My Sweet Home
author

Membangun Peradaban Dengan Prinsip Etika

Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadawi, ulama' asal India, menulis sebuah buku penting untuk kajian peradaban Islam. Madza Khasira al-'Alam bin Khithati al-Muslimin adalah karya beliau yang mengupas penyebab dan akibat tenggelamnya peradaban Islam. "Hancurnya kedaulatan negeri-negeri muslim dan tersisihnya peran umat Islam dari kancah kehidupan dunia menyebabkan dunia menjadi gelap" kata an-Nadawi. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa rezim-rezim sebelum Islam yang pernah berkuasa telah memberatkan manusia dan membuat malapetaka dunia. Imperium Romawi, Persia dan bangsa Yunani misalnya, kekuasaannya penuh dengan materialisme, marginalisasi Tuhan, penindasan terhadap manusia dan kekejaman yang luar biasa.


Buku an-Nadawi ini akan menjadi klop jika dikawinkan dengan buku Tauhid karya Isma'il Raji al-Faruqi. Al-Faruqi, yang meninggal kerena ditembak oleh penembak gelap di Amerika, dalam bukunya mengurai etika-etika membangun peradaban dari sisi Tauhid. Konon, ia dibunuh gara-gara buku Tauhid­nya yang banyak mempengaruhi orang.


Menurut al-Faruqi, tugas utama dan pertama Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak manusia yang telah sekian tahun porak-poranda (HR. Ahmad). Sebab, salah satu makna Tawhid adalah memancarkan sinar pencerahan, menempatkan posisi manusia pada posisi yang proposional, 'adil dan bermartabat di sisi Tuhannya. Manusia yang bertawhid kata al-Faruqi, menyadari sepenuhnya hakikat penciptaan dan eksistensinya di dunia.


Mengapa adab dan etika Tauhid dulu yang dikedepankan? Menurut Prof. Syed M. Naquib al-Attas, bangunan peradaban itu tidak terkonstruk dengan baik kecuali oleh manusia-manusia yang beradab. Manusia beradab menyadari sepenuhnya tanggung jawab spiritual dan sosial. Memahami dan menunaikan keadilan terhadap Tuhan, dirinya dan masyarakat sekitarnya. Sehingga, inti sari peradaban Islam sebenarnya adalah Tauhid itu.


Jadi, jalan pertama yang ditempuh untuk membangun suatu peradaban yang baik adalah menciptakan manusia-manusia yang beradab. Ketiadaan adab itulah yang menyebabkan hancurnya peradaban manusia. Maka tesis an-Nadawi benar, bahwa ketika dunia di bawah cengkeraman penguasa-penguasa yang tak beradab, anti-Tauhid, di saat itu sifat hewani mendominasi dunia.


Adab atau etika dalam Islam harus dilandasi oleh Tauhid. Oleh karena itu ketika awal meletakkan dasar-dasar peradaban, Rasulullah SAW tidak menerapkan syari'ah, akan tetapi melakukan purifikasi keimanan masyarakat Jahiliyah Makkah terlebih dahulu. Dalam konsteks sekarang, yang mesti dilakukan adalah melakukan penyadaran bertauhid. Dalam buku Tauhid, al-Faruqi memaparkan makna Tauhid dari berbagai sisi.


Namun poin penting yang perlu diperdalam adalah makna etika Tauhidy. Paparan al-Faruqi dalam buku Tauhid bab VI yang berjudul Tauhid; Prinsip Etika cukup menarik untuk dikaji. Ia menegaskan hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah, Khalifah di bumi dan sebagai makhluk individu. Manusia menemukan eksistensinya bukan ketika bersikap skeptis, sebagaimana pemikiran Rene Descartes cogito ergo sum (kamu berfikir atau meragukan maka kamu ada), bukan pula seperti pemikiran Karl Marx yang mengatakan manusia ada jika dia bekerja.


Etika dan Tauhid


Tidak ada alasan manusia untuk tidak bertauhid. Sebab, manusia diciptakan dengan kondisi untuk bisa menerimat tauhid. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Ar-Rum:30). Fitrah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah beragama. Para pakar perbandingan agama menyebut fitrah manusia untuk beragama itu disebut sensus numinis (naluri keberagamaan). Dalam konsep Islam, sensus numinis ini memang sudah ditanamkan oleh Allah SWT kepada setiap individu, ketika manusia masih dalam bentuk ruh.


Jadi naluri keberagamaan manusia, dalam konsep Islam memang sudah given, bukan lahir begitu saja karena faktor psikologis atau sosial. Seperti pendapat Sigmun Freud yang menunjuk faktor psikologis manusia yang melahirkan naluri itu. Ketika manusia lemah, maka ia membutuhkan 'kekuatan lain' diluar kekuatan manusia. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi timbulnya kesadaran manusia untuk membutuhkan 'kekuatan' ketika ia kehilangan kekuatan (powerless) itu dari Yang Maha Kuasa bukan psikologis manusia sendiri. Sejak lahir manusia memang dibekali perangkat untuk beragama. Ayat tersebut dikenal dangan perjanjian primordial (primordial covenant) yaitu janji ruh manusia untuk mengesakan Allah (bertawhid) .


Tauhid dalam konteks ini, menurut al-Faruqi tidak sekedar penegasan verbalis bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Lebih dari itu, makna tauhid salah satunya mengajarkan kepada manusia akan eksistensi manusia yang sebenarnya. Manusia menunjukkan eksistensi sebenarnya jika mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fi al-ardli.


Menurut al-Faruqi, pelaksanaan tugas itu adalah tujuan akhir eksistensi manusia. Ini menunjukkan, Tauhid Islam sangat menghormati manusia secara adil. Menempatkan manusia secara proporsional dan benar. Tidak melebih-lebihkan sampai pada taraf menuhankan dan tidak pula merendahkan sampai pada taraf binatang.


Karakteristik etika ini menurut an-Nadawi yang membedakan dengan peradaban bangsa lainnya. Peradaban Yunani mengembangkan ajaran humanisme-sekuler yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya (antroposentris). Mereka mendewakan manusia secara berlebihan. Bahkan kejahatan manusia pun dianggap wajar dan alamiah.


Peradaban Yunani terkenal dengan corak materialisme. Ada tiga karakteristik peradaban Yunani yang paling menonjol; Pertama, Keyakinan yang mendalam pada hal-hal yang nyata (empirisme) dan kurangnya perhatian pada hal-hal metafisis, Kedua, Minimnya unsur-unsur religi dan unsur rasa takup pada Tuhan, Ketiga, Paham nasionalisme yang kental.


Agama Kristen pada masa awal pembentukannya melangkah secara ekstrim dengan merendahkan kemanusian. Manusia sejak awal lahir sudah membawa dosa asal dari Nabi Adam as. Untuk itu, tuhan beriknkarnasi menjadi wujud manusia (Yesus) dengan misi untuk menebus dosa manusia dengan cara penyaliban. Ajaran Tawhid dan kebersahajaan Nabi Isa as, dirombak dan diganti menjadi agama baru menjadi Kristen oleh Paulus.


Dari tangan Paulus dan diperkuat oleh Raja Konstantin (Romawi) Kristen semakin tidak rasional, substansi ajarannya dipenuhi dengan khurafat, paganisme Roma dan Platonisme Mesir. Ajaran Nabi Isa as. semakin dangkal dan tidak mampu membangkitkan kekuatan spiritual dalam jiwa, tidak mampu membangun akal budi serta lemah dalam menjawab problematika hidup umat manusia.


Kristen pun dipenuhi dengan kreasi manusia yang sarat dengan penyelewengan yang selanjutnya menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu pengetahuan. Agama Hindu menggolongkan manusia ke dalam kasta-kasta, ironisnya sebagian besar manusia ditempatkan pada kasta yang paling bawah. Lebih dari itu wanita di India pada abad ke-6 kedudukannya disamakan dengan budah. Hal yang biasa seorang suami mempertaruhkan istrinya di meja judi.


Jadi, dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama. Semua aktifitas harus dikaitkan dengan norma agama, apapun aktifitas itu. Konsep Islam tidak mengenal dikotomi religius-sekuler, gereja-negara, sakral-profan dan historis-normatif. Untuk menjadi manusia yang baik maka harus bertauhid dalam makna yang komprehensif. Dalam arti harus menjadi manusia yang beradab, menurut terminologi al-Attas.


Al-Attas mendefinisikan, manusia beradab adalah, orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia beradab.


Menurut al-Attas, adab menempati tiga posisi dalam kehiduapan manusia. Adab terhadai diri, terhadap manusia dan kepada ilmu pengetahuan. Adab terhadap sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat hewani. Ketika seorang manusia mampu menguasai dan mengontrol sifat hewaninya maka ia telah menempatkan dirinya pada tempat yang semestinya, pada posisi yang benar.


Dalam konteks hubungan sosial, adab dapat diwujudkan dengan tulus dan rendah hati, kasih sayang, hormat, peduli dan lain-lain kepada orangtua, saudara, anak-anak, tetangga dan pimpinan maka hal itu menunjukkan seseorang mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka.


Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasrakan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannnya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya berdasrakan akal.


Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang berbeda. Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap dengan ilmuan dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. Maka, tujuan akhir dari mempelajari ilmu pengetahuan adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah yang benar-benar manusia beradab, yaitu manusia yang memaknai Tauhid sebagai dasar peradaban. Adab luntur, maka perdaban pun hancur.

Oleh Kholili Hasib

(dari sahabatku, akhi Kholili)
author

Cara Islam Mengelola Cinta

Cinta yang mengundang murka Allah adalah cinta yang dapat menjauhkan kita pada-Nya. Cinta yang menuruti hawa nafsu.



"Cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi. Goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semua nyata" demikian kata Anis Matta dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta. Itulah cinta, rangkaian lima huruf ini kadang penuh misteri, cukup rumit menerjemahkannya akan tetapi cinta adalah nyata sehingga bisa dirasakan.



Semua manusia bisa merasakan getaran cinta itu, dengan kadar yang berbeda-beda dan bentuk yang beragam. "Jangan main-main dengan cinta!" nasihat seorang bijak. Yups...karena cinta, kita bisa meraih ridla Allah dan gara-gara cinta pula kita bisa menuai murka Allah SWT.



Mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan membingkai cinta manusia dalam kerangka Mahabbatullah adalah salah satu kunci menggapai ridla Allah SWT. "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Ali Imran: 31). Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa dua orang yang saling mencinta dan berpisah semata karena Allah akan mendapat perlakuan khusus oleh Allah kelak hari kiamat akan mendapat naungan dimana pada saat itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (HR. Bukhari-Muslim). Bukti cinta kita pada Allah adalah dengan mengikuti syari'ah-Nya. Dengan pelaksanaan inilah kita bisa mendapat rahmat dan maghfirah-Nya.



Sebaliknya cinta yang mengundang murka Allah adalah cinta yang dapat menjauhkan kita pada-Nya. Cinta yang menuruti hawa nafsu. Misalnya cinta dunia berlebihan, cinta yang dilandasi nafsu belaka kepada lawan jenis tanpa ikatan perkawinan dsb. "Apabila umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam ...(HR. Turmudzi).



Oleh karena itu, kita mesti tahu apa itu cinta. Selain kata cinta ada dua kata lain yang artinya hampir mendekati, tapi berbeda makna, yaitu sayang dan suka. Cinta, sayang dan suka kadangkala dimaknai dengan satu arti. Meskipun memiliki makna yang berbeda.



Kita semuanya tentu pernah mencintai, menyayangi atau menyukai seseorang atau barang tertentu. Bila kita pernah melakukan ketiga-tinganya, kita pasti merasakan bahwa ternyata ketiganya berbeda. Suka, cenderung kepada keinginan seseorang untuk segera memiliki, di dalamnya ada ego. Sehingga orang yang menyukai sesuatu biasanya menunjukkan sifat egoismenya, dalam arti ingin menyenangkan dirinya saja, tanpa menyenangkan orang yang disukainya. Sehingga perasaan hati terdalamnya tidak sampai menyatu kepada orang yang disukainya.



Sayang, adalah boleh dikatakan kadarnya berada di atas suka. Jika kita sayang pada seseorang atau sesuatu, maka kita sedikit mengorbankan diri kita demi menyenangkan orang yang disayangi. Ia tiak egois, tapi luapan perasaannya dituangkan untuk menyenangkan orang yang disayangi. Orang yang sayang akan hadir saat orang yang disayangi menginginkannya.



Sedangkan, cinta adalah tingkatan yang paling tinggi. Tingkat pengorbanan cinta lebih besar dibandingkan dengan sayang. Orang yang mencintai, akan rela mengorbankan jiwanya demi menyenangkan orang yang dicintainya. Ia ingin sekali orang yang dicintainya selalu dekat berada disisinya, apapun keadaannya dan kapanpun waktunya. Sesuatu yang dicintainya dianggapnya sebagai sebuah anugerah yang diberikan Allah kepadanya. Maka, dalam keadaan duka maupun suka, ia tetap loyal kepada orang yang dicintainya.



Sebagai seorang muslim, kita harus pandai-pandai mengelola rasa suka, sayang dan cinta kita. Apalagi, bagi seorang remaja, perasaan terhadap lawan jenis tersebut biasanya cukup besat dan menggebu. Jika seseorang pemuda tidak pandai-pandai mengelola maka bisa terjatuh pada hukum haram.



Cinta adalah perasaan hati yang kehadirannya tidak bisa ditolak. Bagi pemuda yang terjangkiti ’virus’ merah jambu itu perlu memperhatikan rambu-rambu. Untuk mengekspresikan perasaan itu, bagi seorang pemuda perlu memahami skala prioritas terlebih dahulu. Jangan sampai karena jatuh cinta, semua permasalahan terabaikan sama sekali. Inilah cinta buta, cinta yang didasari hawa nafsu.



Islam sangat menjaga kehormatan manusia. Salah satu caranya dengan membuat aturan agar perasaan cinta terhadap lawan jenis berjalan tidak liar. Rasulullah SAW pernah mengingatkan jika dua orang berlainan jenis menyepi, maka yang ketiga adalah syetan.



Mengapa Islam melarang dua orang berlainan jenis menyepi, dan menyentuh lawan jenis? Hal inilah yang menunjukkan bahwa Islam memulyakan manusia. Sebab, orang yang melakukan dua perbuatan tadi sebelum ada ikatan perkawinan akan bisa menghantarkan pada perbuatan yang keji. Jika sudah jatuh pada perbuatan keji, maka Allah akan mencabut rasa cinta dan sayangnya pada orang tersebut. Maka, cinta yang diridlai Allah, adalah cinta yang terbingkai dalam ikatan perkawinan.



Makanya, pemuda yang sudah siap, dianjurkan untuk segera menikah. Cinta orang yang sudah menikah itu lebih mentrentramkan daripada sebelum menikah. Cinta yang dinaungi pernikahan katanya justru menjadi motor yang mesinnya sangat kuat dan terarah, tidak berkeliaran liar. Rasulullah SAW bersabda: "Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang telah mampu untuk kawin maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiap yang belum mampu nikah, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi perisai baginya" (HR. Bukhari-Muslim). Cinta yang terbingkai dalam ikatan perkawinan adalah cinta yang dapat membawa manfaat, relatif terhindar dari dosa. Bagi remaja putri juga menjadikan yang bersangkutan memelihari diri, menimbulkan ketenangan, dan persahabatan sejati. Rajutan cinta yang dikemas dalam ikatan perkawinan adalah rajutan yang paling sempurna dan indah. Di situlah cinta sejati kita temukan. Jangan coba katakan cinta sejati jika sebelum menikah..!



Keindahan cinta perkawinan yang dilandasi karena Allah inilah yang disebut cinta sejati. Sang lelaki laksana benteng bagi wanita yang bisa memberi rasa aman, cinta-kasih sayang, ketenangan dan ketentraman. Dan sang wanita bagai lahan subur yang sejuk dan rindang yang terhiasi dengan bunga-bunga cinta, tempat si laki-laki mencari ketenangan. Ia juga bagaikan matahari yang menyinari, merpati yang mengepakkan sayap, bunga yang harum semerbak dan tempat berteduh yang menyejukkan.



Cinta yang membawa kepada ridla Allah adalah cinta ilahi, meletakkan cinta pada Allah di atas segala perasaan cinta yang menguasai hatinya, dan tentunya yang terikat dalam perkawinan. Di dalamnya kita bisa mereguk nikmatnya cinta sejai yakni cinta yang berdasarkan ilahi. Itulah cara mengelolah cinta yang dapat mendamaikan hati. Wallahu 'alam bisshowab.


Oleh: Kholili Hasib

(dari sahabat saya, kholili)
author

“Ta’dib”, Konsep Ideal Pendidikan Islam

AWAL pendidikan Islam bermula dari tempat yang sangat sederhana, yaitu serambi masjid yang disebut al-Suffah. Namun, walaupun hanya dari serambi masjid, tetapi mampu menghasilkan ilmu-ilmu keislaman yang bisa dirasakan sampai dengan sekarang. Tidak hanya itu, dari serambi masjid ini pula mampu mencetak ulama-ulama yang sangat dalam keilmuannya dimana pengaruhnya sangat besar sekali bagi peradaban Islam, bahkan juga mampu mempengaruhi peradaban-peradaban lain. Sudah barang tentu, “pendidikan” menjadi syarat utama dalam membangun sebuah peradaban yang besar. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan tema yang tidak pernah sepi dan selalu manarik perhatian banyak kalangan. Sehingga,tarik-ulur konsep yang ideal pun selalu mewarnai dalam sejarah perjalanan pendidikan. Begitu pun yang terjadi dalam dunia Islam.


Namun, sungguh disayangkan bahwa dalam perkembangannya, kondisi sebagaimana diawal pendidikan Islam terdahulu sudah kurang terasa lagi dari institusi pendidikan Islam yang ada sekarang. Sebagaimana sebuah obor, maka obor tersebut sudah hampir padam. Agar obor tersebut tidak padam dan terus menyala, maka pendidikan Islam seperti yang telah diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu harus dihidupkan kembali. Di sinilah tulisan ini hadir untuk mengeksplor konsep pendidikan Islam yang akan dikhususkan pada konsep ta’dib yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.



Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam yaitu at-tarbiyah, al-ta'lim dan at-ta'dib. Umumnya, istilah pendikan Islam banyak menggunakan at Tarbiyah. Padahal menurut Naquib Al Attas, pengertian ta’dib lebih tepat dipakai untuk pendidikan Islam daripada ta’lim atau tarbiyah.


Ta’dib merupakan mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna mendidik. Ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib. Setidaknya. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-cara yang benar sesuai kaidah. Karena itu ta’dib berbeda dengan mengajarkan biasa sebagai mana umumnya mengajarkan siswa di sekolah yang hanya dominan mengejar akademis dan nilai.


Istilah ini menjadi penting untuk meluruskan kembali identitas dari konsep-konsep pendidikan Islam yang secara langsung maupun tidak langsung telah terhegemoni oleh pendidikan negara-negara sekuler.


Mengembalikan prioritas utama pendidikan Islam


Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan asas dalam pendidikan Islam. Sehingga, bisa dipahami bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk mentauhidkan diri kepada Allah. Artinya, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan Islam selain dari tujuan keilmuan (IPTEK, keahlian, keterampilan dan profesionalisme), membentuk manusia untuk menjadi khalifah, pembentukan akhlak yang mulia, membentuk insan Islami bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, serta mempersiapkan manusia bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, arah dan tujuan, muatan materi, metode, dan evaluasi peserta didik dan guru harus disusun sedemikan rupa agar tidak menyimpang dari landasan akidah Islam.


Bertauhid kepada Allah sebagai prioritas utama dalam pendidikan Islam secara tidak langsung juga berarti pendidikan Islam juga bertujuan mencari keridhaan-Nya.


Artinya, peningkatan individu-individu yang kuat pada setiap peserta didik diperoleh melalui ridha Allah. Jadi tidak benar jika dalam pendidikan individu peserta didik diletakkan pada posisi kedua setelah kebutuhan sosial-politik masyarakat. Al-Attas menjelaskan, bahwa penekanan terhadap individu bukan hanya sesuatu yang prinsipil, melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang. (baca Aims and Objevtives) Di sinilah letak keunikan dari pendidikan Islam yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan selain Islam, dimana pendidikan yang dilakukan berpusat pada pencarian ridha Allah melalui peningkatan kualitas individu.


Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika pendidikan dilihat sebagai ladang investasi baik dalam kehidupan sosial masyarakat maupun negara. Sudah bisa dipastikan bahwa dunia pendidikan akan melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial. (baca Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas).


Hal tersebut, Al-Attas melanjutkan dalam karnyanya yang lain, dikarenakan pendidikan menurut Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik, bukan untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Hal ini sangat ditentukan oleh tujuan mencari ilmu itu sendiri. Sebab semua ilmu datang dari Allah Swt, maka ilmu merangkumi iman dan kepercayaan.


Dalam maksud yang sama bahwa ilmu tidak bebas nilai. Oleh karena itu, Al-Attas menegaskan bahwa tujuan menuntut ilmu adalah penanaman kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri-pribadi, dan bukannya sekadar manusia sebagai warga negara atau bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai penduduk dalam kota-dirinya (self’s city), sebagai warga negara dalam kerajaan mikrokosmiknya sendiri, sebagai ruh. Inilah yang perlu ditekankan, manusia bukan sekadar suatu diri jasmani yang nilainya diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian yang melihat kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia. (baca: Islam and Secularism).


Dalam semangat yang sama, Muhammad ‘Abduh juga mengkritik dengan tajam pragmatisme yang terjadi dalam pendidikan yang secara khusus ia tujukan pada sistem pendidikan Mesir. Inti dari semuanya adalah bahwa prioritas utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk orang menjadi terpelajar.


Menurut Al-Attas, orang terpelajar adalah orang “baik”. Pertanyaannya kemudian, apakah sesederhana itu pendidikan Islam? Apakah pendidikan Islam hanya membentuk orang hanya sekadar menjadi “baik”? Apa sebenarnya “baik” yang dimaksud Al-Attas di atas?


Konsep Ideal


Konsep Ideal pendidikan Islam secara sistematis telah disampaikan Al-Attas dalam sebuah Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Makkah pada awal tahun 1977. Pada Konferensi tersebut, Al-Attas menjadi salah seorang pembicara utama dan mengetuai komite yang membahas cita-cita dan tujuan pendidikan.


Dalam kesempatan ini, Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan Islam menjadi ta’dib. Konsep ta’dib ini disampaikan kembali oleh Al-Attas pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980.


Sebenarnya apa yang menjadi alasan Al-Attas terus-menerus memperjuangkan konsep ta’dib sebagai pengganti dari Pendidikan Islam? Itu tidak lain, karena menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim. Sebab, Al-Attas melanjutkan, bahwa struktur kata ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib. (baca The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education).


Masih dalam karya yang sama, Al-Attas juga menegaskan bahwa istilah “pendidikan” yang digunakan sekarang ini, secara normal, bersifat fisik dan material serta berwatak kuantitatif. Hal tersebut lebih disebabkan oleh konsep bawaan yang termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja. Esensi sejati proses pendidikan telah diatur menuju pencapaian tujuan yang berhubungan dengan intelek atau ‘aql yang ada hanya pada diri manusia.


Dari sinilah kemudian, dengan konsep ta’dib-nya, Al-Attas menjelaskan bahwa orang terpelajar adalah orang baik. “Baik” yang dimaksudkan di sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.” Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab. (baca: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas).


Oleh sebab itu, pendidikan, menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang—ini disebut dengan ta’dib.” (baca: Aims and Objectives). Sebagaimana al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalan Nabi Muhammad Saw., yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Perkataan adab sendiri memiliki arti yang sangat luas dan mendalam. Selain itu, Al-Attas melanjutkan, ide yang dikandung dalam perkataan ini sudah diislamisasikan dari konteks yang dikenal pada masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-elemen spiritual dan intelektual pada dataran semantiknya.


Maka, berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu dan berangkat dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya mengenai adab:


Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. (baca: The Semantics of Adab)


Al-Attas, sekali lagi menegaskan bahwa pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang sebenarnya tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. Dalam proses pembelajaran, siswa akan mendemonstrasikan tingkat pemahaman terhadap materi secara berbeda-beda, atau lebih tepatnya pemahaman terhadap makna pembelajaran itu. Hal ini karena ‘ilm dan hikmah yang merupakan dua komponen utama dalam konsepsi adab benar-benar merupakan anugerah Allah Swt. (baca: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib Al-Attas).


Tegasnya, bahwa adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode mengetahui yang benar. Dari sinilah kemudian, pendidikan Islam memainkan peranannya serta tanggung jawabnya di dunia dan tujuan akhirnya di akhirat. Dari sini tampak sangat jelas dalam mata hati kita bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta’dib. Dari sinilah kemudian, menurut Al-Attas, konsep ideal pendidikan Islam adalah ta’dib.

Epilog



Alhasil, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan Islam. Hal tersebut tidak lain diperoleh melalui ridha Allah. Dengan mengajukan konsep ta’dib sebagai pengganti dari pendidikan Islam diharapkan agar peserta didik tidak hanya memperoleh intelek dan ‘aql saja. Tetapi lebih dari itu semua, yaitu peserta didik benar-benar mampu menjadi orang yang terpejalar, dan orang yang beradab. *


Jum'at, 17 Juni 2011: http://hidayatullah.com/read/17565/17/06/2011/%E2%80%9Cta%E2%80%99dib%E2%80%9D,-konsep-ideal-pendidikan-islam.html

(Kiriman dari sahabatku :)
author

Janganlah Engkau Katakan Seandainya...

Pagi ini aku membuka lembaran-lembaran halaman salah satu bukuku, mataku tertuju ke salah satu halaman yang menuliskan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :


Abu Huraira ra. Meriwayatkan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “ ….Teruslah memohon pertolongan Allah dan jangan berhenti ,Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian, tentu hasilnya akan begini dan begitu, sebaliknya katakanlah “demikianlah Allah menetapkan dan Dia berbuat menurut kehendakNya, kata seandainya itu membuka gerbang menuju (pikiran-pikiran) setan (HR Muslim)


Subhanallah !!, betapa banyak ucapan-ucapan yang di awali dengan “seandainya…” yang telah aku lontarkan selama ini, dan hamper semuanya membawa hatiku menuju ke gerbang (pikiran-pikiran setan). Iya semua itu tanpa sengaja maupun dengan sadar aku ucapkan, khilafku dan ketidaktahuankulah yang membuatku hanyut dalam kebodohan.


Aku jadi ingat, ketika aku gagal melakukan sesuatu atau mendapatkan sesuatu waktu itu, ungkapan “seandainya” kerap terucapkan…


“Seandainya aku tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut”

“Seandainya aku tidak sakit waktu itu, tentu saya mempunyai kesempatan ikut test itu”

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)


Subhanallah !!, lagi-lagi di buku tersebut dituliskan firman Allah yang membuatku semakin sadar. Ketika aku gagal atau tidak tercapai keinginanku, sebaiknya hendaklah aku menyandarkan segala urusannya pada Allah karena hanya Dia-lah yang men-takdirkan segalanya. Dan aku harus melatih hatiku untuk tetap selalu menanamkan bahwa Allah mempunyai sifat Iradat (berkehendak) dan Allah itu Muridan yaitu Zat yang Maha Berkehendak.


Mengapa bisa membawa ke gerbang (pikiran-pikiran) setan?

Coba bayangkan lagi!, ketika kita ucapkan “seandainya…” ketika kita gagal mencapai sesuatu yang tidak kita inginkan. Muncul rasa was-was, sedih, timbul penyesalan, dan kegelisahan.Dan tidak menutup kemungkinan lupa akan Allah yang maha mengatur dan menetapkan


Tetapi ada juga kata-kata “seandainya” diperbolehkan, insyaAllah dengan matahati kita bisa melihat dan merasakan mana yang bisa kita ucapkan mana yang tidak perlu kita lakukan,


ucapan ‘seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, memungkinkan untuk kita ucapkan

“Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.” karena yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat)

“Seandainya aku punya banyak buku, tentu saya akan lebih paham masalah agama”

“Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.”


Jadi mulai sekarang tidak perlu bersedih, dan tetaplah berdoa kepada Allah dikala kegagalan, keinginan atau ketidakenakan hati itu tidak menghampiri.


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)


Seandainya kita memegang sekuntum bunga berduri, dikala itu juga tangan kita terluka kena duri yang tajam dari bunga yang kita pegang. ada dua pilihan yang bisa kita ucapkan

"seandainya saja aku tidak memegang bunga itu, mungkin...." atau

aku cepat bersyukur, lukaku tidak seberapa, dan berharap dibalik semua itu akan menghapus dosa-dosaku



Abu Huraira ra. Meriwayatkan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam "Tidak ada rasa lelah, rasa sakit, stress, cemas, sedih atau cedera yang dialami seorang muslim, bahkan tusukan duri sekalipun, melainkan allah akan menjadikannya sebagai penebus dosa-dosanya" (HR.Muslim).

(Kiriman dari sahabatku : akhi Sumarna)
Sosok itu, Evi Andriani
author

Sosok itu, Evi Andriani



Evi Andriani
Kau wanita penuh semangat dalam menjalani hari-harimu
Rasa sakit yang menghinggapi tubuhmu
Tak ubahnya kau jadikan sebagai pemicu
Untuk slalu menanam kebaikan setiap waktu..

Kau wanita penuh talenta dlm keseharianmu
Tenaga pikiran kau kerahkan dlm hatimu
Tuk membantu sesama kerabatmu
Mencurahkan waktumu dalam kesah dan pilu..

Kau wanita penuh ide dalam benak pikiranmu
Kau tuangkan itu semua dalam rangkaian tulisanmu
Kau persembahkan untuk orang-orang yang haus ilmu
Dengan selalu mengharap balasan Ridho dari Robbmu..

Evi Andriani..
Pribadi Khansa kau semaikan dalam hati
Maryam pun wanita yang kau kagumi
Siti hajar pun tak luput dari kekaguman nurani
Kau jadikan mereka panutan diri..

