bahkan penyesalan. Pikiran tersebut timbul hanya karena sudah yakin betul punya bekal hidup yang cukup untuk setahun ke depan. Jika demikian halnya, benarkah kita telah mencapai tingkat taqwa dengan puasa Ramadhán? Benarkah di penghujung Ramadhán ini kita telah kembali fitri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita kembali melihat dan mendalami apa itu fitrah manusia, lalu apa kaitannya dengan ibadah, dan bagaimana cara menitinya.


Fitrah Hidup Manusia

Kita sebelumnya tidak ada. Allah swt kemudian mengadakan (menciptakan) kita. Sehingga kita ada di dunia ini. Artinya, kita tidak hadir tiba-tiba. Tapi diadakan oleh Allah swt, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dengan qudrah dan iradah-Nyalah kita hidup. Kita sama sekali tidak menanam saham di dalamnya. Kita terima jadi. Semuanya dari Allah swt. Karena itu, Dialah pemilik kita yang hakiki. Bukan yang lain. Sebab, selain-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya juga. Menjadi milik Allah swt bermakna bahwa kita adalah hamba-hambaNya (‘Abdullah). Makanya, sungguh sesat menjadikan salah satu makhluk-Nya sebagai Tuhan, tempat menggantungkan hidup dan kehidupan ini.

Allah swt menciptakan kita dengan sengaja. Sebab, semuanya atas qudrah dan iradah-Nya. Karena itu, tugas kita di dunia ini sudah jelas dari awal, yaitu hanya untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Tidaklah Aku menciptakanan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz-Dzariyat: 56). Aktivitas ibadah yang dimaksud di situ tersimpul dalam amanah kekhalifahan yang Allah swt berikan pada kita (cermati QS. Al-Baqarah: 30). Inilah fitrah hidup kita.

Oleh sebab itu, aneh jika hari ini ada seorang Muslim/Muslimah yang gelisah tidak punya kerjaan alias ‘merasa’ jadi pengangguran. Padahal, begitu banyak tugas kekhalifahan di sekelilingnya yang harus segera diselesaikan. Jika yang ia maksudkan adalah kesibukan dalam perspektif materi semata, sungguh ia telah terputus dari fitrah kemanusiaannya. Terputus karena selain menafikan tugas mulia dari Tuhannya, ia juga tidak sedang menggantungkan perkaranya pada Allah swt, tapi pada selain-Nya. Misalnya pada materi, pada akal fikirnya semata, dan lain sebagainya. Singkatnya, orang yang merasa menganggur itu sejatinya sedang bingung dengan dirinya sendiri.

Meniti Fitrah Hidup

Perintah beribadah berkaian erat dengan kenyataan bahwa kita milik Allah swt sepenuhnya. Kenyataan bahwa sebelumnya kita tidak ada, kemudian Allah swt adakan, ciptakan. Makanya, jangankan harta, hatta diri ini saja dari-Nya dan milik-Nya. Karena itu, hakikatnya kita berhutang pada Allah swt. Hutang kita adalah diri kita sendiri, keber-adaan kita ini. Itu adalah pemberian terbesar Tuhan pada kita. Buktinya, ketika seseorang terancam hidupnya, biasanya ia akan mengorbankan apa saja untuk menyelamatkan dirinya. Atas dasar itu, manusia itu sesungguhnya berhutang pada Allah swt atas karunia ‘keber-ada-annya’ dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya. Rasa keberhutangan inilah elemen mendasar dari kepasrahan diri manusia kepada Tuhan.

Mengembalikan diri kita kepada Allah swt adalah proses menjadikan diri kita ini kembali pada fitrah yang sesungguhnya, kepada jati diri kita dengan jalan mengabddikan diri kepada-Nya. Ini adalah konsep spiritual bukan aspek fisik dari keberadaan kita. Karena itu, pengetahuan ini akan menuntun kita dengan sepenuh hati dan dengan kesadaran yang tinggi mengabdikan diri kepada Allah swt melalui ketaatan atas perintah, hukum-hukum dan menghindari larangan-Nya. Jadi sama sekali tidak ada paksaan, namun sebaliknya, secara sadar, penuh keikhlasan semata-mata karena Allah swt (baca: Islam and Secularism; bandingkan dengan Prolegomena).

Dengan demikian, tidak semua cara bisa ditempuh untuk mengembalikan diri. Tidak semua cara benar dan menjadikan diri kita kembali fitrah. Yang benar dan dapat diterima adalah yang melalui agama yang terpancar dari konsepsi ke-Esaan Tuhan yang benar sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim as. dan para penerusnya. Inilah agama yang diridhai Allah swt, “Sesungguhnya agama di sisi-Allah adalah Islam” (QS. Ali-‘Imran: 19). Oleh sebab itu, ibadah kita baru akan diterima tatkala dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt dan sesuai dengan syari’at-Nya [baca: Tafsir al-‘Azim (1: 154); Ihya’ (4: 346) dan al-Jami’ al-Saghir (1: 49)].

Desain Tubuh Kita

Desain tubuh kita tentu sesuai dengan tujuan penciptaan kita. Karena kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, berarti kita didesain hanya untuk beribadah kepada-Nya. Desain ini dari Tuhan Yang Maha Pencipta. Pemilik kita, Zat Yang Maha Tahu diri kita. Sehingga, jika selama hidup kita tidak beribadah, berarti kita merusak diri kita sendiri. Sebab tidak sesuai dengan kondisi kita. Tidak sesuai dengan fungsi dan tanggungjawab kita. Singkatnya, tidak beribadah berarti kita tidak merawat diri kita sebagaimana yang seharusnya, yakni sesuai fitrah yang Allah swt ciptakan.

Contoh sederhananya begini. Sebuah gelas kecil khusus dibuat oleh perusahaan tertentu untuk air minum. Air minum yang dimaksud bukan yang panas atau bukan pula yang dingin. Tapi yang biasa saja. Alasan apapun, jika kemudian kita menggunakannya untuk memuat minuman yang panas atau yang sangat dingin, maka sudah dapat dipastikan bahwa usia gelas itu tidak akan lama. Sebab, bahan untuk membuatnya telah disesuaikan dengan tujuan pembuatannya. Sesuai fungsi dan kemampuannya. Makanya, agar tidak mudah rusak kita harus memperhatikan petunjuk pemakaian dari perusahaan dimana gelas itu diproduksi. Demikian juga tubuh kita, jika tidak difungsikan sesuai tujuan penciptaan Allah swt, maka kita akan rusak. Yang merusak adalah diri kita sendiri. Sebab akan seperti apa kita di dunia ini adalah pilihan hidup kita. Yang jelas, perumpaan di atas sangatlah sederhana. Sebab Allah swt Maha segalanya. Dia tidak akan keliru walaupun sedikit tentang kita.

Beribadah Menjaga Jiwa

Bagi manusia, jiwa menempati peran yang sangat penting. Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati” (Hadis Riwayat Al-Bukhari). Dengan demikian, perkataan, pemikiran, tulisan dan perbuatan kita adalah cermin dari jiwa kita, kepribadian kita.


Di situlah peran ibadah, yaitu memberi makan jiwa dengan ‘makanan’ yang sehat dan menyehatkan. Bahkan juga secara teratur menjaga kesehatannya dengan berbagai vitamin yang dibutuhkan. Vitamin itu bisa berupa nasihat-nasihat yang mengajak kepada ketakwaan dari para ulama yang ‘alim sekaligus ‘amil. Asupan gizi juga terus mengalir tatkala kita tidak putus minum ilmunya para ulama, kyai, ustadz yang benar, tulus-ikhlas karena Allah swt semata. Bukan dari orang-orang yang mengaku ahli dalam agama, tapi sejatinya justru tidak kenal Islam, ragu dengan Islam bahkan memandang Islam tidak sempurna, seperti mereka yang fikirannya liberal (akidahnya terbaratkan).

Maka dari itu, sungguh kasihan orang-orang yang hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat. Orang-orang itu merusak dirinya sendiri. Menjadikan jiwanya berkarat dan sekarat. Jika jiwa sudah seperti itu, yang akan tumbuh subur adalah berbagai penyakit hati, seperti iri, dengki, takabbur dan serakah. Sulit sekali bagi jiwa seperti ini mengenali jalan kebenaran di antara jalan-jalan kesesatan yang membentang di hadapanya. Allah swt berfirman: ''Dan (demi) jiwa dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.'' (QS Asy-Syams [91]: 7-10).

Jiwa yang hitam pekat sulit ditembus cahaya dan petunjuk Allah swt. Akibatnya, jiwa ia tidak bisa membedakan lagi mana jalan yang diperintahkan dan jalan yang terlarang. Semua dianggapnya sama. Baginya, melalui jalan kefasikan tidak lagi berdosa. Sedangkan jalan kebaikan ia nilai sia-sia untuk dilalui. Di sini, tidak ada lagi keikhlasan, kesabaran dan lapang dada menerima kenyataan hidup.

