My Sweet Home
Bumi Perkemahan yang Menegangkan (kisah para wanita pramuka yang pemberani )
author

Bumi Perkemahan yang Menegangkan (kisah para wanita pramuka yang pemberani )



Bumi Perkemahan yang Menegangkan


Di keheningan pagi buta, aku terbangun dan ingin melaksanakan aktivitas qiyamullail. Suasana gelap gulita di tengah rerumputan ilalang. Aku melihat keluar tenda, terdengar suara aneh dan menyeramkan─suara elang, jangkrik, tokek dan kodok. Suara mereka nyaring. Aku berusaha untuk urungkan niat keluar. Tapi hatiku yang lain mengatakan bahwa aku harus bangkit dan keluar menuju kamar mandi. Aku pun berniat meminta teman untuk menemaniku. Namun, semuanya lagi pada tidur. Aku urungkan niatku karena aku yakin besok pagi aktivitas sangat padat.

Langkah demi langkah kakiu berjalan, aku memegang sebuah senter di tangan sendirian. Jaraknya cukup jauh dari tenda. Persis seperti kita berada di sebuah hutan rimba. Aku melihat bayang-bayang dan suara-suara aneh. Tubuhku mulai gemetaran, bulu kuduku mulai merinding dan berdiri. Dalam hati aku hanya membaca ayat kursi. Setelah berwudhu aku berjalan cepat menuju ke lokasi, sampai aku berlari menuju tenda. Takut nanti ada yang menculik aku, bisa ‘berabeh’ deh.

Alhamdulillah... akhirnya aku sampai di tenda. Untung aku nggak nyasar. Kalau nyasar, habislah aku disembunyikan oleh jin

***

Tiga puluh menit kemudian terdengar suara yang ribut di luar tenda.

“TAR… TAR… TAR… TARRRRR!” Suara peluru sambung-menyambung tiada henti selama 30 menit. Semuanya pada bangun dan suasana menjadi heboh.

“Ada apa itu?”

“Ada perang kah atau ada teroris di sini?”

“Benar-benar, gendeng surendeng deh. Jantungku hampir copot,” teriak histeris teman-temanku seperti kambing kebakaran buntut.

Bias panik menyelimuti wajah teman-teman. Aku hanya tersenyum memandang wajah mereka. Tiba-tiba, salah satu temanku yang lemah gemulai memelukku dengan badan gemetaran. Aku terkejut. Dia sampai menangis karena ketakutan. Maklum ‘anak mami’, jadi agak sedikit manja. Emang susah jika mengajak orang seperti ini ikut camping. Tapi karena ia pintar, harus ikut demi mengharumkan nama sekolah.


“Huahahaha…!” Rina tertawa terbahak-bahak melihat temannya ketakutan begitu.

“Huahahaha… uhuk..uhuk..uhuk!” Rina sampe keselek ketelen tawanya sendiri.

“Rasain, itulah akibatnya jika mengejek kawan sendiri”

“Sudah-sudah.. jangan diributkan lagi masalah ini. Mending kita tanyakan saja sama kakak Pembina besok pagi ketika matahari telah terbit,” tukasku pada teman-teman.

*****

Di lapangan telah berkumpul semua peserta camping dari berbagai kabupaten dan kotamadya Sumatera Utara. Seperti biasa mulai diadakan latihan pemanasan, olah raga pagi. Lalu upacara dan beraktivitas. Ternyata di sini juga sebagai tempat latihan para tentara Angkatan Darat. Halangan dan rintangan juga sudah disiapkan.

“Teman-temanku, lihat halangan dan rintangannya. Kayaknya seruuu!”

“Ya seru….” Aku pun mengangguk.

Rintangan pertama, aku harus melewati satu balok panjang dengan cara berjalan di atasnya sedangkan di bawahnya adalah sebuah lubang parit yang lebar dengan ribuan sampah dedauan.

“Alhamdulillah, untung aku ga jatuh ke bawah. Kalau jatuh bisa berubah jadi dekil dan bau deh. Malu ama tentara yang cakep-cakep di sini hehehe.” Mulai deh rayuan gombalku dalam berkata-kata.

Rintangan kedua, aku juga harus melewati satu balok panjang dengan cara berjalan di atasnya. Bedanya adalah di bawahnya ada sebuah parit yang lebar dengan berbagai serpihan kaca. Mulai aku berjalan perlahan-lahan dan konsentrasi. Mata ku sudah berkunang-kunang karena gemetaran dan membayangkan gimana kalau jatuh ya. Bisa luka-luka nih tubuh.

Tiap langkah demi langkah aku teriak, “Aku bisa… aku bisa… aku bisaa...”

Saat hampir tiba di ujung balok kayu itu tiba-tiba kaki lemes dan aku terduduk, sambil jalan ‘mengesot-ngesot’ akhirnya sampai juga deh di ujungnya. “Huuhh... huuhh...” desah nafasku berontak tak tau arahnya lagi.

Rintangan ketiga, aku harus melewati jaring-jaring kawat berduri. Rintangan ini benar-benar melatih kesabaran kita. Karena kita akan merayap-rayap di rumput. Seperti ular yang sedang menari-nari di atas tanah mencari mangsanya. Hehehe. Benar-benar ampun deh, perlahan-lahan kaki dan tangan memainkan perannya hingga menuju akhir finish. “Alhamdulillah, kepalaku dilindungi jilbab, walaupun kena sedikit tapi tidak terluka atau berdarah,” gerutuku di dalam hati.

Rintangan keempat, aku harus melewati sebuah parit besar yang berisikan air kotor dengan seutas tali yang dipegang dan mengayun sampai ke ujung finish.

“Waduh, bagaimana nih. Sekali ini aku benar-benar seperti tarzan yang bermain di ranting-ranting pepohonan. Tinggal teman-teman monyetnya aja yang dipanggil.” Aku mengeluh dan sedikit protes.

Kakak Pembina bilang, “Peganglah tali dengan erat dan mundur sejauh mungkin agar bisa melompat dengan jauh, lalu ayunkan tubuh dan bermainlah dengan hati dan jiwa agar pengukurannya tepat sampai sasaran”.

“Alhamdulillah, aku sampai lagi dengan selamat. Hehehe, aku berhasil.” Tapi kasihan temanku, dia basah kuyup karena terjatuh dan bermandikan air kotor.

“Huhu...huhu… hiks… hiks…”

Temanku malu dan menangis karena badannya bau dan kotor. Wajahnya pun tak keliatan lagi karena hitam, dekil dengan rambut panjang yang berserakan, persis ‘hantu’ di siang bolong. Hehehe. Aku pun menyeka airmata matanya dengan sapu tangan yang kumiliki. Kegiatan selesai, semua peserta kembali ke tenda masing-masing.

*****
Hari ketiga pun tiba.…

“Kejutan apalagi ya hari ini. Hmm, ternyata kegiatan hiking..”

Hari ini aku dan teman-teman tak bisa mandi. Karena kelelahan aktivitas kemarin, jadi kesiangan deh ke kamar mandinya. Akhirnya hanya cuci muka dan sikat gigi saja.