Evi Andriani
Kau hiasi dirimu dengan pakaian suci
Membentuk pribadimu nan berseri
Membuat orang sekitar menyayangimu sepenuh hati
Meski mereka jauh dari pandangan mata diri

Evi Andriani
Ridho ilaahi yang kau cari setiap hari
Karena kau menginginkan hidupmu penuh arti
Meski ragamu lemah menyendiri
Namun keyakinanmu tetap dalam hati

Evi Andriani
Kau jadikan malammu cahaya penuh arti
Muhasabahmu kau tanamkan dalam diri
Jemari indahmu mengukir sebuah cermin hati
Dalam naungan cinta Ilaahi...


(Terimakasih utk sahabatku yang jauh untuk kiriman puisi indah ini. Sungguh buat aku terharu. Semoga aku bisa menjadi seperti apa yang engkau tuliskan dalam syair di atas. Semoga suatu saat aku bisa bertemu dirimu. Semoga Allah mengampuni aku ya sahabat bila aku tak mampu menjadi seperti yang engkau tuliskan dalam bait-bait syair di atas, Semoga kebaikan dilimpahkan Allah pada kita semua)
author

Hafalan, Tradisi Intelektual dan Kemajuan Peradaban Islam

Prolog


Sebagai salah satu tahap/proses menuntut ilmu, hafalan bukanlah metode asing dalam khazanah Islam. Ia telah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman Nabi Muhammad saw. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalnya. Dari apa yang Rasulullah saw lakukan, hafalan Al-Qur’an selalu dibarengi dengan pemahaman (QS. al-Nahl: 44), demikian juga dengan hafalan Hadith.


Dari situ, terbangun pandangan hidup, epistemologi Islam dan ilmu-ilmu Keislaman. Dengan demikian, tuduhan bahwa hafalan hanya melemahkan kreatifitas bukan hanya tidak tepat, tetapi juga mengaburkan arti penting hafalan dalam perkembangan peradaban Islam.


Hafalan dan Otentisitas Al-Qur’an

Hafalan, sebagaimana yang disinggung di atas, bukan metode belajar yang berdiri sendiri. Ia bagian dari satu rangkaian/proses menuntut ilmu yang secara langsung diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat beliau. Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasul saw untuk menghafalkan Al-Qur’an kala itu bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, akan tetapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri.


Seperti yang diketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah), dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin). Sedangkan tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’ (baca: M.M. Al-A’zami).


Demikian juga dengan hafalan Al-Hadith, sangat berperan dalam menjaga otentisitas dan keberlangsungan Hadith-hadith Nabi saw. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim misalnya, dua Muhaddith yang sejak kecil berkunjung ke berbagai tempat dan negara hanya untuk menemui dan belajar langsung kepada para ulama yang hafal dan memahami Hadith-hadith Rasul saw dengan sangat baik. Pentingnya hafalan Hadith ini telah Rasulullah saw isyaratkan dalam sebuah sabda beliau: “Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami Hadits lalu dia menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit r.a.).


Agaknya, pandangan negatif terhadap hafalan sengaja dihembuskan oleh para missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen. Sebab setelah gagal menghancurkan Sirah dan Sunnah Rasulullah saw (lihat: Daniel & Preideaux), sasaran mereka selanjutnya adalah Al-Qur'an. Dalam kaitannya dengan hafalan, tujuan dilancarkannya tuduhan negatif terhadapnya tidak lain agar umat Islam merasa minder untuk menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadith. Jika dituruti, tentu sangat merugikan umat Islam sendiri.


Hafalan dan Aktivitas Intelektual

Disamping berkaitan dengan otentisitas, hafalan juga berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan. Sebagai utusan Allah swt, baginda Rasul saw, penerima wahyu (Al-Qur'an), memiliki kemampuan menangkap, memahami, dan menafsirkan firman Allah swt dengan sangat baik. Jadi, seperti apa dan bagaimana kandungan Al-Qur’an dijelaskan dan dilakukan langsung oleh beliau (QS. al-Nahl: 44). Hal ini beliau lakukan dengan cara-cara yang khas yang berbeda dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview (baca: Islamic Science).


Hafalan Hadith pun demikian, diikuti pemahaman. Para ulama, dalam menghafal satu Hadith misalnya, diperoleh dari ulama yang otoritatif, bukan sekedar dari membaca buku yang diproduksi secara luas tanpa bimbingan orang-orang yang ahli (Muhaddith). Al-Muhaddith Imam Bukhari misalnya, berkunjung ke berbagai negara untuk bertemu langsung dengan banyak ulama dalam rangka menghafal Hadith dan memahami isinya. Guru-guru beliau banyak sekali, di antara yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa dan Abu Al Mughirah.


Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap hafalan Hadith, harus ada proses pemahaman ilmu dari sang ulama kepada sang murid. Oleh karenanya, umat Islam masa klasik tidak pernah diresahkan oleh Hadits-hadits atau ayat-ayat yang bertebaran secara sepotong-potong di tengah umat. Ayat-ayat dan Hadits selalu dipelajari dalam konteks, tidak sekedar dihafalkan tanpa penjelasan yang memadai.


Sebagai sumber utama umat Islam, hafalan Al-Qur’an dan Al-Hadith memberi andil sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam. Dari kedua sumber tersebut, kemudian terbentuk konstruk pandangan hidup Islam (Islamic Worldview). Selain itu, karena bangunan konsep dalam wahyu dan Al-Hadith yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di dalamnya. Sehingga tradisi intelektual dalam peradaban Islam dapat hidup dan berkembang dengan pesat.


Melihat peran sentral tersebut, maka tidak heran jika para ulama memandang bahwa hafalan Al-Qur’an adalah satu keniscayaan. Bahkan ada yang sampai menyatakannya sebagai prasyarat bagi siapapun yang ingin mendalami ilmu-ilmu Keislaman secara luas. Sebab bagi mereka, menuntut ilmu itu ada tahap-tahapnya. Dan tahap yang paling atas dan utama adalah menghafal Al-Qur’an, terang Abu Umar bin Abdil Barr. Al-Hafizh An-Nawawi juga menegaskan: “Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, dimana itu adalah ilmu yang terpenting diantara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu Hadits dan Fiqh kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an (An-Nubadz fii Adabi Thalabil ‘Ilmi, p. 60-61).


Oleh sebab itu, kita melihat bahwa para ulama Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah, baik yang dari salaf maupun khalaf, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, Imam Al-Ghazali, dan lainnya adalah para ulama yang selain hafal Al-Qur’an juga hafal sekian banyak Hadith Rasulullah saw. Sehingga mereka dapat melahirkan pemikiran dan karya yang brilian.


Mengapa Barat “Menganak-tirikan” Hafalan?

Ilmuwan Barat mengakui bahwa anak-anak belum bisa diajak berpikir secara sempurna. Karenanya, hafalan menjadi salah satu materi pendidikan terpenting pada usia ini. Namun tidak seperti umat Islam, masyarakat Barat yang mayoritas beragama Kristen tidak memiliki kitab suci yang kaya akan khazanah ilmu pengatahuan. Kandungan Bible justru bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Lihat: R. Hoykaas, Werner G. Jeandrond dan Marvin Perry). Selain itu, secara harfiah otentisitas Bible sebagai Kalam Yesus juga dipertanyakan. Bahkan para Teolog Kristen hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan perkataan Tuhan (baca: Encyclopaedia Britannica).


Orang-orang Kristen yang masih menganggap bahwa lafadz Bible itu Kalam Tuhan mendapat Kritikan keras dan dianggap ekstrim. Encyclopaedia Britannica memasukkan golongan ini dalam kelompok literal hermeneutics. Dari kelompok ini juga nanti lahir golongan “Fundamentalis Kristen” (baca: The Fundamentals & Studies in Religious Fundamentalism).


Karena problem teks dan kandungan Bible tersebut, maka wajar jika Barat (sekuler) tidak mengakui adanya kitab suci yang perlu dihafalkan. Sehingga mereka melihat, hafalan yang dianggap akan berpengaruh besar terhadap kecerdasan anak-anak adalah bahasa. Semakin banyak kosakata yang dimiliki seseorang, semakin mudahlah baginya untuk mendapatkan informasi dan memahami ilmu pengetahuan.


Sesungguhnya, pendidikan dasar yang mengutamakan perkembangan bahasa bukanlah eksklusif milik Barat. Jauh sebelumnya, Ibn Sina (370-429 H/980-1037 M) telah mengajarkan pentingnya hafalan al-Qur’an untuk memperkaya kosakata anak. Dengan demikian, kelak anak-anak ini akan lebih mudah memahami fikih dan ilmu-ilmu lainnya, jelas beliau.


Inovasi yang Proporsional

Harus diakui, masyarakat Barat cukup kreatif dalam mengembangkan metode hafalan. Ada yang berupa permainan, kartun pendidikan, buku cerita, lagu, dsb. Dengan seperti itu, anak-anak bisa digiring untuk menghafalkan sesuatu tanpa merasa sedang menghafal. Misalnya, untuk menghafal nama-nama ibu kota negara, ada kartun Postcard from Buster yang mengajak anak-anak mengenal berbagai budaya dan tempat, tanpa harus membuat mereka jenuh.


Namun sebagai Muslim, kita harus teliti dan arif menyikapi kreativitas metode hafalan yang dikembangkan masyarakat Barat itu. Sebab seperti uraian di atas, walau tidak seluruhnya beda, tapi ada objek-objek hafalan yang sangat berbeda, terutama yang berkaitan dengan kitab suci. Perbedaan ini tentu meniscayakan adanya perbedaan keyakinan, perlakuan, tujuan, dsb.


Contoh, status teks dan kandungan Bible yang problematis, menjadikan masyarakat Barat tidak tertarik (cenderung meninggalkan) membaca apalagi menghafalnya. Karena itu, baru-baru ini dicetak Bible model baru, seperti majalah yang lengkap dengan gambar ilustrasinya. Beberapa kutipan dan paragraf dalam majalah ditonjolkan dan gambar-gambar ilustrasi menghiasi halaman di dalamnya (http://www.hidayatullah.com/). Walaupun mereka katakan bahwa ide ini muncul karena masalah bentuk semata, agar dengan model baru tersebut umat Kristiani lebih tertarik membacanya, tetapi kita melihatnya tidak sesederhana itu.