Sementara itu, mereka yang ikhlas beribadah kepada Allah swt, jiwanya jernih laksana air. Apapun yang dimasukkan ke dalam air jernih dengan mudah bisa diketahui dan dikenali. Jiwa ini bersih, sehat, dan segar. Cahaya dan petunjuk Ilahi akan tembus meresap dan mengendap dalam relungnya. Jiwa ini akan lebih mudah membaca dan menyimpulkan setiap isyarat di hadapannya dan ayat-ayat alam di sekelilingnya. Ia punya prasangka baik (husnuzhan) kepada Allah swt, optimistis dan lapang dada. Hal ini karena cahaya Ilahi memang akan bersemayan di dalam jiwa yang bersih. Dalam sebuah Hadith Qudsi Allah swt berfirman: “Bumi dan langit-Ku tidak dapat memuat-Ku, tetapi yang dapat memuat-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman.

Epilog

Beribadah adalah fitrah kita. Proses kita membayar hutang kepada Allah swt. Mengembalikan diri ini hanya kepada-Nya. Orang yang menapaki jalan ini berarti ia terhindar dari tiga kesalahan.
Pertama, kezaliman. Zalim bermakna tidak adil, sebab tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya (baca: Kitabu at-Tauhid). Orang zalim tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Ia mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Contohnya, bertauhid tapi masih berfikir dichotomis-dualistis bahkan pluralis, mencampur keimanan dengan kemusyirikan, dsb.

Kedua, bodoh. Al-Ghazali menyebutnya dengan hamaqah. Ia bukan jahil dan buta aksara. Tapi bodoh dalam cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya. ”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Anda bisa ‘jual diri’ asal bisa jadi selebriti. Karena itu, Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah (cermati QS. A1-Ma'idah: 15-16 dan al-Jatsiyah: 18. Pembahasan mendalam tentang “syariah sebagai jalan” lihat dalam al-Asfahani dan Ibn Manzur).

Ketiga, gila. Artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Hal ini karena hamaqah atau kebodohan. Bodoh akan negeri impian akan bingung hendak kemana sampan didayung. Yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah baginya. Yang demikian adalah kegilaan. Karena itu, amalnya hanya demi dirinya (linnafsi faqod), mencari kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal), yang tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah swt semata (Lillah Ta’ala).
Jadi, orang yang tidak hidup sesuai fitrahnya sejatinya adalah orang-orang yang zalim, bodoh dan gila. Dan bisa jadi, orang yang berpandangan dan berperilaku tidak tauhidi (dualistis), mengakui kebenaran lain di luar Islam alias berfikir liberal-pluralis adalah yang menjadi sumber virusnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
.............................................................
Padi (Padepokan Ilmu), 11 September '10
Dini Hari, 01.31 WIB.
********************************

(dari : sahabatku Asmu'i)
Kebun Cinta Kita Ya Ukhti
author

Kebun Cinta Kita Ya Ukhti



...................................................................

Jika kebun Itu memekarkan bunga,
maka Kupastikan Ia Tak Layu Selamanya......^_^,
inilah Kebun Cinta Kita...
dimana Alloh menatapnya dengan tatapan Cinta, maka bergeloralah rasa, maka terbitlah rindu, mengirimkan getar-getar dawai hati....

maka Berkatalah lelaki Sholeh ini....

"Maukah Engkau Menjadi Istriku..."
Ini adalah Impian di setiap sejarah Perjalanan hidup seorang Wanita

Di lamar
Di Pinang
Lelaki Sholeh
Siapa yang tak mau….!

Maka biarlah sejarah bercerita tentang kita
Tentang potret lelaki sholeh ini

)I(Muhammad, Lelaki Setia di sepanjang Sejarah Cinta)I(

Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.

Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.

)I(Firasat sang Bunda Hasan Al Banna)I(

Tak ada nada indah yang mampu menandingi, keindahan lantunan nada-nada Cinta Allah dalam Al Qur’an. Ini pula yang menggetarkan kalbu Bunda Hasan Al Banna, Bagaimanapun juga, dirinya tahu Putranya itu sudah selayaknya Menikah, dan yang layak mendampinginya adalah, sosok muslimah yang bisa menjadi sandaran Hasan Al Banna, ketika dakwah memaksanya untuk jeda sejenak.

Maka aspek Ruhiyah, adalah wajib hukumnya, maka kecintaan pada Al Quran adalah parameter nilai untuk mengukurnya, maka lantunan indah tilawah quran itu adalah bukti konkret kecintaan pada kalam illahi ini. Dan inilah dasar pertimbangan Bunda Hasan Al Banna menjatuhkan pilihan, kepada wanita itu, untuk mendampingi putranya.

Maka sejarah mencatat, Hasan Al Banna, telah melakukan perannya dalam dakwah, menelurkan Cintanya pada Agama ini, Maka Lahirlah Ikhwanul Muslimin, Harokah Dakwah terbaik saat ini di bawah kaki langit, maka siapakah perempuan yang ada disampingnya.
Maka benarlah Firasat sang Bunda……

)I( Buah Cinta Zaid bin Haritsah)I(

Jika ada penyimpan Rahasia yang terjaga sangat baik, maka ini adalah orangnya Zaid bin Haritsah.
Beliau adalah anak angkat Rasulullah saw, sahabat juga orang yang sangat dikasihi dalam Islam.

Jika ada wanita yang sering Rasulullah saw sebut-sebut sebagai Ibu maka wanita ini lah orangnya

“Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda ku yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada.”
Inilah Gambaran Kecintaan Rasulullah saw, kepada Ibu Susunya itu.

“Siapa Yang Mau Menikahi wanita Surga, maka Nikahilah Ummu Aiman” Seru Rasulullah saw
Maka Zaid bin Haritsah lah yang mengangkat tangan, ketika semua tangan ragu melihat perbedaan umur yang sangat jauh, dengan Ibu susuan rasulullah saw itu.

Tapi Allah mempunyai rencana lain, selisih dua generasi antara Zaid dan Ummu Aiman, mengundang Kebarokahan Allah, dengan hadirnya Putra Mereka yang bernama Usamah bin Zaid, Sang Panglima Perang Termuda dalam Sejarah Sahabat Nabi.
Di bawah bimbingan Ummu Aiman dan Zaid , Usamah tumbuh menjadi anak yang Sholeh

Dalam rekam sejarah di sirah nabawi kita lihat bagaimana
Usmah menangis, Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya, putra-putra para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih sangat muda. Usamah bin Zaid teramasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu, Usama pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.

Apa yang menggerakkan si kecil Usamah, kalau bukan bimbingan kedua orang tuanya yang sholeh
Maka benarlah ungkapan Rasulullah saw terhadap Usamah….

“Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (kesayangan anak kesayangan).
Usamah lahir dari buah Cinta Lelaki Sholeh Zaid bin Haritsah…
Yang meletakkan cinta di tempat semestinya…..

)I( Kebun Cinta Kita Ya Ukhti…Komitmen Lelaki Surga)I(

Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.

Maka Ucapan
“Aku Cinta Padamu”
Adalah deklarasi Kepribadian, juga pembuktian diri, di hadapan Allah, juga istrimu tentunya

Maka hanya lelaki sholeh saja yang mampu, membuat cinta istrinya terus berkembang
Tak menyusut dan habis

Maka ucapan di malam Pertama, tentang penjabaran Visi Surga, wajib hukumnya
Berbicaralah dari hati kehati, dengan istrimu
Berkomitmen.

Mengingat kembali perkataan kita sebelum akad di ucapkan
………."Maukah Engkau Menjadi Istriku..."
Ini adalah bentuk lain dari kata “Aku Cinta Padamu”
Disinilah pembuktian Deklarasi Kepribadian dilihat semua orang

Apakah Kebun Cinta itu menjadi layu, atau mekar mewangi

Rasulullah saw, Zaid Bin Haritsah, juga Hasan Al Banna, telah mengukir peran mereka sebagai lelaki Sholeh di pentas sejarah

Maka saat ini adalah Giliranmu……..

)I(hamzah)I(

Tersenyum, ketika ku mengingat pertama kali, mengatakan padamu duhai cintaku….”


(catatan sahabat saya di FB)
Hubungan Pria dan Wanita dalam Islam
author

Hubungan Pria dan Wanita dalam Islam



Konsep Gender Islam Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Keadilannya meliputi berbagai bidang. Termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang di dalam kajian fiqh dikenal sebagai bab “Ahwalus Syahsiyah”. Namun demikian banyak nash-nash Syar’i yang sering dituding memihak laki-laki dan menempatkan wanita dalam posisi lemah.


Aturan-aturan rumah tangga seperti Qawwamahnya laki-laki (kepemimpinan laki-laki terhadap wanita), ketergantungan nafkah wanita terhadap laki-laki, kewajiban wanita untuk patuh pada suami dalam berbagai hal (termasuk dalam melaksanakan hubungan biologis), dibolehkannya poligami, kewajiban wanita dalam rumah tangga dan dibolehkannya suami menegur istri bahkan memukulnya, merupakan aturan-aturan yang dituding sebagai sebab penindasan wanita.