“Sudah lumrahlah bagi anak Pramuka tidak mandi. Yang penting wangi dan bersih, tidak kelihatan dekil,” tukas ketua pramuka berbicara kepada semua anggotanya. Aku pun setuju, yang penting jangan sampai telat ikut upacara apel pagi hari. Hukumannya adalah push-up dan sit-up sampai 50x. Gila boo.. Capek banget jika harus terjadi. Bisa-bisa pingsan aku. Wkwkwk...


Perjalanan hiking pun dimulai setelah peluit berbunyi. Aku dan teman-temanku berjalan-jalan ala berbaris gaya tentara sambil bernyanyi.


Bangun pemuda-pemudi Indonesia. Tangan bajumu singsingkat untuk negara. .Masa yang akan datang, kewajibamu lah. Menjadi tanggunganmu terhadap nusa….


Lantunan nyanyian serempak dari suara anggota Pramuka yang berkorbar mampu menyemangati jiwa kami. Terik matahari pun mulai terasa. Tenggorokan kering dan mulai semakin haus sampai ludah sendiri ditelan.


“Aneh.… Macem mana nih. Sudah lebih dari 2 jam kita berjalan sampai melewati ilalang, jembatan, jalan besar, sungai, tapi kok ga sampai-sampai ya. Mana air tinggal satu botol,” seru temanku sambil kesal.


Lama kelamaan persediaan airpun habis. Kami bingung, karena kami dilarang membeli air minum di jalan dengan menggunakan uang. Kalau ketahuan akan ada sangsinya. Akhirnya aku dan teman-temanku memberanikan diri untuk meminta air pada tetangga di sini. Alhamdulillah, airpun sudah terisi dengan penuh. Tapi rasa airnya aneh seperti air mentah.


“Ahh, sudahlah. Minum saja. Positive thinking-lah kita ama warga disini,” seru ketua Pramuka kepada anggotanya.


“Betul juga frend. Daripada kita mati kehausan. Kering kerontanglah tubuh kita. Bisa pingsan di jalan yang sunyi dan tidak tau arah. Persis kayak tengkorak kurus yang tak berdaging karena hausnya, hehehe...” teriakku pada teman-teman, walaupun sebenarnya perasaanku tidak enak takut keracunan. Tapi ya sutralah. Yang penting aku tidak dehidrasi.


Alhamdulillah,… Allahu Akbar… Akhirnya kami sampai juga di lokasi tujuan. Aku dan teman-teman istirahat sambil menikmati indahnya taman dengan hamparan tumbuh-tumbuhan yang hijau dan udara sejuk dengan semilir angin sepoi-sepoi.


“Kalau tau perjalanan akan seperti ini aku tidak akan ikut.” Gerutuku pada teman-teman.


Tapi perjalanan camping beberapa hari ini emang sangat seru dan memberi kesan yang tak akan pernah aku lupa sehingga aku tahu banyak hal mengenai kehidupan alam sekitarnya dengan beragam corak manusia.


“Betul itu yang kau bilang kawan,” sela temanku saat aku berbicara pada ketua. Selanjutnya kita semua duduk dengan santai dan khidmat sambil makan.

*********************************************************************


Catatan : Sebuah kisah di atas adalah pengalaman Evi dan teman-teman sekolah SMP saat camping di Pematang Siantar. Pengalaman yang tidak akan pernah evi lupakan sehingga Evi tulisakan dalam sebuah cerita ^_^. Sayang sekali, dahulu Evi tidak punya kamera, apatah lagi Handphone. Kalau nggak, pasti lebih seru lagi. T_T

Semoga kisah ini menjadi kisah penuh hikmah, bahwa tak semuanya wanita itu lembut karena ada saatnya wanita itu menjadi pemberani dan tangguh


Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

~Evi A.~
Medan, 22 April 2011
http://eviandrianimosy.blogspot.com/


author

Schotel Tahu

Bahan:
500 gr tahu cina, belah 1/2 cm
250 gr daging cincang
100 gr wortel, potong dadu kecil
1 bh bawang bombai, cincang
1/2 sdm lada halus
1 sdt garam
1 sdt seledri cincang
1 sdm mentega untuk menumis
2 lbr keju lembaran, potong 1 cm

Saus:
100 ml susu cair
4 btr telur
1/2 sdm lada halus
1/4 sdt pala halus
1 sdt garam

Cara membuat:

1. Panaskan mentega, tumis bawang bombai hingga harum, tambahkan wortel masak hingga layu, angkat.

2. Masukkan ke dalam daging cincang bersama lada dan garam, aduk rata, sisihkan.

3. Saus: kocok telur bersama susu cair hingga rata, tambahkan lada, pala dan garam, sisihkan.

4. Olesi pinggan tahan panas dengan mentega, susun tahu di bawah, siram saus, beri isi atasnya, ratakan. Susun lagi tahu, saus dan adonan, hingga bahan habis.

5. Siram atasnya dengan saus, beri potongan keju dan taburi atasnya dengan seledri cincang.

6. Panggang dengan suhu 180 derajat Celcius selama 20 menit, angkat, sajikan hangat.

Untuk 6 orang

(Kiriman dari tetehku, Nurjanah Yahya)
Pertemuan Anggota Penulis LRS yang Luar Biasa
author

Pertemuan Anggota Penulis LRS yang Luar Biasa



Alhamdulillah pertemuan LRS cabang Medan ke Lima pada hari Minggu tanggal 27 Maret 2011 di Taman Budaya berjalan lancar dan luar biasa. Karena peserta yang hadir lebih dari 30 orang.

LRS (Leutika Reading Society) merupakan gerakan offline baca-tulis di bawah bimbingan dari Leutika Publisher di mana kegiatan perkumpulan ini membaca buku Leutika dengan GRATIS dan berlomba-lomba mereview buku leutika lewat blog/FB dan juga bisa mengirimkannya ke media massa.

Saya sebagai koordinator LRS Medan mempunyai impian mengembangkan minat baca warga Sumatera Utara dan melahirkan banyak para penulis-penulis yang handal dan maju serta menuangkan segala pikiran kreatifnya dalam bentuk tulisan. Oleh sebab itu, gerakan ini tidak sebagai gerakan baca tapi juga gerakan diskusi dan pembelajaran melalui pelatihan menulis yang di bawakan oleh anggota-anggota LRS itu sendiri yang telah banyak pengetahuan dalam bidang tulis menulis. Saya juga ingin menyatukan semua komunitas penulis yang ada di Medan, untuk mempererat ukhuwah dan silaturrahmi melalui LRS ini.

LRS cabang Medan merupakan gabungan dari orang-orang yang suka membaca buku-buku Leutika dan juga berbagai komunitas menulis seperti :
•FLP (Forum Lingkar Pena)
•KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus)
•KOMA (Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya)
•WSC (Win Sharing Club)
•KONTAN (Komunitas Tanpa Nama)
•KSI (Komunitas Sastra Indonesia)

Saat ini anggota dari LRS cabang Medan sudah mencapai 40 orang lebih. Subhanallah, semoga persatuan ini akan terus terjaga sehingga kerukunan akan tercipta dengan indah. Saling berbagi ilmu, saling membina ukhuwah yang erat serta bersama-sama sukses di bidang kepenulisan.

Setelah melihat antusias teman-teman ini saya pun melajutkan review buku The Miracle of Writing. Semua aktivis LRS hening menyimak setiap apa yang saya bahas. Semoga ini awal semangat para penulis di Medan untuk terus berkembang. Karena saya juga bukan siapa-siapa yang sama-sama belajar dengan semua teman-teman LRS.