Sebab Al-Qur’an, baik yang dicetak dalam versi kecil maupun besar tidak mengendorkan atau menimbulkan rasa bosan umat Islam untuk membaca bahkan menghafalnya. Hal ini karena memang masalah otentisitas Al-Qur'an dan Al-Hadith tidak pernah ada di kalangan umat Islam. Sehingga, ketika umat Islam membaca Al-Qur'an tidak lagi karena otentisitasnya yang jelas-jelas terjamin, tapi lebih pada keyakinan bahwa membaca dan mengkajinya adalah tergolong ibadah kepada Allah swt.


Oleh sebab itu, untuk menghafal Al-Qur’an atau Al-Hadith, apalagi kalau hanya agar umat Islam tidak meninggalkannya, kita tidak perlu, bahkan tidak boleh meniru Barat. Artinya, tidak pernah terfikirkan oleh kita untuk mencetak Al-Qur’an dengan model baru seperti Majalah atau lainnya. Sebab, Al-Qur’an dan Al-Hadith sama sekali tidak dapat disamakan dengan Bible yang penuh problem sehingga ditinggalkan. Yang benar, mari kita kembali melihat, bagaimana cara para ulama salaf menghafal, memperlakukan, memahami dan mengajarkannya. Sebab mereka, terutama dari kalangan sahabat adalah orang-orang yang langsung hidup dalam bimbingan Rasulullah saw.


Walaupun demikian, menurut penulis, untuk masalah ilmu pengetahuan secara umum, tidak ada salahnya jika kita terus mengembangkan dan menyesuaikan metode hafalan yang ada.



Epilog


Uraian singkat ini menunjukkan bahwa hafalan, terutama yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadith, merupakan satu tahap penting dalam sejarah perkembangan Islam. Sebab keduanya adalah sumber dan pegangan utama umat Islam dalam membangun peradaban Islam. Dari apa yang Rasululah saw dan para sahabat lakukan, kita mengetahui bahwa seharusnya hafalan selalu diiringi dengan pemahaman dan pengamalan. Sehingga darinya, lahir pandangan hidup, aktivitas intelektual, epistemologi Islam dan ilmu-ilmu Keislaman. Jadi tidak tepat jika dikatakan bahwa hafalan menghambat kreativitas seseorang.

oleh Asmu'i Marto
....................

Dimuat di Majalan Gontor (Nasional), edisi 02, tahun IX, Juni 2011.

(Kiriman dari sahabatku : Asmu'i Marto)
author

Menulis Ala Chicken Soup

Sebelum saya memulai bahasan kali ini, izinkan saya untuk mengutip satu tulisan di sini. Tulisan itu saya ambil dari sini : www.oneminuteonline.wordpress.com.


“…Seorang pria bernama Jack bermimpi untuk menulis buku. Bukan buku biasa. Sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, pada waktu itu. Buku itu akan berisi kumpulan kisah yang menggugah, d...itulis dengan singkat dan padat, namun mengena. Dan yang membuat buku itu istimewa karena semua kisah dalam buku itu didasarkan pada kisah nyata. Jack percaya buku itu akan disukai karena akan menginspirasi banyak orang yang membacanya. Setelah menemukan hasratnya, ia mulai menulis dengan penuh semangat.



Ketika buku itu telah selesai ditulis, naskah itu pun diajukan ke penerbit. Jack optimis akan mendapat respon positif. Tapi di luar dugaan, penerbit menolaknya. Tapi, masih ada banyak penerbit lain. Jack pun kembali mencoba memasukkan naskahnya ke penerbit lain. Dan ia ditolak lagi. Ia mencoba lagi untuk ke tiga kalinya, dan ditolak lagi. Ia tetap tak kenal menyerah. Ia mencoba lagi dan lagi, dan penolakan demi penolakan terus saja diterimanya. Tak tanggung-tanggung, ia telah mendapatkan penolakan sebanyak 124 kali!



Ya, 124 kali! Bukan jumlah yang sedikit. Bisakah Anda bertahan atas penolakan sebanyak itu? Pada penolakan yang ke berapakah kira-kira Anda akan memutuskan utnuk berhenti dan menyerah? Pada penolakan ke-100 kah? Pada penolakan ke-50 kah? Atau jangan-jangan daya tahan Anda hanya pada penolakan ke-10?



Seandainya Jack memutuskan untuk menyerah pada penolakan ke-10, ke-50 atau ke-100 atau bahkan ke-124 dunia tidak akan pernah mengenal sebuah buku yang paling menginspirasi orang dari berbagai belahan bumi selama bertahun-tahun. Buku itu kita kenal dengan “Chicken Soup for the Soul”. Pada usahanya yang ke-125 akhirnya sebuah penerbit menerima naskahnya dan menerbitkannya. Dan ternyata buku itu laris manis, dan berhasil masuk dalam 150 top best seller sepanjang 15 tahun.



Serial Chicken Soup menjadi buku motivasional yang sangat digemari di berbagai belahan bumi. Ada lebih dari 200 judul dari setiap serial buku ini yang telah dibuat oleh Jack Canfield, dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, dan terjual lebih dari 112 juta copy…..”







Buku-buku seri Chicken Soup mendulang sukses justru karena kekuatan ceritanya. Kekuatan cerita tersebut bukanlah terletak pada tema-tema yang berat, melainkan pada kesederhanaan kisah, kalimat-kalimat yang mengalir runut, menceritakan sebuah kisah sederhana yang pada akhir cerita akan membuat mulut kita ternganga saking takjubnya atau mungkin hanya sekedar menarik nafas panjang dan berpikir, “Wah.. ceritanya gue banget nih…”



Mengapa buku-buku Chicken Soup banyak digemari para pembacanya di seluruh dunia ? selain apa yang telah saya uraikan di atas, satu alasan lain lagi adalah, karena kisah-kisah yang ditampilkan di buku itu singkat, ringan, namun membawa banyak hikmah dan inspirasi bagi siapapun di berbagai belahan dunia ini.



Oke, saya tidak akan berlama-lama membuka bahasan kali ini.

Ibu-ibu, tentunya ibu memiliki banyak cerita dalam kehidupan sehari-hari bukan ? ya, tentunya.


Setiap kita tentu punya cerita. Tidak bisa bercerita atau tidak bisa menuliskan cerita bukan berarti kita tidak memiliki cerita. Pada kenyataannya, cerita-cerita yang luar biasa di dunia berasal dari orang-orang yang memutuskan untuk diam dengan berbagai alasan. Namun pada akhirnya, ada banyak cara untuk mengungkapkan cerita itu kepada orang lain. Mungkin dengan jalan curhat kepada sahabat atau keluarga, atau menuliskannya.


Tips Menulis Ala Chicken Soup


Pilihlah satu cerita sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. Satu cerita yang mungkin saja juga dialami oleh banyak orang lain di berbagai belahan dunia. Mungkin nanti cerita itu akan menggugah orang lain, mengingatkan orang lain, membawa hikmah atau sekedar hiburan bacaan ringan.
Tidak banyak yang harus kita tulis. Hanya satu kejadian kecil. Kisah yang sangat spesifik. Mungkin orang lain juga mengalami kisah tersebut. Tapi kita menuliskannya dengan perspektif berbeda berdasarkan pengalaman pribadi yang tentunya akan menghasilkan akhir cerita yang berbeda dengan orang lain.

Itu saja sudah cukup.


Pikirkan satu cerita kecil dalam periode kehidupan kita yang sesuai dengan tema tulisan yang akan kita buat. Galilah cerita tersebut secara mendalam, dan temukan hikmah apa yang bisa kita bagikan kepada orang lain dari cerita tersebut. Mungkin cerita tersebut bukan kisah yang luar biasa, bukan pula kisah yang mampu menggetarkan banyak hati. Tapi setidaknya, cerita itu membawa dampak dalam kehidupan kita di kemudian hari.



Contoh menulis ala chicken soup.



Misalkan saya akan menulis naskah dengan tema Pacar Pertama.


Saya akan duduk dengan tenang. Saya ajak pikiran saya kembali ke masa lalu. Siapakah pacar pertama saya ? kapankah kisah cinta pertama saya ? apakah saat di SMP ? SMA ? Kuliah ? owh.. pacar pertama saya adalah si A, misalnya. Kenanglah kembali kisah dengan A itu. Apakah ada satu kejadian yang paling saya ingat dari hubungan saya dengan A tersebut ?


Ya, ada. Tiba-tiba saya ingat bahwa dulu, sekian puluh tahun yang lalu, A pernah memberikan kejutan yang istimewa untuk saya. Padahal saya tahu, A adalah orang yang paling tidak romantis abad ini. Kejutan istimewa itu telah begitu susah payah dirancang oleh A namun saya tidak menyadarinya dan malah membuatnya kecewa. Pada akhirnya saya menyesal, namun A keburu marah dan memutuskan meninggalkan saya.


Sedih ? memang. Dan itulah yang akan saya tuliskan dalam kisah saya itu. Saya tidak akan menuliskan bagaimana ketika saya pertama kali pacaran di sekolah. Saya tidak akan menjelaskan satu persatu siapa saja pacar-pacar saya dulu sesudah si A itu. Saya juga tidak akan menjelaskan dari A sampai Z bagaimana gaya berpacaran saya dengan si A kala itu.



Yang akan saya tuliskan hanyalah sepotong kisah kecil ketika A berusaha menyenangkan hati saya dengan memberi surprise namun saya malah merusak segalanya. Simple. Sederhana. Namun di akhir cerita saya akan tuliskan betapa sepotong episode itu membawa hikmah yang luar biasa dalam kehidupan saya saat ini. Setidaknya, ketika saya kembali berhubungan dengan orang lain, saya jadi belajar untuk lebih peka dan lebih mengerti pasangan saya tersebut.



Sampai di sini, apakah ibu-ibu masih banyak yang bingung tentang menulis ala chicken soup ini ? silahkan bertanya ya ibu-ibu, saya akan berusaha menjawabnya dengan sejelas mungkin.



Menulis ala chicken soup, biasanya tidak perlu panjang-panjang. Hanya sekitar 3-5 halaman saja dengan aturan standar TNR 12, 1,5 spasi. Tidak perlu menjejali tulisan ibu-ibu dengan data dan fakta yang begitu banyak. Ingat, tulisan ini akan dibaca sebagai teman beristirahat, teman dalam perjalanan, teman saat santai, maka buatlah tulisan yang ringan, mengalir dan manis. Semanis kue J.