Bagaimanakah sebenarnya tuntunan Islam dalam hal hubungan laki-laki dan wanita? Apakah benar semua tuduhan itu? Jawabannya tidak sekedar membutuhkan keimanan dan keyakinan akan keadilan Islam, namun juga perlu penelaahan berbagai nash-nash al-Qur’an dan al- Hadits dan juga pendapat-pendapat ulama di dalamnya.


Pembahasan berikut akan mencoba menjawab segala syubhat di atas. Disini akan diuraikan menjadi beberapa bahasan yaitu:

1. Qawwamah laki-laki dan konsekuensinya
2. Hak wanita dalam hubungan biologis, dan hak reproduksi
3. Nafkah dan hak wanita untuk bekerja
4. Poligami sebagai alternatif.

A. Qawwamah laki-laki dan konsekwensinya

Firman Allah SWT : “Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita , oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka . .” (QS AnNisa : 34)

Yang dimaksud dengan kepemimpinan laki-laki adalah: tertegaknya segala didikan, aturan, pemeliharaan dan perlindungan terhadap wanita (istri) sebagai suatu tanggung jawab pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya. Jadi qawwamah laki-laki adalah tuntutan managerial atau suatu konsekwensi logis dari satu hubungan di mana harus ada yang memimpin dan yang dipimpin. Qawwamah laki-laki dalam Islam berlandaskan kasih sayang dan kelembutan bukan otoritas arogan kediktatoran. Serta terpenuhinya prinsip musyawarah dan ta’awun di dalamnya.

Karena itu ada dua hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan qawwamah tersebut yaitu:

1. Hak suami melarang atau memerintahkan sesuatu terhadap sang istri (hak untuk ditaati)
2. Hak suami menegur istri bahkan dengan teguran fisik

Lalu terhadap larangan atau perintah suami terhadap istrinya, ada batasan-batasan syar’i yang patut dipatuhi :

1. Tidak boleh dalam hal maksiat kepada Allah SWT
2. Tidak boleh untuk menyakiti sang istri.

Dalam hal izin keluar rumah misalnya, ada sebuah hadits yang jadi perdebatan para ulama. Yaitu sebuah riwayat Anas tentang seorang istri yang suaminya sedang bepergian dan dia dilarang keluar dari rumahnya. Sampai akhirnya terdengar khabar bahwa orangtua si istri sakit, lalu istri meminta izin pada Rasul tetapi Rasul melarangnya. Begitu pula ketika terdengar berita bahwa orangtuanya meninggal, Rasul tetap melarangnya.

Hadits ini menjadi perdebatan ulama tentang sejauhmana seorang suami berhak melarang istrinya untuk bersilaturahmi kepada orangtuanya. Hadits tersebut, setelah diteliti dari segi sanadnya

(para perawinya) ada salah seorang perawinya dianggap memiliki cacat rawi yaitu Muhammad ibn Aqil al-Khaza’iy, sehingga hadits ini dianggap oleh Syafi’iy sebagai tidak shahih.


Disamping itu hadits ini dianggap bertentangan dengan nash al-Qu’an yang memerintahkan kita berbakti pada orangtua.

Larangan suami atas istri untuk ziarah kepada orangtuanya, terutama dalam kondisi orangtuanya sakit, dianggap melukai dan menyakiti perasaan istri dan itu bertentangan dengan prinsip wa 'asyiruhunna bil ma'ruuf.


Dalam masalah ta’dib (mendidik/menegur) istri, dimana sang suami boleh memukul sang istri, ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan : 1. Teguran tersebut harus bertahap, sebagaimana yang tertera dalam QS. An-Nisa: 34. Bahwa hak untuk menegur, bukanlah bersifat sewenang- wenang. Atau isyarat dibolehkannya suami sewenang-wenang terhadap istri. Namun perlambang tanggung jawab suami terhadap perilaku sang istri bila bermaksiat terhadap Allah. Bila sang suami tidak menegur, tentulah ia berdosa pula.

Berbeda dengan istri, dia tidak dibebani tanggung jawab yang sama, ( sebesar tanggung jawab suami ) bila suami melakukan penyimpangan. Lihat hadits : “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya ...


Dalam sebuah ayat sering disebutkan Quu anfusakum wa ahlikum naara (Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Ayat diatas, memakai dlomir "Kum"( kamu semua laki-laki), artinya penjagaan tersebut adalah tanggung jawab utama bagi laki-laki. Meski demikian karena hukum da’wah wajib bagi setiap muslim dan muslimah, maka seorang istri juga wajib meluruskan apabila melihat suami melakukan penyimpangan.


2. Bahwa tindakan memukul yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan atau meninggalkan bekas dan tidak boleh di wajah. Bahkan kalau bisa tidak memukulnya. karena Rasul tidak pernah memukul pembantu apalagi istrinya. Sebagaimana hadits yang diriwatkan oleh A’isyah RA.


B. Hak wanita dalam hubungan biologis dan hak reproduksi

Dalam hubungan biologis (aktifitas seksual) antara suami istri, banyak orang memahaminya sebagai suatu hak bagi suami dan kewajiban bagi sang istri. Hal itu berdasarkan hadits: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjang, tapi ia menolaknya, sementara sang suami marah, maka malaikat melaknatinya sampai subuh tiba” (Bukhari-Muslim)


Pendapat-pendapat ulama justru menunjukkan bahwa jima’ adalah hak bagi sang istri. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal berapa lamanya seorang istri wajib digauli. Syafi’i berpendapat bahwa wajibnya seorang istri digauli hanyalah satu kali. Karena hal ini berkaitan dengan syahwat dan perasaan maka tidak dapat diwajibkan begitu saja. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa wajibnya itu setiap empat bulan sekali.


Adapun hadits di atas, para ulama menyarankan agar hadits tersebut tidak dipahami secara harfiah. Musthafa Muhammad Imarah misalnya, mengatakan bahwa laknat malaikat itu terjadi jika penolakan istri dilakukan tanpa alasan syar’i (sakit misalnya). Juga Wahbah az-Zuhaily, berpendapat bahwa laknat dalam hadits itu harus diberi catatan ‘selagi istri dalam keadaan longgar dan tidak takut disakiti’.

Al-Syirazi mengatakan bahwa meskipun istri wajib melayani permintaan suami, tetapi jika tidak terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi istri yang sedang sakit, atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Bahkan Syaikh Ahmad kan’an dalam bukunya Ushul mu’asyarah as-zaujiyah, berpendapat bahwa hadits tersebut sebenarnya bukan tudingan bagi isteri semata. Suami juga akan mendapatkan hal yang sama jika menolak keinginan istri, sementara ia dalam kondisi yang telah dijelaskan para ulama diatas.


Adapun kalimat ‘jika laki-laki mengajak” dalam hadits di atas lebih cenderung pada bentuk “aghlabiyah” artinya, dalam realitanya laki- lakilah biasanya yang sering memulai. Jadi jelaslah bahwa hubungan badan (aktifitas seksual) bukan sekedar kewajiban bagi sang istri tapi juga merupakan haknya dan kewajiban bagi suami. Dengan kata lain aktifitas seksual merupakan hak dan kewajiban bersama. Maka bagaimana mungkin dikatakan ada ‘marital rape’ dalam keluarga Islami?


Adapun hak-hak reproduksi wanita atau hak wanita untuk menentukan apakah ia mau hamil atau tidak dapat ditelusuri dari hadits-hadits tentang azal. Hukum azal (mengeluarkan mani ketika jima’, tidak pada kemaluan wanita, dengan tujuan menghindari kehamilan) memang diperdebatkan. Namun dapat disimpulkan bahwa kebanyakan ulama tidak mengharamkannya, hanya menganggapnya makruh. Hanya ulama Dhahiriyah yang menganggapnya haram secara mutlak.

Banyak ulama yang mengaitkan kebolehan azal itu dengan izin dari istri. Artinya bila si istri menyetujui, maka boleh dilaksanakan azal. Tetapi bila tidak, maka hendaknya azal ditinggalkan. Bahkan persetujuan istri inilah yang dianggap menjadi sebab dibolehkannya azal secara mutlak.


Hal ini didasarkan pada dua sebab :

1. Dhahir bunyi hadits riwayat Ibn Majah dari Umar ibn Khattab bahwasanya Rasulullah SAW melarang melakukan azal kecuali dengan izin dari istri : “Rasulullah SAW melarang azal, kecuali seizin isteri”
2. Menikmati hubungan seksual dan melahirkan anak sebagai akibat hubungan tersebut adalah merupakan hak bagi istri, maka dia yang lebih berhak menyatakan boleh atau tidak melakukan azal.

C. Nafkah dan hak wanita untuk bekerja

Islam mengatur kewajiban nafkah sebagai kewajiban yang dibebankan kepada suami. Suamilah yang berkewajiban mencukupi sandang, pangan, dan papan istri dan anak-anaknya. Sementara seorang istri berkewajiban mengatur rumah tangga. Namun jika penghasilan suami tidak mencukupi, maka seorang wanita dibolehkan bekerja, untuk membantu suami dengan syarat :

1. Ada izin dari suami
2. Tidak melalaikan tugas-tugas rumah tangga
3. Bekerja pada bidang yang sesuai kodratnya serta memelihara kehormatan diri dan keluarga.