Review The Miracle of Writing

Judul : The Miracle Of Writing: Memunculkan Keajaiban Menulis
Penulis : M Iqbal Dawami
Penerbit : Leutika, Yogyakarta
Tahun : I, November 2010
Tebal : xiv + 169 Halaman
Harga : Rp 40.000,-


Menulis merupakan aktivitas yang tidak pernah terlepaskan bagi siapapun. Baik dia seorang penulis, pekerja kantoran, pengarang, penyair, dan lain-lain selalu berhubungan dengan dunia tulis menulis.

Buku ini memaparkan keajaiban dari menulis dengan cukup baik sehingga membuat kita ingin terus membacanya sampai selesai. Karena hal ini dapat memotivasi setiap orang baik yang suka menulis atau pun tidak. Penulis ‘The Miracle of wWriing’, Iqbal memaparkan beberapa bukti ilmiah keampuhan terapi menulis yaitu :
1) Menulis dapat menurunkan Sympton Asma dan Rheumatoid
2) Menulis sebagai terapi
3) Menulis membebaskan dari deraan batin
4) Menulis akan mengurangi aktivitas Amygdala
5) Menulis dapat mengubah cara berpikir
6) Diary sebgai teman curhat
7) Divonis kanker, menulislah
8) Pengobatan naratif
9) Menulis mengatasi kebiasaan buruk
10) Menulios akan mengatasi trauma
11) Menulis sebagai alat transformasi diri
12) Menulis membantu kinerja memori
13) Menulis membantu kesadaran personal


Selanjutnya di bagian ke dua penulis menjelaskan bahwa tindakan kepenulisan sudah ada sejak zaman peradaban.

Menulis juga pada abad ke-13 telah ada dengan adanya bukti buku-buku telah tersebar di seluruh perpustakaan di Baghdad, Irak di bakar. Tapi kemudian budaya menulis yang smeula merupakan akti opus spiritual (kerja halus) kemudian bergeser menjadi opus manual (kerja kasar) maka lengkaplah peradaban tersebut. Sehingga kita mengenal Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn SIna, Albert Einstein, Thomas Alfa Edison dan ilmuwan kelas dunia lainnya, jika mereka tidak menuliskan ilmunya ke dalam buku.

Peradaban Islam diawali juga dengan baca-tulis, hal ini di tandai dengan :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Dia yang mengajarkan manusia apa yang tidak di ketahuinya.” (QS. Al’Alaq : 1-5)

Sayyidina Ali mengatakan, “Menulis adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan ikatan yang kuat, yakni menuliskannya”

Oleh sebab itu mari kita ambil cahaya dan ruhnya. Kita teguhkan kesadaran kita untuk membiasakan membaca dan menulis.

Di bagian ketiga, Iqbal mencoba mengajak pembaca untuk melejitkan diri lewat tulisan dan mengenali diri melalui tulisan. Karena menulis selain untuk terapi juga mencerdaskan emosi.

Menulis sebagai jalan asketis.

Asketisme berasal dari bahasa YUnani “ascesis” yang berarti “pelatihan keras”, disiplin diri atau pengendalian diri.

Muhidin M. Dahlan, novelis dari Yogyakarta, mengaku bahwa baginya menulis adalah jalan asketik, yakni jalan pengikatan diri terhadap Allah (hablum minallah) dan hal apa pun (hablum minan naas) untuk kemudian menyampaikan (hanya) kebenaran yang kita yakini, kita geluti, lalu kita sampaiakn dengan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Baginya menulis bukan lagi untuk mencari popularitas dan menjadi kaya secara materi, tapi juga memperkaya batin, memperkaya pengalaman, dan mengabdikan diri untuk Allah dalam sejarah kemanusiaan.

M. Faudhil Adhim mengatakan, berani memproklamirkan diri sejak remaja bahwa dia akan menyambung hidup dengan tulisan.

Contoh-contoh dari keampuhan menulis ;


Menulis menghilangkan trauma, tranformasi diri, mengubah pola pikir
Nama pria ini adalah John Mulligan. Umurnya sudah empat puluh sembilan tahun. Dia adalah seorang tentara Amerika yang bertugas pada masa perang Vietnam. Setelah pulang dari perang itu, Mulligan merasakan guncangan hebat dalam jiwanya. Ini tentu maklum saja, bagi penyuka sejarah, siapapun pasti tahu, medan Vietnam memang serasa neraka bagi serdadu Amerika.

Di jantung kota San Fransisco, Mulligan menjalani hari-harinya. Tapi sayang, tidak jelas arah hidupnya. Ia menjalani waktu demi waktu dengan luntang-lantung. Bayangan hari-hari semasa yang ia alami di Vietnam terus menghantuinya. Jiwanya terkoyak hebat. Pikirannya kacau. Hatinya tercabik-cabik. Ia memang selamat tanpa luka jasadi yang berarti di medan perang itu. Tapi psikisnya remuk. Keluarga, sahabat, tetangga, orang-orang terkasih, tak lagi ia perhatikan. Ia acuhkan kesemuanya itu. Ia mengalami guncangan superhebat dalam kepribadiannya. Koyakan kegelisahan hidup telah menjadi kawannya sekarang. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Arti hidup tak lagi jelas dalam pandangannya.

Hingga sebuah sejarah hebat dimulai. Tiba-tiba Mulligan tertarik dengan sebuah workshop menulis yang disarankan teman dekatnya karena kasihan melihat keadaannya. Tak tanggung-tanggung, pemateri workshop kali ini adalah Maxine Hong Kingston, penulis masyhur negeri Paman Sam itu. Kingston menyarankan kepada Mulligan untuk mengungkapkan semua pengalaman traumatis yang pernah ia alami semasa berada di Vietnam ke dalam bentuk tulisan. Itu satu-satunya cara untuk memulai lagi hidup yang berbinar seperti dulu kala.

Cerita hebat itu kemudian dimulai. Setelah meninggalkan ruangan workshop. Keadaannya berubah drastis. Ia seperti para bajak laut yang baru menemukan harta karun yang melimpah ruah. Mulligan tertawa dan bersiul-siul di sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Bukan karena ia bertambah gila, justru ia tengah menemukan makna baru dalam kehidupannya. Hidup baru yang lebih bahagia akan dimulainya.

Sesampainya di rumah, Mulligan bergegas meraih mesin tiknya. Kertas ia siapkan. Jemarinya siap digerakkan menekan tuts. Awalnya, suara ketukan mesin tik itu terdengar pelan nan lamban. Lama kelamaan semakin cepat. Lebih cepat. Dan lebih cepat lagi. Mulligan menulis dengan emosi. Semua yang ada di hatinya ia curahkan. Semua yang menggumpal di otaknya ia kerahkan. Semua yang menjadi bebannya ia tuliskan. Ia menulis, tanpa memerhatikan benar tidaknya ejaan dan pungtuasi. Ia menulis dengan merdeka. Ia ingin melepaskan beban yang menyerang di seluruh bagian terdalam hidupnya. Sesekali, ia menjeda mengetik dengan menyeka air matanya. Luapan emosinya kali ini benar-benar membuncah hebat.