“….Pikirkanlah 5 atau 10 tahun dari sekarang, Ketika generasi kesekian membaca kisahmu, dan dia tersenyum karena memiliki pengalaman yang sama denganmu. Atau dia menangis karena bersedih untukmu. Atau dia terobati karena engkau menyuarakannya. Tidak banyak. Hanya kejadian kecil…” (Anonim)


NB : Tangkap satu cerita kecil dari episode kehidupan kita, dan kembangkan itu menjadi tulisan ringan yang menarik. Karenanya, saya selalu berprinsip dalam hidup, yaitu “perhatikan hal-hal kecil di sekitar kita, dan temukan keajaibannya…”


Tanya Jawab :


1. Nurul Asmayani : Mba Lygia Pecanduhujan, tulisan ala chicken soup ini masuk dalam genre non fiksi kan ya?


Jawab : Betul.. masuknya dalam non fiksi, karena isinya adalah kisah2 nyata...^^, maaf kalau saya balasnya agak lama. Koneksi parah...


2. Nurul Asmayani : Apakah boleh kita mendramatisir tulisan kita untuk menambah kesan tertentu, misal menjadi sangat menyedihkan, dramatik, dan seterusnya ?



Jawab : Nurul, boleh saja mendramatisir kisah kita , hanya saja sebaiknya jangan terlalu berlebihan. karena kalau jadinya pendramatisiran kisah itu terlalu banyak, malah khawatir akan membuat tulisan itu tidak lagi menjadi tulisan kisah nyata. melainkan menjadi tulisan fiksi based on true story. :)


3. Dini Rahmajanti : sukaaa...kebetulan sy sukanya menulis yg pernah sy alami,mba. Mhn bimbingan nyaa..ingin sekali ikutan menulis spt ini dan mjd buku?! bisakah??



Jawab : Dini, tulisan model2 chicken soup seperti ini sudah mulai banyak diadaptasi di Indonesia. Jadi sering2lah mencari informasi ttg adanya audisi naskah antologi, misalnya. meskipun terkadang bagi saya, kebanyakan antologi di Indonesia masih terjebak dengan pola penulisan naratif, berpanjang2, bercerita dari A-Z tentang suatu tema. sementara tulisan chicken soup tidaklah demikian


4. Qonita Azhari : gimana caranya bisa fokus ke poin yg dimaksud?

Jawab : Qonita , caranya bisa fokus ke poin yang dimaksud adalah, kita gali memori kita sedalam2nya tentang kisah yang akan kita tulis. ambil satu poin. ketika poin itu sudah terpegang, cara fokusnya adalah jangan biarkan tulisan kita melebar kemana2., itulah sebabnya mengapa tulisan-tulisan ala chicken soup disyaratkan hanya maksimal 3-5 halaman. Itu sebagai salah satu upaya untuk pemfokusan cerita :)


5. Atik Herwening Widiyanti : menulis pengalaman kisah nyata, apalagi pribadi, kadang menyenggok seseorangl. Bgmn membatasi diri agar tidak terjebak ke ghibah, atau hal2 yg menyebabkan kemarahan seseorang yg disenggol? pdhl mungkin dr pengalaman itu ada banyak hikmah yang bisa dipetik....



Jawab : Atik , batasilah cerita hanya pada apa yang kita rasakan. dan kita tidak diwajibkan untuk menuliskan nama jelas orang yg menjadi salah satu tokoh dalam kisah kita. Misalnya, kita akan menulis ttg mantan suami yang melakukan KDRT. gak usah m...enyebutkan nama lengkap si suami, apalagi sekalian nyebutin gelarnya secara lengkap. cukup kita namakan tokoh itu adalah "sang mantan" atau "mantan suami saya" dll. Dan supaya kita tidak terjebak pada ghibah, maka fokus kita adalah pada hikmah apa yang bisa kita petik dari pengalaman tersebut. ceritakan kisahnya secara apa adanya, lalu bahas pendapat kita ttg pengalaman itu.


Contoh seperti di atas :

saya menuliskan ttg masa 20 tahun lalu ketika saya masih berseragam putih biru. saat itu saya dekat dengan seorang teman sekelas, bernama Gie. percakapan2 panjang setiap hari membuat saya dan Gie semakin dekat. tapi sayang, ketika saya mulai merasakan ada perasaan lain di hati, saya baru tau bahwa ternyata Gie itu sudah punya teman dekat lain. Dan gie tetap menganggap saya sbg sahabat baiknya. pada akhirnya, saya mulai belajar menyadari sesuatu bahwa ternyata persahabatan itu bisa jauh lebih indah dibandingkan percintaan. ini terbukti krn ternyata pada akhirnya , ketika saya dan Gie mulai kuliah di tempat yg berbeda, Gie bisa bergonta ganti pacar beberapa kali, tapi tetap saja sahabat baiknya adalah saya..



(ini kisah fiktif sebenernya, saya tulis untuk contoh saja..hehehehe)



6. Ary Nur Azizah ada tiga pertanyaan, mbak:

1. point of view-nya selalu aku-kah?

2. ar pernah baca di postingan IIDN, kalimat2nya pendek2. apakah ini juga ciri khas?

3. di IIDN ada yang nanya, apakah tidak ada paragraf? tapi ar belum menemukan jawabannya. benarkah begitu?

makasih banyak ya mbak...


JAWAB : ARY :


a. Point of View itu ada 3, yaitu kita sebagai orang pertama, orang kedua dan orang ketiga. dan ketiga jenis PoV itu juga dipakai dalam penulisan kisah ala chicken soup ini. kita bisa menuliskan kisah hidup kita, atau kisah orang2 terd...ekat kita, dengan Pov Aku atau dia.



b, Kalimat-kalimat pendek itu bukan ciri khas dari tulisan tertentu, tapi ciri khas dari penulisnya sendiri. boleh2 saja kalimatnya panjang2 , hanya perlu diperhatikan pemenggalan kalimat2 itu agar orang yang membacanya tidak merasa seperti habis lari marathon puluhan kilo setelah selesai membaca tulisan kita. boleh juga tulisan kita terdiri dari kalimat-kalimat pendek. asal apa yang ingin kita sampaikan dalam tulisan itu diterima dengan baik oleh pembaca.


c. paragraf selalu perlu dalam setiap tulisan. justru tulisan yang tidak memiliki paragraf akan membuat lelah pembaca.


7. Aida Amal Syafin : sebetulnya dalam seleksi antalogi itu boleh2 saja kita pakai gaya chicken soup atau kalau memang disana ada prasyarat demikian? terus ada ga batasan jumlah kata pada chicken soup ini? biasanya kan antalogi berkisar 1200 kata, klo dirasa pendek kadang saya gak kesampaian dengan menggunakan based on true story dan fokus, apakah itu boleh2 saja...



JAWAB : Aida : kalau kita ingin mengikuti audisi Antologi yang harus kita perhatikan adalah :



1. bacalah dengan teliti persyaratannya. apakah dalam salah satu poin dr persyaratan itu ada perintah untuk menuliskan kisah kita ala chicken soup ? jika t...idak ya artinya kita bebas menuliskan dgn gaya kita. tidak harus melulu berpatokan pada syarat2 menulis ala chicken soup. dan memang menulis chicken soup ini tidak ada aturan mutlak selain menuliskan satu kisah spesifik.



2. dalam chicken soup tidak ada batasan jumlah kata. yang ada hanyalah batasan jumlah halaman , itupun tergantung kebijakan dari masing2 Penanggung Jawab proyek itu. apakah maksimal 3-5 halaman, ataukah seperti cerpen yang 6-8 halaman. tapi biasanya, tulisan2 di buku seri Chicken Soup tidak lebih dari 3-5 halaman.


8. Sofi Bramasta : nanya mbak: bolehkah chicken soup pakai bahasa fiksi yang mendayu-dayu ?



Jawab : Sofi , bisa-bisa aja, pakai bahasa yang manis, romantis, tapi ingat : jangan berlebihan, kalau kita gak mau nanti tulisan kita dianggap lebay gak jelas...


9. Ida Fauziah : Mbak Lygia Pecanduhujan, jika menulis novel non fiksi, apakah bisa dg gaya chicken soup? Contohnya gimana mbak, trims :)


Jawab : Ida , menulis novel non fiksi ? setahu saya, tidak ada novel bergenre non fiksi. dimana2 novel itu adalah fiksi. kalaupun itu berdasarkan kisah nyata, tetap saja disebut novel fiksi tapi based on true story. nama2 tokohnya fiksi, nama2 loka...si cerita fiksi, semuanya fiksi. yg true story hanyalah jalinan kisahnya saja. begitu ya ?



jadi penulisan novel tentu saja beda dengan penulisan kisah chicken soup ini. dari segi jumlah halaman, dan lain sebagainya. menulis dengan jumlah halaman terbatas tentu akan berbeda dengan menulis halaman yang banyak. dgn halaman terbatas, kita akan diminta utk menulis secara ringkas, mengalir, sederhana namun punya kekuatan cerita. sementara dengan jumlah halaman yang banyak kita bisa lebih mengeksplor tulisan kita kemana2...


10. Dini Rahmajanti : bgmn dg tulisan FNF dan FF mana yg termasuk katagori tulisan chicken soup??


JAWAB : Dini , FNF itu apa ya ? hahahaha..maaf saya ga ngikutin. Kalau FF alias Flash Fiction itu kan jelas2 merupakan tulisan fiksi, sementara chicken soup adalah tulisan kisah nyata. tentunya sangat jauh berbeda kan .... jadi gak ada FF yang bisa dikategorikan sbg tulisan chicken soup, karena FF itu sendiri sudah jelas2 merupakan fiksi.


11. Qonita Azhari : Saya baca buku PELANGI NURANI yg terbit di thn 200an kalo ga salah. Kumpulan tulisan a la chicken soup juga. Kalo saya amati, yg menjd daya tarik buku tsb adalah kekuatan cerita itu sendiri dan bukan gaya penulisannya. Gmn menurut Mbak Lygia Pecanduhujan?