Yang perlu ditekankan adalah bekerjanya wanita di luar rumah dengan motivasi ekonomi ini sebenarnya merupakan sesuatu hal yang justru menambah kewajiban-kewajiban extra bagi wanita. Jadi bukan suatu hak mutlak yang serta merta menyenangkan wanita. Maka idealnya seorang wanita dapat mengembangkan suatu usaha ekonomi yang tidak terlalu menyita waktu keluar rumah (home industry). Hal ini lebih memungkinkan baginya untuk tetap melaksanakan fungsi utamanya selaku ibu rumah tangga.


D. Poligami sebagai alternatif

Islam mensyari’atkan poligami sebagai suatu alternatif mengatasi berbagai permasalahan wanita yang kompleks. Jumlah wanita yang relatif lebih banyak daripada pria menuntut adanya suatu sistem keluarga yang bertujuan untuk mengayomi wanita itu sendiri. Dalam poligami hak- hak seorang istri terhadap suaminya tidaklah berkurang. Sebaliknya, kewajiban istri kepada suaminya justru bisa ditanggung secara kolektif (bersama-sama) antara satu istri dengan istri lainnya.


Begitu pula dalam hal pemeliharaan anak-anak. Di sisi lain, adanya pembagian waktu antara satu istri dengan istri lainnya dalam hal melayani suami, memungkinkan bagi sang istri memperoleh waktu luang mengembangkan potensi pribadinya. Suami pun dapat memperoleh haknya di saat istri lain berada dalam kondisi halangan syar’i.

Yang terpenting dalam poligami adalah keadilan suami dalam hal nafkah, baik lahir maupun batin dan pembagian waktu. Adapun masalah hati, adalah sesuatu yang memang susah untuk dilaksanakan. Karena Allah sendiri telah mengisyatatkan hal tersebut.

Keadilan itu sulit tercipta tanpa adanya satu keterbukaan. Dengan adanya keterbukaan pula, penyelewengan atau penyimpangan prilaku suami dalam menjalankan kewajibannya dapat dipantau para istri.

***************************************************************************


Semoga apa yang evi share kepada semua sahabat dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita semua. Diharapkan diskusi dari teman-teman terhadap catatan evi ini. Apabila ada kesalahan dalam penulisan dan ucapan, evi mohon maaf . Jazakumullah khoir telah membaca dan mengomentar setiap catatan evi.


Salam

~Evi A.~

Medan, 12 September 2010

http://eviandrianimosy.blogspot.com/




author

Tantangan Umat Islam dalam Dunia Politik

Tantangan Umat Islam dalam Dunia Politik
Oleh: Nandang Burhanudin

Umat Islam dan Politik

Dalam sejarahnya, umat Islam --dalam kategori politik-- seringkali hanya dijadikan sebagai sebuah ‘palu atau alat pemukul’ . Setelah selesai tugasnya, alat tersebut dikembalikan lagi ke tempat penyimpanan perkakas. Menurut saya, salah satu cara penting yang harus dibangun kalangan Islam adalah bagaimana merumuskan hubungan yang sehat antara politik dan Islam. Dalam doktrin Islam tradisional selalu diajarkan bahwa berpolitik harus selalu dihindari. Ajaran lain mengatakan, kalau mau berpolitik, Islam harus menjadi identitas dengan segala formalismenya. Kedua-duanya keliru.

Kondisi ini disebabkan, umat Islam masih disibukkan dalam memposisikan dirinya di kancah politik. Dalam teori Prof. Fahmi Huwaidi seorang kolumnis dan pemikir muslim Mesir mengungkapkan empat kategori kelompok dalam Islam, yang menamakan dirinya sebagai kelompok pengusung kebangkitan Islam ,

1. Kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik.
2. Kelompok-kelompok terorganisasi, tetapi tidak berpolitik.
3. Kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi, tetapi memainkan peran aktif dalam membentuk intelektualitas Islam dewasa ini.
4. Kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik.

Di Indonesia, kelompok pertama direpresentasikan oleh Dewan Dakwah Indonesia dengan Partai Bulan Bintang, Jamaah Tarbiyah dengan PK dan Hizbut Tahrir Indonesia. Sedang di Timur Tengah direpresentasikan oleh Ikhwanul Muslimin (Mesir), al-Jihad wa at-Tahrir al-Islami, al-Jabhah al-Islamiyah al-Qaumiyah (Sudan), al-Ittijah al-Islami (Tunisia), dan al-Hizbut at-Tahrir al-Islami. Gerakan sejenis yang terdapat di luar Dunia Arab misalnya eksperimen di Iran (oleh kaum muslim Syi'i) dan program Jami'at Islami di India.

Kelompok kedua, diwakili oleh NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, kelompok Sufi, Jamaah Dakwah wat Tabligh Indonesia dan Salafi serta ormas-ormas Islam lainnya yang secara garis organisasi tidak mengafiliasikan dirinya kepada partai tertentu. Kelompok Salafi adalah kelompok yang menekankan tauhid dan memerangi bid'ah yang erat kaitannya dengan gerakan Wahabi di Saudi Arabia.

Kelompok ketiga di Indonesia sangat jarang –untuk tidak mengatakan sulit- ditemukan. Tetapi mungkin termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang selama ini murni berkecimpung dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam, tanpa berafiliasi kepada salah satu ormas maupun partai. Sosok seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, KH. Abdullah Gymnastiar mungkin cocok mewakili kelompok ini. Sedang di Timur Tengah diwakili oleh misalnya: Syekh Ali ath-Thantawi, Syekh M. Mutawalli asy-Sya'rawi, Syekh Abdul Hamid Kisyik, Syekh Ahmad al-Makhlawi, dan Syekh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Guru Besar Fakultas Syari'ah di Damaskus yang sebagian karyanya tersebar di kalangan umat Islam.

Sedangkan kelompok keempat adalah komunitas muslim baru yang dulunya dikenal sebagai muslim abangan. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang dalam proses pertumbuhan keimanan. Akhir-akhir ini mereka memenuhi masjid-masjid serta melaksanakan ibadah 'umrah dan haji, sedangkan kaum wanitanya mengenakan jilbab secara sukarela. Lapisan ini berkembang cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan. Akan tetapi, mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman Islam. Memang harus diakui, banyak jalan menuju keridhaan Allah Ta’ala. Prof. Fahmi Huwaidi menilai bahwa kelompok yang disebut terakhir merupakan landasan riil bagi kebangkitan Islam yang tidak direkayasa, apalagi mereka merupakan sumber pijakan bagi kelompok-kelompok lain, baik yang moderat, ekstrem, maupun yang a-politis.

Berbedanya pengelompokan yang dilakukan tak terlepas dari “apa” yang mereka perjuangkan. Dimana dari keempat kelompok tadi terpolarisasi ke dalam tiga tipologi pemikiran terutama dalam menyikapi turats (warisan Islam masa lalu) dengan al-hadtsah (peristiwa baru di era modern ini). Tiga tipologi pemikiran tersebut adalah:

1. Transformatik
Tipologi ini mewakili para pemikir muslim Indonesia yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan.

2. Reformistik
Jika pada kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini, proyek yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Di antara pendekatan yang paling menonjol dari kelompok ini adalah kecenderungannya untuk memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement, reiteration) atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka.

3. Ideal-Totalistik
Tipologi ideal-totalistik diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid'ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islami.

Jamaah dan Politik
Jamaah adalah umat atau masyarakat umum dari penganut Islam yang bersepakat atas suatu perkara demi mencapai tujuan tertentu. Elemen mendasar fungsi jamaah adalah menegakkan mar makruf dan nahyi munkar.

Pengertian ini tak jauh beda dengan pengertian partai politik modern yang berarti organisasi manusia di mana di dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai edologi (ideal objectve), memimiliki program politik (political paltform, material objective) sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut penahapan jangka dekat sampai jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa.

Tujuan partai politik sangat luas, meliputi aktivitas berikut;

1. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti kader-kader partai duduk di pemerintahan sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya.
2. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas.
3. Berperan untuk dapat memadu tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga partapi politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas.

Dengan demikian kedudukan jamaah dan partai politik adalah laksana batu bata bangunan yang saling menopang. Kumpulan jamaah melahirkan politik. Jamaah yang tadinya bersifat eklusif menjadi inklusif dan tujuan jamaah lebih mengarah kepada kepentingan masyarakat banyak. Dari uraian di atas, penulis memandang bahwa PK pada mulanya merupakan bagian kelompok keempat dalam struktur kebangkitan Islam. Hal ini bisa dilihat dari mayoritas kader PK yang berusia muda, rata-rata kelahiran tahun ‘60-an dan secara politik terlepas dari pelbagai partai politik saat itu hingga era reformasi tahun 1998. Pada akhirnya, individu maupun kolektif yang non partisan tersebut, sepakat meleburkan dirinya dalam sebuah partai sebagai cerminan dari perjuangan mereka. Kendati demikian, kader-kader PK tidak melepaskan aktivitas kaderisasi mereka untuk menciptakan kelompok keempat dalam pergerakan Islam di atas.