Awal-awalnya, ia menuliskan adegan-adegan menegangkan yang ia alami semasa perang. Kemudian tentang teman-temannya yang menembak serampangan hanya untuk kesenangan. Desing peluru yang berhamburan di tiap waktu. Interogasi yang tak manusiawi. Berhamburannya tubuh manusia di pohon-pohon. Kepala yang tak lagi bersama tubuhnya yang menggelinding ke mana-mana. Serta ranjau yang selalu menjadi kejutan di setiap langkah yang ia dan kawan-kawannya jejakkan. Serasa neraka telah terhadirkan di bumi.

Awal-awalnya pula, saat membaca tulisannya sendiri, ia ngeri juga saat mengetahui bahwa betapa mengerikannya apa yang ada dalam jiwanya. Terkadang, ia mengacak-acak rambutnya sendiri, berteriak tak jelas, dan menertawai ketololannya sendiri, saat mengingat segala kehororan yang telah dialaminya semasa di Vietnam. Semua dikisahkannya melalui tulisan dengan sangat merdeka dengan aturan tulisan ala dia sendiri.

Tahun-tahun berikut, ia menjadi cerah. Ia tak lagi terbebani sedemikian berat deraan kehidupan. Pikirannya kini jernih. Hidupnya menjadi terarah. Menuangkan segala beban ke dalam tulisan ternyata sangat efektif untuk menyembuhkan segala luka-luka psikologis yang sudah sedemikian parah menganga dalam dirinya. “Saya dulu seperti kerang kosong yang berjalan-jalan di jalanan. Menulis telah membuat saya merasa punya jiwa,” kata Mulligan penuh haru. Maka lahirlah kemudian, novel apik itu dari tangannya: Shopping Cart Soldiers.

Applause riuh patut kita berikan kepadanya. Untuk kesembuhan jiwanya. Serta keberhasilan karyanya. Keadaan Mulligan, persis dengan petuah manis, “Pada dasarnya,” kata Pennebaker, “bagi yang mengalami keguncangan jiwa atau mengalami depresi, bergegaslah menulis. Menulislah secara sangat bebas tanpa memedulikan struktur kalimat dan tata bahasa. Niscaya, Anda akan terbebaskan dari segala deraan batin.”

Selain cerita di atas juga ada orang-orang Indonesia yang tercerahkan dengan menulis seperti Asma Nadia dan Pipiet Senja.

Di bagian terakhir, Iqbal mengajak penulis untuk membuat catatan harian. Karena hal tersebut akan memudahkan kita menulis dengan seperti apa adanya diri kita.

Oleh sebab itu mari kita menulis dari yang sederhana, yang tidak memberatkan seperti catatan harian atau diary. Tidak perlu ada alasan tidak ada sarana, tida ada laptop karena itu akan mempersulit kita untuk menulis.

Seperti yang dikatakan oleh Sandra Lee Schubert:
“Mulailah secara sederhana,” kata Sandra Lee Schubert, “belilah sebuah buku harian atau buku catatan yang tidak terlalu mahal dan pilihlah sebuah pena favorit. Buatlah sebuah waktu keramat untuk diri Anda saat di mana Anda tidak mau diganggu. Tulislah apa yang ada di benak Anda. Apakah Anda tengah bergelut dengan masalah yang sulit dan rasa sakit? Mulailah dari sini. Uraikan masalah dan rasa sakit itu, siapa dan apa yang terlibat, mengapa hal ini bisa menjadi masalah bagi Anda, dan apa yang Anda rasakan ketika isu ini ada pada diri Anda.” Sederhana saja. Mulailah dengan menterakan kekata dari keadaan jiwa yang tengah kita rasa. Lakukan sesering mungkin. Jika memungkinkan, setiap hari. Maka itu akan menjadi catatan harian. Menurut Sandra, catatan harian adalah alat yang digunakan dalam jangka panjang untuk penyembuhan dan pertumbuhan personal. Ini tidak membutuhkan kecakapan dan uang. Catatan harian dapat menjadi teman seumur hidup. Gunakan dengan baik, dan ini akan membalas Anda dengan kebahagiaan, pemenuhan, dan hidup yang lebih sehat. Beginilah, cara-cara sederhana namun membahagia jiwa dengan luar biasa.

Selanjutnya saya mengajak dan memotivasi semua anggota LRS untuk terus menulis dan jangan pernah berhenti dari menulis. Menulislah dengan cinta, menulislah dengan hati kita. Karena menulis akan merekam jejak-jejak kehidupan kita. Menulislah untuk mencerahkan diri sendiri dan orang lain. Mulailah sejak sekarang kita bercengkrama dengan pena, dengan jari melalui keyboard. Sehingga kita juga dapat menemukan Tuhan dalam tulisan-tulisan kita. Kita tidak lagi merasa kesunyian, kesepian dan bahkan kita bis amenjadi manusia kreatif.

Alhamdulillah di akhir pertemuan ini. Saya mengajak semuanya anggota LRS (termasuk saya juga di dalamnya sebagai koordinator) untuk membuat sebuah kisah inspiratif, sebuah cerita FF─cerita singkat maksimal 400 kata tentang budaya Sumatera Utara. Di sini saya berharap sebagai warga Sumatera Utara bisa membuat sebuah cerita yang menarik seperti apa melayu deli, objek-objek wisatanya gimana, kebiasaaan penduduk medan bagaimana, bagaimana dengan suku-suku yang lainnya, dari segi adat-istiadatnya. Bagi yang punya kampung Tapanuli, Sipiongot dapat juga menceritakannya, atau di kota binjai yg terkenal dengan rambutannya.

Cerita FF ini akan di bedah pad apertemuan selanjutnya yaitu Hari Minggu Tangga 17 April 2011. InsyaAllah karya teman-teman setelah di bedah, diperbaiki akan kita bukukan. Semoga di mudahkan oleh Allah. Minggu depan tepatnya tabggal 17 April kita akan membahas tentang FF (Flash Fiction)

wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
~Evi Andriani~
Koordinator LRS Cabang Medan
Keramahan Cinta
author

Keramahan Cinta




Keramahan Cinta
oleh : Evi Andriani


Sosok itu sangat cantik, ramah dan baik hati. Siapa pun bila memandangnya tidak akan pernah bosan karena terpancar aura kesederhanaan dibalik wajahnya. Jilbab yang menutupi rambutnya semakin membuatnya tampak anggun. Budi pekertinya yang sopan membuat semua orang menjadi kagum.

Sosok wanita itu adalah Astri─kakak angkatku. Hari-hari kak Astri dihabiskannya untuk mengikuti kegiatan sosial. Prestasi-prestasi dalam bidang lingkungan hidup selalu ditunjukkan padaku. Keluhan-keluhan tidak pernah terucap dari bibir mungilnya. Sosoknya telah memberiku semangat dalam menjalani lika-liku kehidupan.

“Dek, jangan sia-siakan hidup kita ini. Manfaatkan waktu luang kita untuk kebaikan. Jangan pernah menyerah dan mempersempit pikiran kita dengan masalah-masalah dan kegelisahan. Ingatlah selalu akhirat karena itu tempat yang kekal bagi kita,” ucap kak Astri penuh keramahan.

Kata-katanya selalu terukir di memoriku. Ingin kumemeluknya. Namun itu hanyalah mimpi. Nasehat itu menjadi nasehat terakhir dalam hidupku ketika dia menolong korban letusan gunung berapi. Keramahan cinta dalam persahabatan ini akan menjadi kenangan yang paling indah.