Jawab : Qonita , memang kekuatan cerita merupakan salah satu potensi tulisan itu menjadi menarik. namun gaya penulisan yang cantik juga sangat penting. karena seringkali saya menemukan cerita yang sebetulnya bagus, menarik, namun ditulis dengan gay...a bahasa yang acak-acakan, malah apa yang dimaksudkan dari ceritanya itu gak berhasil sampai ke tangan pembacanya. pasti banyak juga ibu2 dan teman2 di sini yang pernah baca tulisan2 seperti itu kan ?



judulnya keren, sinopsisnya juga luar biasa. alur ceritanya rumit dan menjanjikan petualangan yang asyik. namun ketika dibaca, gaya penulisannya boring , monoton, garing, bertele2 , kesana kemari gak jelas, dan akhirnya bikin kita menutup buku padahal buku itu belum tamat kita baca.


12. Sofi Bramasta : mbak kalau kita menulis kisah orang lain kira-kira bahaya nggak? maksud saya jika nanti orang yang bersangkutan marah/bahkan nuntut?


Jawab : Sofi : makanya, ketika saya menjadi PJ dari buku antologi (buku antologi yg saya bidani adalah A Cup Of Tea For Single Mom), saya selalu mengingatkan kepada para pengirim naskah bahwa, jika kita mau menulis tentang pengalaman atau kisah hid...up orang lain, minta izinlah dulu kepada yang bersangkutan. ini untuk menghindari hal2 yg tidak mengenakkan di kemudian hari. tapi bisa saja izin ini tidak memungkinkan. misalnya kita ingin menulis ttg seorang ibu yg selalu kita temui di pasar setiap hari di tempat yg sama, pada jam yg sama, dan mengilhami kita menulis, mungkin sedikit mustahil kalau kita tiba2 mendekati dia dan langsung minta izin untuk menuliskan kisahnya.



tapi untuk data yg akurat ga ada salahnya kita lakukan pendekatan langsung, tanyakan nama, kisah hidupnya, lalu pelan2 kita tanyakan apakah dia keberatan kalau kita menulis kisah yang diambil dari pengalaman hidupnya.



intinya, sebaiknya untuk menulis ttg orang lain, agar aman mintalah izinnya terlebih dahulu, atau jika tidak, gunakanlah nama samaran untuk tokoh itu, tapi itu nanti jadi akan menjadi tokoh fiksi ya.. hehehehehehehe.. so, sebaiknya, memang kita tulis kisah kita sendiri. kalau kisah orang lain, kita eksplorasi lbh mendalam dulu org yg bersangkutan. biar ceritanya lebih kuat gitu lho..hehehehe..


13. Dwi El-Qatrunnada : Mbk lygia > uwi baru dalam dunia penulisan,, ide dan pengalaman itu selalu adaa, tapi nuangin dalam suatu cerpen itu sulit,, boleh tau rahasia menulisnya ??

Jawab : Dwi :



teori menulis itu ada 3 :


1. Menulis

2. Menulis

3. Menulis



Hehehehe, mengerti kan ? jadi untuk bisa menulis, kita harus rajin menulis apa saja. tidak dibatasi judul, sinopsi, outline, alur, penokohan. tuliskan saja dulu semua. apapun yang ingin kita tulis, maka tulislah. buat jadwal menulis setiap hari minimal setengah jam.. jangan lupa selalu perhatikan hal2 kecil di sekitar kita untuk mendapatkan ide2 segar.



ada satu pribahasa, "Alah bisa karena biasa" , Gitu ya kalau ga salah ? lama2 tulisan kita akan menjadi lebih enak, lebih lancar dan lebih mengalir kalau kita rajin mengasahnya setiap hari. Intan yang asalnya berupa batu biasa, akan terlihat kilaunya ketika kita asah terus menerus tak kenal bosan...


14. Ary Nur Azizah : apakah setiap penulis kisah chicken soup selalu harus menarik hikmah pada akhir kisahnya? seperti cerpen yagn selalu tuntas di akhirnya?

Jawab : Ary , seperti yang saya tulis di atas : "Pilihlah satu cerita sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. Satu cerita yang mungkin saja juga dialami oleh banyak orang lain di berbagai belahan dunia. Mungkin nanti cerita itu akan menggugah o...rang lain, mengingatkan orang lain, membawa hikmah atau sekedar hiburan bacaan ringan. "


Yang pasti, cerita itu haruslah tuntas sebagai sebuah cerita. Jangan menggantung dan bikin penasaran pembaca. Jangan sisakan pertanyaan2 di hati pembaca ketika mereka selesai membaca di akhir cerita. sebaiknya memang harus ada hikmah yang bisa dipetik dari tulisan itu, meski tidak harus dijelaskan secara eksplisit.


Misalnya : saya menulis kisah ttg ketika saya bercerai dengan suami. setelah semua keributan berakhir, saya menangis, dan saat itulah saya sadar, bahwa Tuhan itu luar biasa baik hati. Dia menguji kita dengan cara yang tak terduga dan ketika kita lulus ujian itu, ada banyak kebahagiaan yg menanti untuk dijemput oleh kita. bukankah itu juga hikmah ? bagi diri saya, kisah itu merupakan hikmah. mungkin kelak diantara sekian puluh juta orang ( halah, lebay banget ya..hihihi) yang membaca kisah itu, ada satu yang bilang, "aduuh... ceritanya gue bangeeet !"


15. Ida Fauziah : Kalo buku non Fiksi, apa boleh tiap sub cerita dibuat cara penulisan spt chicken soup? Maaf nanya lg ^_^.


Jawab : Ida : tentu bisa. asal sesuai dengan tema dan tujuan naskah itu dibuat. ....


16. Risahmawati Tholib : makasih mb Lygia Pecanduhujan :-) baru belajar niy...


Jawab : Risahmawati, Di IIDN sekarang banyak bertebaran kesempatan untuk mengikuti antologi2 keren. itu bisa dijadikan ajang latihan buat kita2 untuk makin mengasah kemampuan menulis. silahkan saja ikuti. Doakan semoga konsep proyek antologiku di Indscript yang ditujukan buat GPU nanti di acc, biar makin banyak kesempatan latihan buat semua anggota IIDN..


17. Sofi Bramasta : mbak saat ini saya lagi diajak teman nulis ttg pengalaman sebagai penulis dan TKW,ada bbrapa pertanyaan yang dia ajukan trs aku juga ada yang keberatan dipublish,misal yang aku keberatan itu diganti fiksi kira-kira gimana ya...hehehe,


Jawab : Sofi , kalau ada yg dirimu keberatan untuk ditulis ya jangan ditulis. tapi jangan sekali2 menggantinya dengan tulisan fiksi. karena nantinya jadi campur baur. tulislah apa adanya, gali pengalaman2 yg memang ingin dirimu bagi. tapi sebelumny...a kita mesti tanya hati kita dulu, kenapa kita keberatan dipublish ? kalau memang kisah itu bakal bisa bikin orang lain belajar, apa salahnya kita bagikan ? selama itu demi kebaikan lho ya..hehehe


18. Ida Fauziah Contoh kasus, sy ingin bikin cerita ttg perpisahan 7 tahun bersama suami krn suami tinggal di LN.


Jawab : Ida : bisa..... cerita itu bisa dijadikan novel based on true story, atau dijadikan kumpulan kisah2 inspiratif ttg suka duka istri yang terpaksa menjalani LDR krn suaminya tinggal di LN. setiap kisah nantinya harus berdiri sendiri, tiap bab... berbeda kisah, berbeda rasa. seperti menyajikan aneka makanan di atas meja, kita harus pandai meramunya supaya berbagai jenis makanan itu terlihat menarik dan punya rasa yang berbeda satu sama lain. Jangan sampai makanannya buanyaaak tapi rasanya sama aja. 5 jenis makanan, rendang daging, rendang ayam, gule bumbu rendang, telor rendang, sayur kuah dikasih bumbu rendang, dll.. xixixixi.. kok saya jadi lapaaaaaaaaaar ??

(Tulisan dari sahabatku : Lygia Nostalina)
Sebuah Episode Penantian Jodoh
author

Sebuah Episode Penantian Jodoh



*Sebuah Episode Penantian Jodoh*

Subhanallah..
Terimakasih buat dia yang telah menyuruh Evi membaca diskusi status Arvy berjumlah 124 komentar di sepertiga malam.
Suka bgt diskusinya yang panjang.
***
Evi nimbrung jawab ya, karena prinsipnya sama juga spt ukhti Arvy Rachma dalam proses penantian seorang pendamping hidup.

“Yang penting bisa jadi menjadi imam untuk saya dan anak2 saya kelak,” kata Arvy dalam statusnya.

Sebuah topik yang menarik untuk kita bahas, tapi saya tidak akan membahas mengenai bertanggungjawab dan ketaqwaan seperti dalam paparan dialog diskusi. Melainkan adalah inti jawaban dari perkataan ukhty Arvy dalam status.
***

Pada dasarnya, kita sebagai insan yang di ciptakan Allah ke muka bumi ini adalah dalam keadaan fitrah sebagai khalifah (pemimpin yang menjadi wakil Allah di bumi).

“Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi...” (QS. 2 : 30)

Bagi manusia, kepemimpinannya adalah aktivitas dari bentuk penghambaannya kepada Allah. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan kita sebagai wanita yang sholehah kelak akan menjadi seorang istri yang wajib taat pada perintahnya selama perintah itu tidak menyalahi perintah Allah.

Sebelum kita menggapai posisi sebagai suami dan istri, kita terlebih dahulu harus meluruskan niat kita, tentunya niat menikah. Di sinilah makna terpenting dalam mencari seorang imam, seorang suami bagi kita―kaum wanita.

Bukan dengan siapa kita menikah, karena Allah tidak memperhatikan penampilan, kekayaan, pekerjaan, keahlian atau keturunan kita. Melainkan niat kita menikah adalah karena apa? Tentu saja menikah karena Allah Ta’ala. Jika ikhtiar sudah kuat, kokoh dan yakin maka percayalah sahabatku, Allah akan memperpendek proses penantian sehingga tidak sampai terlalu lama menunggu. Namun jika niat kita menikah bukan karena apa, tapi dengan siapa, biasanya jodoh itu pun akan lambat datangnya.

Tapi kalau niat kita belum siap, sebaiknya jangan pula bersedih, persiapkan diri kita sebaik mungkin karena yakinlah Allah akan berikan yang terbaik untuk kita. Begitu juga jika jodoh kita tak sampai, jangan pula putus asa sehingga tidak ingin menikah atau berbuat yang aneh-aneh, salah satunya bunuh diri karena sesungguhnya pernikahan itu indah, pernikahan itu nikmat yang seharusnya disyukuri, nikmat halal yang bernilai ibadah dan cara mensyukurinya adalah dengan semangatkan diri untuk berdakwah.