Secara tipologi pemikiran sosial-politik, PK masuk dalam tipologi ideal-totalistik atau paradigma integralistik (unified paradigm). Hal ini nampak dalam materi training orientasi Partai Dewan Kaderisasi PK yang menyatakan,
"Islam bukan hanya ritual-ritual belaka yang kita lakukan sebagai bentuk ketundukan kepad Allah Ta’ala. Islam jauh lebih luas dari sekedar ritual. Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap dan paripurna serta bersifat universal. Ia mengatur kehidupan kita sejak kita bangun dan tidur sampai kita tidur kembali. Ia menata kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat. menata ibadah kita seperti ia menata ekonomi dan politik kita. Ia menata hukum kita seperti ia menata kehidupan sosial budaya. Ia adalah al-Qur’an dan pedang, masjid dan pasar, agama dan negara, iman dan ilmu, ibadah dan seni".

Juga ketika mengemukakan jati diri PK dinyatakan,
“Islam adalah sistem hidup yang universal, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, kebudayaan dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan fikrah, akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Keuniversalan inti dan pokok-pokok ajaran Islam yang bernilai perintah kepada kaum muslimin untuk diterapkan secara utuh. Islam adalah suatu tata hidup yang meliputi agama, politik, negara dan masyarakat.”

“Para pendiri dan pendukung PK meyakini bahwa keuniversalan ajaran Islam melingkupi seluruh kehidupan manusia dan kemanusiaan …”

Tantangan Politik Kaum Muslimin di Masa Lalu
Analisa sospol hendaknya tetap selalu mengacu kepada konsep Al-Quran mengajarkan peristiwa kepada manusia, yaitu menggali pelajaran yang telah terjadi. Pembahasan ini menekankan analisa retrokspektif terhadap peristiwa yang sudah terjadi.

Di masa lalu, dalam dunia politik kaum muslimin dihadapkan pada beberapa kasus yang semuanya bermuara pada marjinalisasi umat Islam dari kancah politik. Kasus-kasus yang sudah terjadi membentang dari tahun 1970-1999 seperti kasus Malari, Tanjung Priok, Asas Tunggal, Pelarangan Busana Muslimah, Pelarangan Libur di bulan Ramadhan, masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN 1978, Undang-undang Perkawinan yang bertentangan dengan Islam, kebijakan fusi partai, Gerakan Mahasiswa dekade 1998 (reformasi), Pendirian Partai-partai Politik Islam 1999, Poros Tengah dll.

Rezim otoritarian Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun, akhirnya berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi mahasiswa pada tanggal 21 Mei 1998. Setelah itu Indonesia segera memasuki fase liberalisasi politik awal yang ditandai oleh serba ketidakpastian dan destabilisasi. Karenanya dinamai secara teoritis oleh O’Donnel & Schmitter (1986) sebagai fase ‘transisi dari autoritarianisme entah menuju kemana.” (Eep Saefulloh Fatah, Catatan Politik 1998-1999: Menuntaskan Perubahan, hal.10)

Menurut sejarah kasus-kasus transisi, liberalisasi politik awal bukanlah garansi yang cukup untuk memastikan bahwa sistem politik sedang berjalan ke arah demokrasi. Fase liberalisasi politik awal dapat berlanjut ke arah dua kemungkinan: transisi menuju demokrasi atau rekonsolidasi autoritarianisme.
Liberalisasi politik awal pasca Soeharto itu ditandai antara lain oleh terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Daftar hak yang pada sebelumnya begitu pendek, dalam fase ini telah memanjang secara dramatis. Setiap kalangan menuntut kembali haknya yang selama bertahun-tahun diberangus Orde Baru. Dalam kerangka itulah terjadi luapan kebebasan. Setiap kalangan menuntut kembali hak-haknya.

Pembebasan tahanan dan narapidana politik adalah simbolisasinya yang paling awal dan paling tegas. Yang juga tak terhindarkan di tengah fase liberalisasi politik awal adalah terjadinya ledakan partisipasi politik. Ini tentunya merupakan konskwensi logis dari pengekangan partisipasi politik yang berlebihan di masa Orde Baru sehingga terjadi pembusukan politik yang begitu parah.

Pada level elit politik, ledakan partisipasi politik terjadi dalam maraknya pendirian partai politik dengan berbagai platformnya. Keberadaan partai politik dalam suatu negara, dianggap sebagai salah satu perangkat institusi demokrasi, karena fungsi partai politik diantaranya (AM Fatwa: Satu Islam Multi Partai, hal. 93): Menyerap dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat

Demikian pula dengan media penyaluran perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Akhirnya keberadaan partai politik yang kuat menjadi faktor penting dalam kehidupan berbangsa.
Dan adanya partai politik yang kuat dan mandiri akan mampu mengontrol jalannya pemerintahan. Sejarah membuktikan, lembaga eksekutif (pemerintah) selalu dominatif dan tidak terkontrol akibat disfungsionalisasi partai-partai politik yang tidak mampu mengawasi dan mengontrol jalannya pemrintahan.
‘Halaman’ kebebasan berpolitik bangsa di era reformasi ini memang terhampar luas seolah tanpa tepi. Dan semangat itu pun dirujukan pada pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” (Ismail Hasan Metareum: Partai Islam & Problema dalam Era Reformasi, dalam Memilih Partai Islam Mendambakan Presiden, hal.138). Dan juga Undang-Undang No 2 tahun 1999 tentang Partai
Politik sebagai pengganti UU Politik yang lama.

Akibatnya bermunculanlah partai-partai politik baru seperti cendawan di musim hujan. Jumlah peserta yang banyak itu, selain akan menciptakan suasana baru dengan berbagai konskwensinya dalam proses penyelenggaraan pemilu, juga dapat mendorong terciptanya konfigurasi baru dalam kehidupan politik Indonesia, hususnya di lembaga legislatif. Apalagi berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun
1999 tentang parpol, maka tiap partai politik dapat mencantumkan asas ciri khas partai politiknya asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ledakan partisipasi politik di atas, terjadi juga secara tegas di kalangan Islam. Terbukanya tirai kebebasan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk merevitalisasi diri, termasuk merivitalisasi kritisme dan daya tawar politik Islam. Kita menyaksikan dan merasakan semangat gerakan politik Islam kembali bergelora. Semangat itu dipicu oleh keinginan untuk mengambil peranan sentral dalam proses penyelenggaraan negara lewat wadah politik, semangat untuk ikut andil dalam menentukan arah perjalanan bangsa.

Gelora semangat berpolitiknya umat Islam itu terlihat dari 48 parpol yang berhak ikut pemilu 1999, lebih dari 10 diantaranya adalah partai politik Islam. Baik yang memakai asas Islam, atau yang hanya menjadikan umat Islam sebagai konstituennya. Ada yang merupakan reinkarnasi partai politik Islam masa lalu, ada yang mengambil inspiransi dari partai politik Islam yang pernah ada dengan beberapa modifikasi, dan ada yang sama sekali baru, artinya tidak punya akar historis dengan partai politik Islam yang pernah ada.
Bustannudin Agus menggolongkan partai politik Islam menjadi tiga tipe (Sahar RH, dkk: Memilih Partai Islam : Visi, Misi, dan Persepsi, hal.16):

1. Yang memakai nama Islam.
2. Tidak memakai nama Islam tapi memakai kata yang mudah dikenal sebagai partai bercirikan Islam, bersifat terbuka, dapat menerima orang Indonesia nonmuslim sebagai anggota.
3. Yang tidak memakai nama dari istilah-istilah Islam tapi dilatarbelakangi oleh idiologi dari Islam

Sementara itu kehadiran partai politik Islam juga ada dampak positif dan negatifnya. Menurut A.M. Fatwa, (AM Fatwa: Satu Islam Multi Partai, hal. 97-99), aspek positifnya adalah:

1. Rakyat akan semakin terbuka menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa intimidasi. Udara kebebasan dan pendidikan politik, lambat laun akan menjadikan rakyat semakin rasional, kritis, dan partisipatif dalam mengikutisegala proses politik yang sedang terjadi.
2. Proses sosial politik akan lebih terbuka dan transparan sehingga budaya penggarapan dan intervensi penguasa kepada segala bentuk mekanisme sosial yang berkembang di masyarakat saat itu menjadi nilai tabu.
3. Umat Islam akan diuntungkan karena ada parpol yang concern memperjuangkan aspirasinya. Yang terjadi kemudian adalah adanya mekanisme pemberdayaan visi politik masyarakat.