***
Cerpelai “Keramahan Cinta” diikutkan dalam Kuis Cerpelai Persahabatan.


Penantian Hati
author

Penantian Hati



Penantian Hati

oleh : Evi Andriani



Menantimu seindah lukisan jiwa

Senyum bibirmu memupus kesunyian

Sepotong asa merindu cinta birumu

Meraih erat gengaman kasihmu

Hingga rimbun keyakinan meraib kegelisahan



Tatapanmu memberi kekuatan dan harapan

Perhatianmu menyinari ruang hatiku yang gelap

Lama sudah jiwaku meronta

Untuk menikmati ketulusan cinta menjadi mahkota

Kehalalan mengukir keberkahan



Jangan biarkan harapku lenyap

Ditelan malam nan senyap

Kutakut rasa itu tak lagi hangat

Karena waktu tak lagi bersahabat

Kuharap cahaya itu pun tak menjadi pudar



Inilah ungkapan hatiku

Andai badai tak menerjang

Semua kan menjadi bermakna

Dalam mahligai pernikahan

Berpadu dalam istana surga
[RESENSI LRS] 30 Kisah Menggugah di Balik Lagu Opick
author

[RESENSI LRS] 30 Kisah Menggugah di Balik Lagu Opick



Alhamdulillah, salah satu anggota LRS Medan, Setia Wati telah meresensi buku leutika. Terimakasih ya sahabatku. Terharu banget melihat antusias teman2 LRS.

*****

SENANDUNG HIDAYAH
By : Khalilaty Hime


JUDUL BUKU : "Lagu Opick Inspirasiku" 30 Kisah Menggugah di Balik Lagu Opick
PENULIS : Arien Ratih dkk
PENERBIT : Leutika, Yogyakarta
TEBAL HALAMAN : vi + 192 hlm. ; 13x19 cm
CETAKAN PERTAMA : Januari 2011
ISBN : 978-602-8597-62-3



“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

[Al Baqoroh ayat 269]

Begitu indah cara Allah dalam ‘menegur’ kelalaian hamba-hambaNya. Siapa sangka bila sebuah lagu dapat ‘menuntun’ kita dalam menemukan hidayah.

Membaca buku ini membuat saya teringat akan kata-kata mutiara yang pernah dikirim oleh salah seorang teman : "Tuliskan rencanamu dengan pensil, tapi berikan penghapusnya kepada Allah. Izinkan Dia menghapus bagian-bagian yang salah, dan menggantinya dengan rencanaNya yang lebih indah".

Ada banyak hikmah tercecer dalam setiap aspek kehidupan. Tak banyak dari kita yang mau tergerak untuk menemukannya, namun tak sedikit pula yang telah berhasil mereguk nikmatnya bercinta bersama Robb-nya. Laksana air dingin yang menyejukkan dahaga di hari terik, seperti itulah cinta Allah sejatinya.



Buku yang merangkum “30 kisah menggugah di balik lagu Opick” ini didesain dengan cover yang―menurut saya―sama ‘filosofis’nya. Didominasi oleh warna hitam, hijau dan putih―seolah mewakili sisi kelam kehidupan manusia yang kemudian menemukan pencerahan hingga kembali putih bersih seperti kertas yang siap diisi oleh catatan kebaikan demi kebaikan.

Menelusuri tiap detil kisahnya, ada beberapa yang telah meninggalkan kesan dalam di hati saya. Pedihnya luka atas kehilangan pendamping hidup yang sangat dicintai bisa kita temukan dalam tutur kisah Dian Nafi. Kengerian sebuah penampakan ‘sakarotul maut’ yang diceritakan dengan sangat apik oleh Lonyenk. Dan lagi, ada doa indah terlantun oleh Premasita saat ia ‘diharuskan’ ikhlas melepas calon suami―saya sempat menangis saat membaca kisah ini.

Sejauh yang saya dapati juga, lagu Opick―Tombo Ati, Sedekah dan Bila Waktu Telah Memanggil―menjadi lagu yang paling banyak ‘menginspirasi’ dalam buku ini.

Hidayah … dalam penemuannya selalu bertebar tanya. Dipilih … atau memilih. Tapi apapun itu, saya meyakini bahwa hidayah selalu dicari oleh jiwa-jiwa yang tak lagi kuasa menahan rindu ….

Mari belajar kepada mereka yang kisahnya terekam dalam buku ini, agar kita bisa menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup. Karena―seperti salah satu lirik lagu Opick―bila waktu telah terhenti, teman sejati tinggallah sepi ….

***



Bumi Allah, sore hari kala langit mendung tengah menggelayuti kotaku.
Semoga hidayah ini takkan hilang ditelah zaman.
Aamiin.


**Khalilaty Hime adalah nama pena dari Setia Wati―salah seorang anggota Leutika Reading Society (LRS) Cabang Medan.
Aku ingin dicintai karena Allah
author

Aku ingin dicintai karena Allah



Aku ingin dicintai karena Allah


jika kau mencintaiku karena kecantikanku

menyejukkan setiap mata yang memandangnya,

kemudian aku bertanya

saat kecantikan itu memudar ditempuh usia

seberapa pudarkah kelak cintamu padaku?



jika kau mencintaiku karena sifatku yang ceria

menjadi semangat yang menyala di dalam hati mu

kemudian aku bertanya

bila keceriaan itu kelam dirundung duka

seberapa muram cintamu kan ada?



jika kau mencintaiku karena ramah hatiku

memberi kehangatan dalam setiap sapaanmu

kemudian aku bertanya

kiranya keramahan itu tertutup kabut prasangka

seberapa mampu cintamu memendam praduga?



jika kau mencintaiku karena cerdasnya diriku

membuatmu yakin pada putusanku

kemudian aku bertanya

ketika kecerdasan itu berangsur hilang menua

seberapa bijak cintamu tuk tetap mengharapku?



jika kau mencintaiku karena kemandirian yang ku miliki

menyematkan rasa bangga mu yang mengenalku

kemudian aku bertanya

jika di tengah itu rasa manjaku tiba menyeruak

seberapa tangguh cintamu tuk tetap bersamaku?



jika kau mencintaiku karena tegarnya sikapku

menambatkan rasa kagum pada kokohnya pertahananmu

kemudian aku bertanya

andai ketegaran itu rapuh diterpa badai

seberapa kuat cintamu bertahan?



jika kau mencintaiku karena pengertian yang ku berikan

menumbuhkan ketenangan karena kepercayaan yang ku tanam

kemudian aku bertanya

kelak pengertian itu tertelan oleh ego sesaat

seberapa kau mampu mengerti cinta ini?



jika kau mencintaiku karena luasnya danau kesabaranku

menambah dalamnya rasa cinta semakin kau mengenalku

kemudian aku bertanya

mungkin kesabaran itu mencapai batas membendung kesalahanku

seberapa besar cinta mampu memaafkan?



jika kau mencintaiku karena keteguhan imanku

bagai siradj yang benderang mengantarkan cahaya

kemudian aku bertanya

kala iman itu jatuh menurun

seberapa berkurang akhirnya cintamu padaku?



jika kau mencintaiku karena

ku yang tlah kau pilih sebagai cinta yang kan kau pegang sepanjang hayat

kemudian aku bertanya

pun hati ini tergoncang

seberapa mantap cinta ini tuk tetap setia?



Andai sejuta alasan tak cukup

untuk membuat cinta ini tetap bersama diriku

maka biar kupinta satu alasan tuk menjaga cinta ini....


Aku ingin kau cintai karena Allah..


karena Dia kan selalu ada tuk menjaga

maka cintaku kan tetap utuh dan setia

hingga kelak, ku tak mampu lagi mencintaimu

karena cintaku berpulang pada-Nya..

*untuk mu yg ku harap menjadi qawwamku, kata yang ingin kuucap, kupegang dan kupertahankan.. setelah walimatul ursy’


Bismillahirrahmaanirrahiim.
Aku ingin kau mencintaiku karena Allah, dengan segala kekurangan dan kelemahanku...

(Kiriman dari adekku di FB, Embun)
Review Buku The Past (Leutika Publisher)
author

Review Buku The Past (Leutika Publisher)



Berikut ini adalah Tulisan Review dari Gunadi Setiawan (Anggota LRS Medan). Terimakasih ya dek, udah mereview buku yang telah di baca. Semoga semakin meningkatkan kemampuan menulisnya.

****

Tulisan yang lahir dari tarian tangan dan kemelut pikiran mahasiswi hukum di universitas Padjadjaran. Seorang Intan Kartika telah berhasil mengaduk – mengaduk otakku akan kemelut dan konflik yang ada di tulisan ini. Sulit mengartikan maksud cerita ini meski sudah membaca isi novel ini sampai setengahnya. Kau harus benar – benar membaca dengan hati, menyatukan hati dan jiwamu fan memfokuskan pada novel ini agar kau mengerti maksudnya.

Cewek yang hobi memasak ini benar – benar berhasil menarik pembaca masuk ke dalam kisah ini.


Dimana kisah ini menceritakan tentang pertemuan kembali sebuah cinta di masa lalu. Mischa, seorang mahasiswa hukum internasional sempat kehilangan sebuah memori yang begitu penting di hidupnya akibat terjatuh dari lantai dua villa tempat dia dan teman – temannya menginap dahulu ketika liburan perpisahan SMA. Ingatan akan awal pertemuannya dengan Cyrus pangeran dari sebuah negeri yang terletak di sebelah barat North Sea bernama Seravia. Cyrus yang telah lama pergi dari Indonesia karena tak ingin Mischa terluka akhirnya dia kembali ke Indonesia "lagi" hanya untuk mengejar kembali cintanya yang sempat hilang. Dengan menyamar sebagai pengajar di kampus Mischa akhirnya Cyrus berhasil mendapatkan kembali hati Mischa. Tapi Mischa masih belum bisa mengingat siapa sebenarnya Cyrus meskipun dia merasa sangat mengenal Cyrus sebelumnya.


Dan setelah Mischa berhasil mengingat kembali memori itu setelah "mengubek - ngubek" pikirannya dan info dari orang - orang sekitarnya, termasuk mamanya dan browsing di internet mengenai negeri bernama Seravia tersebut. Tapi Cyrus harus kembali ke negerinya untuk menyelesaikan masalahnya dengan Nadine yang merupakan kakak tirinya. Karena Nadine terus – terusan megejar dia demi mendapatkan tahta yang di wariskan oleh ayahnya, King Ethan kepada Cyrus yang merupakan anak hasil hubungan ayahnya dengan wanita lain selain permasuri Seravia. Nadine yang tidak terima terus mengejar Cyrus dan berusaha mengambil tahta tersebut dari Cyrus dengan segala cara, termasuk menahan Mischa dan juga niat melenyapkan Cyrus dari muka bumi ini untuk selamanya.


Setelah 5 tahun kemudian dari kepergian Cyrus dari Indonesi ke Seravia. Seravia mengalami perubahan besar - besaran atau dalam bahasa bataknya di sebut "REVOLUSI" dalam tatanan pemerintahannya dari system kerajaan ke demokrasi dan ini menyebabkan king Ethan, ayah Cyrus tidak menjadi raja lagi dan ini juga berpengaruh kepada Cyrus. Dia kini menjadi seorang pria Seravia biasa yang kembali ke sebuah negeri di timur yang berada di tengah khatulistiwa demi mengejar cintanya kepada gadis negeri itu, Mischa.


Pesan dari tulisan ini adalah “ Jabatan dan status seseorang tak akan bisa menghalangi cinta tuk singgah di hati masing – masing pribadi manusia. Juga dalam mengejar mimpimu."

"Harta dan jabatan tidak akan abadi jadi untuk apa memperebutkannya. Berjiwa besarlah menerima kekalahan dan belajar dari pengalaman yang telah lalu."


Binjai, 9 April 2011
Oleh : Gunadi Setiawan

(Salah satu anggota LRS Cabang Medan)


* Kisah selengkapnya bisa anda baca di novel karya tarian jemari iNTAN KARTIKA, di novelnya yang berjudul "THE PAST - RAHASIA LELAKI DARI SERAVIA"

Judul : The Past, Rahasia Lelaki dari Seravia
Pengarang : Intan Kartika
Penerbit : Leutika Publisher
Tahun Terbit : Juni 2010
Tebal : 396 halaman
Harga : Rp. 45.000,00
Menulis Sehat 15 Menit
author

Menulis Sehat 15 Menit


Menulis Sehat 15 Menit

Hari demi hari selalu terlukis program-program komputer di memori otakku. Rasa penat, bosan, pusing sering menghampiri. Aku selalu sabar mencari dan mencoba agar program berjalan dengan lancar. Inilah rutinitas harian yang aku jalani.

Kadang ada rasa jengkel, marah, sedih, akibat waktu yang kuhabiskan hanya untuk memperhatikan kata demi kata dalam setiap kalimat program-program yang sebenarnya aku sendiri tidak memahaminya. Bila tingkat jenuh sudah sampai puncaknya, aku pun berhenti. Aku mulai mencari aktivitas yang menyegarkan pandangan dan memberiku semangat yaitu memandang tanaman-tanaman yang hijau. Ketika angin menyapa, mereka bergoyang-goyang dan seakan menyapa diriku.

“Oh, betapa indah karunia ciptaan Allah itu. Sungguh kumalu pada diriku. Mereka berdzikir setiap waktu sedangkan aku sibuk dengan urusanku yang buat aku semakin jauh untuk mengingat-Nya,” ungkapan dari hati kecilku saat teringat kelalaianku.

Mulailah aku kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa kusadari, tanganku sudah mulai berada di atas keyboard. Bergerak menekan tuts demi tuts.

Hijau dedaunan di taman surga
Segar, sejuk menyibak ketenangan
Batin gemuruh mencakar jiwa
Pikiran sempit tak berirama
Langkah kaki diam tak bergoyang

Aku tak boleh putus asa
Karena semua kan terukir indah
Aku harus berusaha maju dan bergerak
Untuk menanti kebahagiaan
Hingga cahaya itu kembali bersinar



Lima belas menit sudah kumenulisnya, rasanya semua beban di otak terasa ringan. Aku mulai kembali mengerjakan tugas demi tugas dengan penuh semangat. Ternyata efek dari menulis itu luar biasa. Orang bilang menulis itu ketika mood-nya sedang baik. Tapi bagiku malah beda, mau senang atau tidak tetap aja menulis. Karena terasa ada ikatan diri terhadap Allah dan muncul energi positif untuk semangat mencerahkan diri.