Adapun aspek negatifnya, yaitu:

1. Bila arus keterbukaan berkembang menjadi anarki, sehingga malah menghancurkan jalanya reformasi dan nilai toleransi umat beragama. Yang kemudian terjadi adalah sikap saling curiga, dan ini membahayakan biduk Indonesia yang terancam karena faktor SARA.
2. Keberagaman pandangan politik Islam di antar partai Islam, akan menyebabkan beragamnya pola dam perilaku politik masing-masing partaiIslam, sehingga antar partai Islam (dan dengan partai lainnya) sangat mungkin terjadi konflik.
3. Kecurigaan idiologis akan diembuskan oleh siapapun yang termasuk dalam kelompok anti Islam dan Islam phobia dalam usaha membuat citra yang buruk terhadap partai Islam, misalnya dengan isu Negara Islam Indonesia (NII) dan Islam antidemokrasi.

Sementara itu, hasil Pemilu 1999, menunjukan bahwa partai-partai Islam mengalami kegagalan dalam perolehan suara. Hanya PPP, PBB, dan Partai Keadilan yang dapat menembus tujuh besar. Gabungan suara partai-partai Islam pun tidak dapat mengungguli perolehan suara PDI-P sebagai pemegang suara mayoritas. Depolitasasi terhadap Islam yang dilakukan rezim Soeharto mungkin menjadi faktor besar yang menyebabkan kecilnya perolehan suara partai Islam. Selain karena perilaku partai Islam yang masih jauh dari ajaran Islam sendiri, menyebabkan umat lebih mempercayakan suaranya kepada partai non Islam, yang notabene kurang memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Namun disamping itu, kegagalan tersebut dapat dipandang sebagai blessing in disguise bagi para pemimpin politik muslim. Kegagalan tersebut tidak hanya dapat membawa mereka ke dalam perenungan dan instropeksi, tetapi untuk mencari cara-cara guna mengesampingkan perbedaan-perbedaan di antara mereka, dan menciptakan visi kebersamaan (unified vision).

Disinilah mereka kelihatan semakin menyadari bahwa mereka harus membentuk front politik bersama, jika ingin dan dapat menjadi kekuatan politik efektif. Dan itu telah terbukti lewat Poros Tengah. Lewat kerjasama apik partai-partai Islam plus (PAN & Golkar), berhasil memecah ketegangan antara pendukung Megawati & Habibie yang makin meruncing, dan menggolkan Abdurahman Wahid sebagai presiden.
Tetapi, meskipun Poros Tengah meski cukup berhasil dalam menyelamatkan posisi partai-partai yang tergabung di dalamnya, harus diakui bahwa Poros Tengah bukanlah sebuah front atau koalisi yang betul-betul solid dan tangguh. Sebaliknya, bila dilihat pembentukan Poros Tengah merupakan sebuah political expendiency, baik secara internal diantara partai-partai Islam maupu secara eksternal menghadapi kekuatan politik lainnya (AM Fatwa: Satu Islam Multi Partai, hal. 25).

Format Baru Politik Islam di Masa Depan

Untuk itu, guna membentuk format baru politik Islam maka harus menghindari kesalahan-kesalahan seperti yang dilakukan di masa lalu, yaitu:

1. Kalangan Islam kerap kali gampang atau lebih suka marah ketimbang melakukan politisasi. Kemarahan adalah luapan emosional spontan yang tidak memiliki target, agenda, dan platform. Sementara melakukan politisasi berarti melakukan aksi atau gerakan yang mempunyai target, agenda, platfrom, serta berjangka panjang, bahkan permanen.
2. Kalangan Islam sering lebih senang mengurusi kulit/artifisial, daripada isi/substansi.
3. Politik kalangan Islam lebih terpesona pada keaktoran (figur,pelaku), bukan pada isme atau wacana yang diproduksinya. Sejarah politik Islam di masa orde baru menunjukan betapa kalangan Islam sering terjebak mendefinsikan kawan atau lawan berdasarkan figur atau keaktoran, bukan isme atau wacana.
4. Politik kalangan Islam sering dilakukan sebagai reaksi, bukan proaksi. Agenda dan opini publik biasanya diciptakan oleh kalangan lain, dan kalangan Islam sibuk berekasi atas agenda, atau opini yang telah terbentuk itu.
5. Kalangan Islam sangat kerap dan senang membentuk kerumunan, dan bukan barisan. Sebuah kerumunan walau terdiri dari banyak orang, namun sangat rentan karena tidak memiliki agenda, platform, kepemimpinan, rencana aksi, yang dikonsensuskan bersama.

Kekeliruan-kekeliruan politik itulah yang menjadi sebab terpenting dari kekalahan politik kalangan Islam selama ini. Dimana hal tersebut telah melatarbelakangi terbangunya politik Islam sebagai sebuah ‘fenomena gigantisme’: sesuatu yang secara fisik besar namun sebetulnya penuh dengan masalah dan penyakit. Lantaran kekeliruan yang dilakukannya, maka Islam berhasil menjadi mayoritas statistik, tetapi gagal menjadi mayoritas politik.

Sesuai karakteristik partai yang berjuang dengan tahapan (gradual/tadarruj), PK menganggap, alangkah baiknya jika energi yang tersisa yang dimiliki umat Islam difokuskan terlebih dahulu untuk menyiapkan landasan-landasan bagi tegaknya syariat Islam. Landasan tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Partai Keadilan, Anis Matta, Lc. adalah sebagai berikut;

Pertama, adanya komitmen dan kekuatan akidah pada sebagian besar kalangan kaum muslimin, yang menandai kesiapan ideologis untuk hidup dengan sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupan, serta kekuatan akidah untuk menampilkan syariat Islam dalam kehidupan di lingkungan mereka secara mempesona.

Kedua, supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan begitu Islam menjadi arah yang membentuk arus pemikiran nasional.

Ketiga, sebaran kultural yang luas di mana Islam menjadi faktor pembentuk opini publik dan –untuk sebagiannya- tersimbolkan dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian, produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum dalam pergaulan dan seterusnya.

Keempat, keterampilan akademis yang handal untuk dapat mentransformasi (legal-drafting) ajaran-ajaran Islam ke dalam format konstitusi, undang-undang dan penjabaran hukum lainnya.

Kelima, kompetensi eksekusi yang kuat dimana ada sekelompok tenaga leadership di tingkat negara yang visioner dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola negara. Merekalah yang menentukan –di tingkat aplikasi- seperti apa wajah Islam dalam kenyataan dan karenanya menentukan berhasil tidaknya proyek Islamisasi tersebut.

Keenam
, kemandirian material yang memungkinkan bangsa kita tetap survive begitu kita menghadapi isolasi atau embargo.

Ketujuh
, kapasitas pertahanan yang tangguh, sebab tantangan eksternal yang mungkin kita hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi, tapi gangguan pertahanan.

Kedelapan, koneksi internasional yang akan memungkinkan kita tetap eksis dalam percaturan internasional, atau tetap memiliki akses keluar begitu menghadapi embargo atau invasi.

Kesembilan, tuntunan politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik –bersama publik- yang secara resmi meminta penerapan syariat Islam di tingkat konstitusi.
author

Pengetahuan dan wawasan Evi tentang BMP, dan pemeriksaan darah haemotologi bagi Penderita ITP

Jika pada awal kita terdiagnosa  ITP dan dokter minta kita BMP sebaiknya jangan langsung mau. Karena untuk mendeteksi penyakit ITP itu tidak harus dengan BMP, bisa dengan cek darah (hematologi lengkap) dan urin. Biasanya dokter haemotologi melarang untuk BMP karena resikonya besar dan menyakitkan. Dokter yang sering menyuruh pasien melakukan BMP itu biasa adalah dokter spesialis penyakit dalam atau dokter-dokter yang memang belum memahami penyakit kelainan darah. Maka sebaiknya jika kita menemukan tanda-tanda aneh di tubuh yang berhubungan dengan darah segera periksa ke dokter spesialis penyakit darah.

Dulu sempat Evi saat awal terdeteksi ITP dengan trombosit 9000 sempat menjadi bulan-bulanan dokter spesialis penyakit dalam dengan pemberian berbagai obat, dll dan juga disuruh BMP karena mereka masih bingung dan ragu terhadap penyakit Evi, sampai gusi berdarah dan mimisan. Saat itu trombosit evi 9.000, Masalah harga BMP saya kurang tahu berapa? Saya ceritakan tentang awal saya mau di suruh BMP dan menunjukkan obat-obatan yang dikasih dokter penyakit dalam itu.

Dokter hematologi saya mengatakan: "Kamu sudah pasti ITP. Tidak ada ada keraguan lagi di dalamnya dan tidak perlu BMP karena BMP itu menyakitkan. Selama masih ada pemeriksaan darah, ya cukup itu saja dilakukan. Obat-obatan yang kamu konsumsi ini segera dihentikan semua karena obat ini tergolong sangat keras dan bisa membuat dehidrasi tingkat tinggi juga keropos tulang lebih cepat."
Mendengar hal itu, saya langsung bersyukur pada Allah karena dipertemukan dengan dokter yang tepat dan sampai sekarang selalu jadi dokter pribadi saya. Jadi kita juga harus berhati-hati dan menjadi pasien yang cerdas, mencari tahu informasi yang ada. Karena masing-masing tingkat kelainan darah seseorang itu berbeda-beda.

Saat Evi berobat ke dokter spesialis penyakit darah, evi hanya melakukan pemeriksaan darah seperti LED, HB, MVC (hematrokit/jumlah eritrosit), MCH (Hb/jumlah eritrosit), MCHC (Hb/hematrokit) atau pemeriksaan darah lengkap dibarengi dengan pemeriksaan thyroid function yaitu : FREE T3 MEIA, FREE T4 MEIA, 3rd Generation TSH; pemeriksaan rheumatology yaitu : CRP, Anti dsDNA; pemeriksaan metabolic yaitu ferritin; pemeriksaan Kidney Function yaitu : greatine, GFR est, lalu karena Evi ada gangguan di pencernaan maka diperiksakan juga serology yaitu bakteri helycobacterpylory. Hal tersebut juga Evi lakukan saat trombosit Evi hampir 2000. Waktu itu biaya yang Evi keluarkan adalah sekitar 1,7juta rupiah (sudah sekaligus bersama uang jasa dokternya yaitu 300ribu rupiah). Jadi selama 2 kali pertemuan hanya 1 kali bayar (ketika menunjukkan hasil laboratorium darah, saya tidak bayar lagi ke dokter saya).

Sebenarnya untuk kasus-kasus berat seperti pendarahan yang tiada henti dapat diberikan medrol (obat kortikosteroid) dan obat penghenti pendarahan. Kalau wanita biasanya haid yang berlebihan bis adiberikan provera. Dan tingkat dosis yang biasa diberikan dokter hemotologi sesuai dengan tingkat aktivitas trombositnya.

Selain BMP, kasus lainnya yang pernah ada yaitu splenektomi.  Sebisa mungkin harus dihindari, khususnya bagi anak-anak. Dengan mengingat resiko septikemia peneumokokal. Hal itu yang Evi baca di buku kedokteran klinis. Splenektomi adalah pembedahan mengeluarkan limpa dan septikemia adalah keracunan darah. Saya sempat diskusikan hal ini bersama dokter hematologi saya.

BMP (bone merrow punction) adalah sebuah pilihan terakhir jika obat yang diberikan tidak ada kemajuan. Sebaiknya yang berkata harus di BMP adalah dokter haemotologi. Karena dokter spesialis tesebut paling tahu mengenai kondisi darah pasiennya. Waktu trombosit evi 2ribu, evi diberi medrol berdosis 16 miligram tapi saat trombosit evi 30ribu dikurangi makan obatnya menjadi 1/2nya dan saat trombosit evi 50ribu (alias tahap aman kata dokter) evi minumnya jadi 1/4nya alias 4miligram pada waktu pagi dan malam. Pemberian obat medrol harus dibarengi dengan obat lambung karena medrol mempunyai efek smaping membuat asam lambung tinggi. Nama obat pasangan medrol adalah Omeprazole. Bahkan evi pernah memakan obat khusus tulang karena waktu pemeriksaan darah, keliatan sumsum tulang evi agak berkurang. Itulah yg membuat kita lemas wlpn kondis Hb bagus. Kalau untuk anak-anak evi belum mengetahuinya. Evi rasa sama aja, mungkin dosisnya yang dikurangi.

BMP (bone marrow procedure), yakni mengambil cairan sumsum tulang belakang. Jika tidak tepat, pengeboran ini bisa menyebabkan kelumpuhan atau bahkan kematian.

Dulu sempat evi konsultasi dengan teman yang seorang dokter tentang BMP, dia bilang jg sebaiknya jangan dilakukan tapi jika harus dilakukan maka,
Yang mesti disiapkan jika perlu dilakukan pemeriksaan sumsum tulang:
1. Kesiapan mental, karena pemeriksaan ini sedikit menyakitkan
2. Tidak memiliki kelainanan/ penyakit radang kulit di daerah dada
3. Berkonsultasilah dengan dokter terkait manfaat dan risiko pemeriksaan sumsum tulang ini.

Semoga informasi ini bermanfaat ya. Jikalau evi ada salah dalam ucapan dan tulisan, evi mohon maaf. tetap semangat dan tersenyum selalu.

Tadi evi baru ngobrol dengan teman yg juga seorang dokter. Untuk biaya BMP itu tergantung dari siapa dokternya, rumah sakitnya. Biasanya dibawah 1 juta, ada juga 400-500rb, bahkan ada juga di bawah 400ribu.

Untuk anak-anak sebaiknya jangan dilakukan BMP karena sumsum tulang belakang adalah pusat saraf, jika saat dokter mau ambil sumsum dan posisi anak ga bisa diam maka resiko besar kegagalan akan terjadi. Emosi seorang anak belum bisa diatur. Sebaiknya dilakukan dengan pengobatan, menjaga anak agar tidak terluka dan mengalami pendarahan, cek darah dan makan makanan yg baik terutama anak. Jauhi makan yg berbau penyedap rasa, pengawet serta pewarna. Itu juga saran dr teman dokter evi.

Apabila dokter salah melakukan pemeriksaan BMP maka akan timbul penyakit baru yg luarbiasa. Mungkin ini bisa menjadi bahan pertimbangan.

Evi lupa menyampaikan diatas, biasanya kalau pembedahan itu minimal trombosit batas aman adalah 50ribu.

Seperti kata mba Susi, jika sudah mengetahui kita menderita ITP sebaiknya ga usah melakukan BMP. Ciri ITP mudah kok dikenali walaupun kadang hampir sama dengan Hemofilia, TTP atau penyakit darah lainnya. Bedanya sering di trombositnya, selalu nurun dan nurun dan jarang bisa dalam kondisi normal yaitu 150rb-400rb.
Pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin ( Makna dibalik Minal 'Aidin wal Faizin )
author

Pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin ( Makna dibalik Minal 'Aidin wal Faizin )

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Apa kabar sahabatku semua? Alhamdulillah tak terasa kita telah memasuki puasa ke 24 Ramadhan. Sahabat, biasanya kita semua setelah selesai atau sebelum bahkan mungkin setiap harinya sering berkata Minal ‘Aidin wal Faizin. Akan tetapi dari kita tidak memahami makna dibalik kata tersebut. Diambil contoh seorang pemimpin karena saat ini lagi marak-maraknya berita seputar pemimpin sebuah negara dan selain daripada itu kita sebagai insan ditunjuk oleh Allah sebagai Khalifah-Nya di muka bumi ini. Semoga artikel dibawah ini menambah pengetahuan dan wawasan kita ya sahabatku.


¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥



Pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin

By: Anbar Thea



Pada tanggal 4 bulan Rabi’ul Awwal 886 H/Mei 1481 M, umat Islam kehilangan pemimpin agungnya. Dialah Sultan Muhammad Al-Fatih yang wafat dalam usia 52 tahun. Sebelum wafat, ia berwasiat pada penggantinya,

Wahai penggantiku, tak lama lagi aku akan menghadap Allah. Namun aku sama sekali tidak khawatir, karena aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh dan penebar kasih sayang. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan. Giatlah untuk menyebarkan Islam, mengingat menyebarkan Islam adalah kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepetingan agama atas kepentingan apa pun selainnya. Jangan pernah lemah dan lalai dalam menegakkan agama. Jangan pernah mengangkat orang-orang yang tidak mempedulikan agama sebagai pembantu-pembantumu. Juga, jangan pula mengangkat orang-orang yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai menteri-menterimu. Hindari bid’ah-bid’ah yang merusak. Pertahankan negeri melalui jalan jihad. Jagalah harta di Baitul Mal, jangan dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali mengambil harta rakyatmu kecuali sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah orang-orang yang lemah dan fakir. Berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.



Di ujung wasiatnya, ia berpesan,

Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil. Tapi Allah karuniakan nikmat kepadaku yang sedemikian besar. Berjalanlah seperti yang aku lakukan. Janganlah kamu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara, atau kamu pergunakan lebih dari sewajarnya. Sebab semua itu merupakan penyebab utama kehancuran.” (As-Sulthan Muhammad Al-Fatih, 171-172)

***

Ungkapan Minal ‘Aidin wal Faizin acap diucapkan kaum muslimin Indonesia usai melaksanakan puasa Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri. Ungkapan tersebut kurang lebih merupakan doa yang bermakna semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (kepada fitrah suci) dan golongan orang-orang yang meraih sukses. Sebuah ungkapan singkat, tapi mengandung makna yang begitu luhur dan agung, kendati seringkali versi bahasa Arabnya sering salah diucapkan lidah kebanyakan muslim Indonesia.



Terlepas dari semua itu, dalam konteks kepemimpinan bangsa dan keumatan, kita memang sangat merindukan lahirnya pemimpin atau para penguasa dalam segala levelnya yang termasuk dalam kategori ‘orang-orang yang kembali pada fitrah suci’ dan ‘orang-orang yang meraih sukses’. Fitrah suci adalah nilai murni seorang insan, laksana kertas putih yang bersih dari titik noda kesalahan, terhindar dari noktah keserakahan dan dosa. Sedang kesuksesan dalam dimensi lebih luas, mencakup kesuksesan lahir batin, material-spiritual dan dunia-akhirat.