“Menulis terus menulis. Apa sih manfaatnya menulis itu buat Evi bikin sakit tambah parah itu,” ujar orangtuaku.

Sedih kurasa ketika orangtua melarangku untuk kembali memainkan jari-jariku. Tapi aku tetap saja menulis karena menulis adalah terapi bagiku. Aku berpikir─yang mengenal penyakitku lebih dalam kan hanya diriku sendiri. Orang lain belum tentu memahami apa yang aku butuhkan.

Tanpa diketahui orangtuaku, setiap ada waktu luang baik sedang berpergian ke kampus, ke bank, jalan-jalan bersama keluarga, aku tak pernah melupakan untuk membawa buku bacaan, buku motivasi dan buku tulis kecil beserta penanya. Bahkan ketika menonton televisi pun aku selalu menyempatkan diri untuk menulis. Tulisan yang paling mudah dan cepat untuk di tulis adalah menulis puisi. Cukup 15 menit menulisnya, jadilah itu puisi di sela-sela jedah waktu yang agak renggang dan bisa aku masuki.

Saat itu aku menonton film korea di salah satu televisi swasta. Dalam film bernuansa romantisme percintaan wanita dan pria yang sedang berbulan madu ke sebuah pantai yang sangat indah di negeri Barat. Muncullah niat ku untuk merekam kisah ini. Ku ambil pena dan menuliskannya menjadi sebuah puisi yang indah. *menurutku gitu loh.


Pantai Yang Indah

Birunya air menawan hatiku
Angin berhembus dengan sepoisepoi
Menghampiri wajahku penuh senyuman
Pohonpohon hijau tumbuh berkembang
Senandung kicauan burung yang merdu
Menyapa teman riang gembira

Keajaiban terpancar di sekeliling pantai
Aku berlari-lari mengejar ombak
Menyentuh pasir putih yang berkilauan
Ditembus sang mentari bersinar terang
Kesunyian tak mampu menyibak rahasiaNya

Pesonanya mengukir memoriku
Menatap indahnya gelombang pantai
Sungguh ciptaan Tuhan begitu Luas
NikmatNya selalu kurasakan

Santapan minuman dan makanan terhidang
Menambah rasa yang menggoda
Tak mungkin kulupa
Saat terindah menikmati eloknya pantai

Ketika alam tersenyum padaku
Aku pun melantunkan nadanada cinta padaNya
Karna Dia yang selalu membuatku rindu
Akan cahayaNya menerangi setiap kegelapan

Oh, negeriku begitu indah
Tempat menyimpan banyak pemandangan alam
Dimana berada kedamaian dan ketenangan
Mengukir keramahan cinta
Membuat detikdetik kehidupan menjadi penuh makna



Setelah selesai kutulis, aku mulai melihat kembali dan membaca puisi itu berulang-ulang. Wah, indah banget ternyata puisiku ini. Bagian-bagian yang tidak penting mulai kuhapus dan kuganti agar tampak lebih hidup. Walaupun bukan menggunakan bahasa sastra metafora, tapi aku cukup bangga bisa menuliskannya. Ternyata menulis 15 menit itu mengasyikkan.

Aktivitas ini sering kulakukan berulang-ulang. Terutama ketika dosen mengajar sampai 3 jam, saat ia keluar dari luar ruangan, ku manfaatkan waktu sempit itu untuk menulis puisi sebelum beliau kembali dan setelah selesai itu puisi, mulai kusebarkan kepada teman-teman di kelas─yang berjumlah hanya tujuh orang saja─semua ibu-ibu dan bapak-bapak. Hanya diriku saja yang masih muda. Kutulis puisi itu penuh emosi dan dengan coretan-coretan sangat cepat. Ketika telah bagus kurasa, kukasih ke teman-teman dan tersebarlah itu puisi. Ada yang tertawa, ada yang senyum-senyum kecil dan bahkan ada yang membalas puisi ku itu. Membaca puisi berbalas itu membuat kami semua tertawa. Karena puisinya bertemakan tentang pelajaran kami di kelas.

Alhamdulillah, kegiatan menulisku tidak pernah mengganggu aktivitas belajarku di kelas dan nilaiku tetap memuaskan. Tapi walaupun demikian orangtuaku tidak menginginkan aku menjadi seorang penulis. Mereka hanya ingin aku jadi dosen. Keinginan mereka tetap aku jalani sembari aku tingkatkan kualitas menulisku. Karena aku ingin kelak menjadi seorang penulis juga menjadi dosen teknik elektro. Semakin aku suka menulis semakin kecerdasanku semakin tinggi. Subhanallah, mungkin inilah keajaiban dari menulis itu sendiri walaupun hanya 15 menit tapi terasa manfaatnya.
****

****

Semoga catatan ini menambah semangat kita untuk membaca, menulis dan menuntut ilmu yang bermanfaat.

Peradaban Islam diawali juga dengan baca-tulis, hal ini di tandai dengan :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Dia yang mengajarkan manusia apa yang tidak di ketahuinya.” (QS. Al’Alaq : 1-5)

Sayyidina Ali mengatakan, “Menulis adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan ikatan yang kuat, yakni menuliskannya

Wassalamu'alaikum warahkatullah wabarakatuh

~Evi Andriani~
Medan, 07 April 2011
http://eviandrianimosy.blogspot.com/


catatan : Alhamdulillah puisi di atas di muat di buku kumpulan puisi bersama Ady Azzumar. Terimakasih ya Rabb atas nikmatMu ini
I'm Fall in Love with Leutika
author

I'm Fall in Love with Leutika



I'm Fall in love with Leutika
oleh : Evi Andriani


Leutika Publisher adalah salah satu penerbit favorit yang paling aku sukai. Semenjak ada layanan kemudahan dari Leutika yaitu program eLBe (langganan buku)─layanan terbaru leutika di mana menjadi orang pertama yang mengetahui buku-buku terbaru Leutika, diskon hingga 30%, 100% gratis ongkos kirim ke seluruh Indonesia, mendapat layanan SMS dari Leutika seputar info-info lomba, buku-buku dan info menarik lainnya. Betapa aku semakin jatuh hati padanya. Apatah lagi sejak ada penerbitan buku sendiri yaitu di Leutika Prio─ lini self publishing Leutika Publisher─jadi semakin mudah bagi penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri tanpa harus menunggu waktu yang lama. Jika ingat memori dulu perkenalanku dengan Leutika sungguh banyak memberi perjuangan dan tantangan bagiku.

Awalnya aku mengenal Leutika adalah saat sahabatku Mimin dan Shafira Green men-tag sebuah catatan lomba tulis-menulis yang diadakan oleh Leutika Publisher pada bulan Mei 2010. Aku memang suka menulis dan membaca sejak menekuni kuliah di UI. Sebelumnya jangankan menulis, membaca novel saja 1x dalam setahun itu sudah sangat luar biasa bagiku. Aku ingat saat itu lomba yang aku ikuti adalah “curhat jalan raya”. Akan tetapi, aku tidak memenangkan lomba itu. Karena aku masih memiliki banyak kurang ilmu dalam tulis-menulis terutama masalah EYD. Tapi hal itu tidak membuatku menyerah. Aku terus belajar dan mengikuti event-event Leutika yang lainnya seperti lomba “Profile Picture”, “weekly notes”, “how leutika are u”, “ADU JURUS LAWAN SETAN”, “Lomba Menulis Flash Fiction bersama Leutika Prio”, “Fiksifoto”, dan lain-lain. Alhamdulilah, dari lomba-lomba ini aku pernah memenangkannya seperti weekly note versi leutikan, profile picture sampai lomba membuat 5 jurus ampuh lawan setan. Karena hal ini, aku semakin mengenal banyak penulis-penulis di FB. Aku pun meng-add penulis-penulis tersebut.