Bila dihubungkan dengan nasihat Sultan Muhammad Al-Fatih di atas, maka seorang pemimpin atau penguasa dapat merepresentasikan diri sebagai sosok ‘fitrah suci’ dan ‘sukses’ bila memenuhi beberapa rukun berikut;



Pertama; mampu menegakkan keadilan dan saleh secara ritual juga sosial.

Keadilan adalah misi universal yang karenanya Allah mengutus para rasul untuk menegakkannya. Keadilan adalah milik semua kalangan. Ia tak boleh terhijabi perbedaan ras, agama, status sosial, perasaan dan apapun yang bisa menghalangi keadilan tegak di muka bumi. Keadilan Islam telah sejak lama ditulis tinta emas sejarah peradaban manusia, baik ketika perang maupun dalam kondisi damai. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, pesan yang disampaikan saat defile pasukan adalah, “Jangan berkhianat. Jangan berlebih-lebihan. Jangan ingkar janji. Jangan mencincang mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita. Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih kambing kecuali untuk dimakan. Jangan mengusik orang-orang Kristen yang sedang beribadah. Berangkatlah dengan bismillah.”


Kedua
; melindungi dan mengayomi seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan.

Ketika seseorang terpilih menjadi pemimpin mulai dari level terendah hingga tertinggi, dalam Islam, ia tidak lagi menjadi pemimpin bagi sebagian kalangan yang mencalonkan atau memilihnya. Tapi ia menjadi pemimpin bagi seluruh konstituen. Oleh karena itu, atribut-atribut sektoral seperti ketua partai, ketua ormas atau apapun bentuknya, harus ditanggalkan. Inilah yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih yang sangat penuh perhatian kepada rakyatnya, baik dari kalangan muslim atau non muslim. dikisahkan, penduduk pulau Khabus yang masuk dalam wilayah teritori Khilafah Utsmaniyah memiliki hutang seribu Duqa kepada Fransisco De Rapeyur seorang hartawan di negeri Galata. Saat si empunya hutang tak mampu menagih hutangnya, ia melaporkannya kepada Sultan. Atas dasar laporan ini, Sultan mengirimkan pasukan. Namun sayangnya, penduduk pulau Khabus malah menolak membayar hutang dan melawan prajurit Sultan. Ketika itu Sultan berkata kepada Fransisco, “Akulah yang akan menanggung semua hutang mereka terhadapmu. Juga, aku akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentara yang meninggal.”


Ketiga; aktif giat menebar nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di tengah kiris moral yang semakin membuncah di negeri ini, tentu dibutuhkan political will dari pihak yang berwenang untuk menangani dan mencarikan solusi atas permasalahan yang ada. Di sini jangan disalahpahami bahwa negara ikut campur privasi seseorang, tidak.


Sebagai seorang pemimpin, kewajibannya adalah seperti yang difirmankan Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan kebahagiaan.” (QS. Ali Imran (3):104)


Sangat wajar bila Nabi Muhammad s.a.w. mendudukkan perubahan kemungkaran dengan kekuatan pada tindakan aksi pertama. Karena aksi pihak yang memiliki power dampaknya bersikap mengikat dan memiliki sanksi hukum. Lain halnya dengan aksi lisan, apalagi aksi hati.


Seyogyanya, nilai-nilai Islam tersebut tidak hanya sekadar slogan atau seremonial semata, tapi benar-benar dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari sang pemimpin, keluarga, staf-stafnya dan juga dalam kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Tentu penyebaran nilai-nilai Islam ini harus dilakukan secara bertahap dan tepat sasaran. Artinya, tidak terburu-buru dan juga tidak hanya mengusung judul besar seperti ‘Syariat Islam’ atau ‘Piagam Jakarta’. Karena sesuatu yang ideal, membutuhkan cara yang pas dan waktu yang ideal pula. Mungkin di antara konsep paling rasional dan terukur adalah, mengutip tausiah KH. Abdullah Gymnastiar, memulai dari diri sendiri, dimulai dari hal kecil, dilakukan sekarang dan berlangsung secara dawam.

Keempat; mengedepankan kepentingan moralitas dan nilai-nilai religi daripada kepentingan apa pun.

Kebijakan pihak berwenang saat ini sangat absurd dan amburadul. Dimana apapun akan digusur bila kepentingan ekonomi-bisnis yang berbicara. Judi menjadi legal, hanya dengan dalih menambah devisa untuk pembangunan. Prostitusi dilindungi, agar dapat dikenakan pajak. Minuman keras terus diproduksi, sekali lagi alasannya klise, ekonomi. Belum lagi kita berbicara korupsi, kolusi, pencurian uang rakyat dengan berbagai dalih. Moralitas dan nilai-nilai religi inilah yang harus dikedepankan pihak-pihak yang berwenang, jika ia ingin sukses memimpin negeri.


Kelima; tidak menunjuk orang-orang yang tak peduli terhadap agama dan mereka yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai pejabat atau menteri.

Uji kepatutan dan kelayakan yang sering kita dengar saat menskrining pejabat baru, seyogyanya menyentuh pula aspek ketaatan terhadap keyakinan dan agama serta apakah ia bergelimang dosa dan maksiat. Maraknya kasus korupsi di puluhan DPRD dan lembaga-lembaga terhormat lainnya, mencerminkan lemahnya aspek uji kepatutan dan kelayakan yang hanya menyangkut aspek otak dan otot saja. Belum lagi kasus para pejabat yang tertangkap basah tengah pesta narkoba yang jumlah kasusnya mencapai puluhan. Ditambah dengan para pejabat yang memiliki WIL atau PIL (wanita/pria intim lain selain istri sah), yang ditenggarai sudah menjadi salah satu tren hidup para petinggi negeri ini.


Keenam; mempertahankan negeri dengan gelora jihad.

Semangat jihad sudah hilang tergoyah pragmatisme sesaat. Penyakit ini bukan hanya mengiris mental masyarakat umum, tapi juga menyayat elemen pertahanan itu sendiri. KSAD berkali-kali mensyinyalir, lebih dari 60 ribu intelejen asing bergentayangan di negeri ini. Tapi kita saksikan, mereka yang berseragam tentara yang notabene digaji rakyat, sibuk berbisnis mengeksploitasi sumber daya alam dan melupakan tugas pokoknya.


Ketujuh; membelanjakan uang negara secara proporsional dan tidak merampas hak rakyat.

Perilaku boros, manja, foya-foya dan kehidupan jet set yang dilakukan para pejabat, birokrat dan para pemimpin negeri ini sudah menjadi pemandangan umum. Mereka gelontorkan uang pajak untuk keperluan konsumtif yang sejatinya tidak perlu dilakukan. Hal ini nampak jelas dari mobil mewah yang digunakan, rumah megah yang ditinggali hingga berbagai fasilitas yang acap bagi rakyat kebanyakan mustahil mencicipinya. Ironisnya semua kebobrokan ini dilakukan saat rakyat kecil diperas dan diperintahkan untuk mengeratkan ikat pinggang. Sungguh memprihatinkan.


Kedelapan; lebih berpihak kepada orang-orang lemah dan rakyat jelata.

Keberpihakan ini yang sangat dirindukan. Lima kali sudah Indonesia berganti penguasa, tapi kehidupan rakyat tak kunjung beranjak baik. Malah, rakyat Indonesia semakin diperbudak, dinistakan, harga diri mereka diinjak-injak, harta mereka digusur, hak-hak mereka dirampas hingga tak ada secercah kenikmatan yang dapat dirasakan rakyat kebanyakan. Semua akibat kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Didukung aparat yang makin hari makin keparat jauh dari rakyat.


Kita merindukan pemimpin yang yang tidak acuh lagi saat ratusan ribu TKI diusir, ratusan orang dianiyaya, tidak ada lagi penangkapan-penangkapan membabibuta, tidak terdengar lagi penahanan, penyerbuan dan pengrusakan pihak aparat terhadap para aktivis Islam, tidak membiarkan begitu saja para pencoleng, perampok dan koruptor ulung negeri ini kabur ke luar negeri di tengah hiruk pikuk intelejen, tidak ada lagi ketimpangan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Bila semua problem ini dapat diselesaikan dengan baik, niscaya sang pemimpin akan dikenang bukan hanya dalam sejarah tapi ditulis tinta emas dalam hati seluruh rakyat. Itulah sosok pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin. Wallahu A’lam.

************************************************************


Semoga catatan yang evi share ke semua sahabat ini dapat di ambil hikmahnya ya. Bukan hanya sekedar pemimpin yang Minal ‘Aidin wal Faizin tapi kita juga sebagai manusia yang Minal ‘Aidin wal Faizin dan mengerti dibalik makna kata tersebut sehingga mudah untuk kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat terus ya sahabatku untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Begitu juga dengan diri evi sendiri. Semoga jalinan ukhuwah kita tetap kekal selamanya dan indah di dunia dan akhirat. Amin..



Wassalamu'alaikum warahmatullah

~Evi A.~

Medan, 3 September 2010