Saat Leutika memiliki program LRS (Leutika Reading Society) dan mencari koordinator wilayah─aku mengajukan diri untuk menjadi koordinatornya. Aku berharap dengan menjadi koordinator bisa mengajak teman-teman di Sumatera Utara khususnya dan teman-teman yang berasal dari daerah lain bisa semangat membaca dan menulis. Ternyata yang mengajukan diri untuk menjadi koordinator wilayah Medan, bukan hanya aku saja tapi ada beberapa orang. Alhamdulillah, saat diberitahu Leutika melalui inbox bahwa aku yang terpilih sebagai koordinator untuk wilayah Medan, aku segera kirim biodata sesuai yang di butuhkan oleh Leutika Publisher.

Betapa senangnya aku. Namaku mulai di kenal dari berbagai pihak baik penulis pemula, penulis senior bahkan ke orang-orang umum yang bukan penulis. Mereka pun jadi ikutan senang membaca dan menulis. Lebih membahagiakan lagi, Leutika memberi aku penghargaan yang tak terduga yaitu "Mari Menulis" karena begitu cintanya aku pada dunia tulis menulis dan banyak mengajak orang-orang semangat membaca dan menulis. Hal ini semakin menambah motivasi aku untuk mengajak lebih banyak lagi orang-orang untuk mencintai dunia membaca dan tulis-menulis.

Ada yang lebih menakjubkan lagi, sakitku yang semula tiada obatnya, berangsur-angsur sembuh karena semangatnya dalam dunia tulis-menulis ini. Ukhuwah yang terbangun di Medan melalui kegiatan LRS bertambah erat. Karena tergabung dari beberapa grup komunitas penulis-penulis di Medan seperti Kompak, Kontan, Koma, WSC, FLP, dan teman-teman lainnya yang suka membaca dan menulis.

Sungguh dari leutika juga semangat menulisku semakin berkobar-kobar. Aku pun sering di undang ke beberapa acara kepenulisan karena sebagai salah satu utusan dari LRS, juga baru-baru ini di minta membawakan seminar kepenulisan. InsyaAllah Leutika akan semakin maju. Terimakasih Leutika selalu memberi semangat pada LRS Medan.
MERAJUT IMPIAN DI PERTEMUAN KE-5 LRS
author

MERAJUT IMPIAN DI PERTEMUAN KE-5 LRS



MERAJUT IMPIAN DI PERTEMUAN KE-5 LRS

Oleh: Islamiani Safitri

Alhamdulillah, minggu yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba setelah tiga minggu aku menantinya. Pertemuan LRS yang berlokasi di Taman Budaya Kota Medan. Pertemuan kali ini membuat mataku terbelalak lebar. Bagaimana tidak, sahabat LRS yang hadir pada waktu itu berkisar 19 orang (kalau gak salah hitung ya…) dan diantara mereka ada penulis-penulis hebat asal Medan dari berbagai komunitas. Wajah-wajah pencerah kebanggaan Kota Medan.

Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 WIB. Aku dan kak Setia Wati masih betah duduk di halte yang terletak di depan pagar Taman Budaya sambil menunggu kedatangan coordinator LRS. Lelah juga mata ini melihat hilir mudik kendaraan yang laju di sepanjang jalan itu, tapi tak apalah, sekali-sekali cuci mata. Sebenarnya ingin sekali langsung masuk ke lokasi tapi karena banyak ikhwah yang berada disana, maka kami memutuskan untuk tetap menuggu kehadiran Kak Evi, coordinator LRS.

Tak lama Kak Evi dan Kak Yanti tiba di tempat. Aku dan Kak Tia segera ikut menerobos pagar dan memasuki Taman Budaya. Upss… wajah-wajah baru yang terlihat, ternyata dari tadi yang masuk satu persatu ke lokasi adalah sahabat LRS juga, maaf ya teman-teman… aku belum mengenalmu saat itu. Kami pun saling berjabat tangan sebagai pertanda bahwa mulai detik ini ukhwah kami akan terjalin untuk selamanya.

Kebingungan mulai melanda sahabat LRS satu persatu, bukan karena adanya hutang yang belum dibayar atau tagihan rekening listrik yang menunggak, tapi ini lebih pada tempat ‘curhat-curhatan’ LRS. Kebingungan itu hilang setelah kami memutuskan untuk duduk dilesehan panggung Taman Budaya tersebut.

‘The Miracle of Writing’ itulah buku yang kami bedah. Sungguh terkagum-kagum saat mengulas isi dari tulisan M. Iqbal Dawami ini. Ternyata menulis memiliki beberapa keampuhan terapi, hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Ada tiga belas keampuhan yang dipaparkan dalam buku ini yaitu dapat menurunkan symptom asma, membebaskan dari deraan batin, mengurangi aktivitas amygdale, mengubah cara berpikir, menjadi tempat curahan hati, menyembuhkan penyakit kanker, pengobatan naratif, mengatasi kebiasaan buruk, mengatasi trauma, sebagai alat transformasi diri, membantu kinerja memori, membantu kesadaran personal, dan sebagai terapi. Luar biasa, bukan? Keajaiban menulis yang tidak pernah terpikirkan olehku sama sekali.

Cakap-cakap ini juga tidak hanya berhenti pada review book, sahabat LRS mulai menyulam mimpi untuk bisa membagi karya tulisannya kepada segenap ruh yang doyan membaca. Mulailah ide-ide kreatif muncul dari jiwa-jiwa yang cemerlang, yaitu ingin segera menulis buku antologi. Subhanallah… darahku berdesir menggelora, ternyata salah satu mimpiku ini juga menjadi impian semua sahabat LRS. Kalimat tahmid terus kulantunkan lewat bisikan hati… semoga segera terealisasi.

Setelah agak lama berdiskusi, akhirnya tema untuk buku antologi kami (macem udah terbit aja…) adalah mengenai Sumatera Utara, bisa budayanya, wisatanya, masyarakatnya atau pendidikannya. Semua itu dituangkan dalam tulisan yang berbentuk flash fiction. Oke dech… insyallah dalam dua minggu ini akan aku selesaikan. LRS, aku bangga bisa merajut impian bersamamu….
KETIKA MAS GAGAH PERGI (Helvi Tiana Rosa)
author

KETIKA MAS GAGAH PERGI (Helvi Tiana Rosa)


KETIKA MAS GAGAH PERGI

Oleh : Helvi Tyana Rosa


Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!


Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.


"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"


"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.

Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.


"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.


Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.

Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.

Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.


Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.


"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"


Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.

Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.

"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.

"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.

Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.

Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.

Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.

Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.

Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.


"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.

Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"

Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"

Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.

Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:


Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.


Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!


Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!


(Terimakasih untuk adekku Abdillah--salah satu anggota LRS Medan--atas kiriman ini)