Makna kata ‘imam’ di atas bukan juga diartikan menikah karena modal cinta semata atau pasrah dalam memilih jodoh karena cinta sesungguhnya dapat kita buktikan setelah kita menikah, itulah cinta yang hakiki, yang tulus dari sepasang insan. Maka pilihlah pasangan yang mengantarkan kita untuk lebih dekat kepada Allah swt. Pilihlah laki-laki muslim sejati, ini juga berlaku untuk perempuan muslim sejati. Karena muslim sejati merupakan bntuk komitmen kita kepada Islam. Bagaimana mengislamkan aqidah kita, mengislamkan akhlak kita, mengislamkan ibadah kita, mengislamkan keluarga dan rumah tangga kita, mengalahkan nafsu kita, dan berusaha juga mengislamisasikan ilmu kita agar kita tidak terpengaruh terhadap pemikiran budaya barat seperti liberalism.

Oleh sebab itu, kunci terpenting ketika kita dalam masa penantian, mencari seorang pendamping hidup yang akan menjadi imam kita kelak ataupun yang akan menjadi makmum kita kelak adalah niat awal kita menikah. luruskanlah niat itu maka pernikahan yang sakinah dan harmonis penuh kemesraan akan kita peroleh. Semua terbingkai dalam cinta berbalut dakwah. Subhanallah...
• Menikah sebaiknya jangan karena harta semata karena bila harta habis maka cintanya pun akan habis
• Menikah sebaiknya bukan karena asmara yang tergila-gila karena asmara itu buta dan tidak bertahan lama serta tidak tahan uji
• Menikah bukan hanya karena kecantikan
Kecantikan di luar memang indah tapi akan luntur termakan usia
• Menikah bukan karena iba
Dasar pernikahan adalah kasih bukan kasihan karena apabila kehidupannya sudah bahagia dan tidak bersedih lagi makarasanya akan semakin pudar. Cintailah dgn tulus
• Menikah bukan hanya karena kebutuhan biolgis semata
Kebutuhan biologis adalah salah satu bagian dari pernikahan. Jika dalam pernikahan terdapat kebutuhan biologis yang tidak sesuai harapan, apakah engkau akan meninggalkannya?
• Menikah bukan karena paksaan orangtua
Pernikahan karena paksaan orangtua akan menimbulkan banyak perkara. Kita sebagai anak harus berbakti pada orangtua tapi bukan pasrah begitu saja. Harus ada komunikasi antara kedua belah pihak.
• Menikah karena Allah, membentuk rumah tangga Islami
Rumah tangga islami yaitu rumah tangga yang didirikan atas landasan ibadah dan menjadi teladan, panutan dan dambaan umat

Sahabatku yang kucintai karena Allah, saat kita memilih pendamping hidup maka lakukanlah dengan niat yang benar jika kebaikan yang ingin kita dapatkan saat berumah tangga. Bukankah kita mengharapkan lahirnya generasi Rabbani, generasi Qur’ani, generasi cerdas dan berakhlak mulia. Maka marilah luruskan niat, perbaiki diri menjadi lebih baik dan berdo’alah semoga penantian jodoh kita berujung ketika kita masih di dunia.

Semoga apa yang evi sampaikan buat sahabat semua bermanfaat. Jikalau ada kesalahan dalam pengucapan ataupun tulisan dari Evi mohon di maafkan ya sahabatku. uhibbukum fillah.

Sangat senang sekali apabila sahabat dapat berbagi ilmu dan berdiskusi

Wassalamu’alaykum warahmatullah wabarakatuh
~Evi A.~
Medan, 4 Juni 2011
http://eviandrianimosy.blogspot.com/
Puisi Pengantar Tidurku
author

Puisi Pengantar Tidurku



*Menunggu dalam penantian*

Malam ini telah kunanti hadirnya memikat
Setelah lelah bekerja penat
Kusapa ia penuh mesra melekat
Kumulai diskusi yang hangat
Hingga lelap mengantarku tuk istirahat

####

*Lama Menunggu Diskusi*

Dirimu terlalu senang dalam kebisuan
Menantimu selalu penuh kesabaran
Menunggumu butuh keikhlasan
Aku terdiam dalam heningnya malam

###

*Semakin Akrab*

Kusapa dirimu dalam dimensi lain
Menjalin silaturrahim dalam ukhuwah batin
Melenturkan sendi-sendi yang lelah beraktivitas rutin
Menuju peraduan penuh keakraban

###

*Istirahat*

Syair-syair indah mengiringi tuk berpisah
Menanti esok hari penuh berkah
Seiring mekarnya bunga yang merekah
Ditaman keikhlasan penuh canda & tawa yang membuncah

(Saatnya tidur. Met pagi teman-teman Syaque.. kangen... menyapa)

Medan, 2/6/2011
~Evi A~
Tersenyumlah! Karena Allah bersama Kita ...
author

Tersenyumlah! Karena Allah bersama Kita ...



Bismillahirrohmanirrohiim.

Assalamu’alaikum ikhwah fillah …

Pagi ini, kita akan sedikit berdiskusi tentang Hidup. Hidup yang terkadang tidak seperti apa yang kita inginkan. Ketika mimpi mimpi kita, tak seperti yang Allah kehendaki untuk kita. Jika memang faktanya seperti itu, maka saya katakan,“ Sebaiknya, kita memang harus pandai-pandai berdamai dengan takdir.”


Ingat kawan ! Jangan salah artikan “berdamai dengan takdir” sebagai sebuah bentuk kepasrahan total, tanpa upaya sedikitpun.“Berdamai dengan takdir” adalah menerima dengan lapang dada, dengan keikhlasan terbaik , setiap apa yang Allah berikan, setelah kita habis-habisan berjuang. Tentunya, hal ini kita lakukan karena kita sadar sepenuhnya, bahwa Allah Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk kehidupan kita, baik kehidupan dunia terlebih lagi akhirat.


Islam mengajarkan kepada kita untuk ikhtiar. Tetangga sebelah sering menyebut ikhtiar dengan sebuah istilah yang menggelitik, “ memeras Keringat, Membanting Tulang.” Ini sebuah ungkapan sederhana yang sarat makna. Dan memang seperti itulah ikhtiar, kita lakukan sesuatu, apa yang kita ingini, dengan kemampuan terbaik yang kita miliki. Bukan ragu-ragu, bukan setengah jadi, melainkan TOTALITAS. Ini pula yang disebut dengan “ Profesional” oleh mereka yang berbaju rapi dan berjas setiap hari, Kaum kantoran. Sedangkan kalangan menengah sering menyebutnya dengan KERJA KERAS.


Sahabat sekalian, Allah adalah pencipta kita. Ia pasti Maha Tahu tentang seluk beluk kehidupan kita. Begitupun, dengan apa yang terbaik untuk kita. Oleh karenanya, yang pertama kali harus kita lakukan ketika “INGIN” kita tak bersesuaian dengan “Apa yang kita terima”, maka yang harus dilakukan adalah SADAR. Menyadari dengan sebenar-benarnya, bahwa hal itu bukanlah yang terbaik untuk diri dan kehidupan kita. Walaupun, kita sangat menginginkannya. Maha benar Allah dengan apa yang difirmankanNya dalam Surat Al Baqoroh ayat 216 : Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.


Konteks ayat ini memang sangat terkait dengan Perang di Jalan Allah. Melawan kafirin, munafiqin dengan seluruh mampu, dengan semua yang kita miliki sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah, sebagai bentuk kepatuhan seutuhnya kepada Sang maha Pencipta. Siapapun, tidak menyukai peperangan, begitupun kaum mukminin kala itu. Karena Damai itu Indah. Namun, ketika kita diperangi, ketika harga diri kita diinjak – injak, ketika martabat kita tidak dihiraukan, dan mereka nyata-nyata memerangi Kita, maka kitapun harus “MEMERANGI” mereka, meskipun kita tidak menyukai peperangan itu.


Begitupun, ketika Kita menginginkan sesuatu yang menurut kita baik, kemudian sesuatu itu terlepas, yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa sesuatu itu BUKAN yang terbaik untuk kita. Sembari terus berharap dan berusaha agar Allah memberikan ganti yang Terbaik, entah di dunia ini ataupun di akhirat kelak.



Persoalan yang timbul kemudian adalah , Susahnya Menyadari. Terkadang, teori memang mudah. Praktek tentulah tak semudah teori. Namun, tak ada salahnya kita megingat-ingat teori tersebut untuk kemudian mempraktekannya. “ Susah?”, “Iya.” Tapi susah bukan berarti TIDAK MUNGKIN. Ketika kita mencoba, Insya Allah kita Bisa, meskipun susah.


Sadar tentunya bukan akhir. Ia adalah awal yang kelak mempengaruhi langkah kita berikutnya. Ketika kesadaran akan kuasa Allah itu mendominasi,maka yang berikutnya harus kita lakukan adalah Instropeksi. Boleh jadi, yang menimpa kita sekarang adalah akibat dari dosa masa lalu kita. Disadari ataupun tidak. Oleh karenanya, instropeksi ini harus kita lakukan secara intens, terus menerus, dengan iringan istighfar tiada henti. Kelak, Allah akan menurunkan rahmatNya. Sehingga hati yang awalnya sempit, kelak menjadi lapang. Yang awalnya gelap, kelak berangsur terang. Yakinlah! Karena Allah maha Pengampun dan Pengabul Doa.


Instropeksi yang berlarut, bisa terjatuh pada meratapi nasib. Ini yang salah. Instropeksi haruslah berujung pada kesimpulan : Esok harus lebih baik. Ini yang terpenting. Maka, setelah instropeksi, kita harus menatap tegar ke depan. Karena jalan sukses bukanlah “Jalan itu” saja. Banyak jalan yang menanti untuk kita lewati. Bukalah mata, telinga dan hati. Ikuti bisikan nurani yang bersih dan kemudian melangkahlah, Dekati Allah agar Ia senantiasa membimbing kita. Agar Ia senantiasa meluruskan langkah-langkah bengkok kita. Agar Ia bisa kita rasakan keberadaannya, meskipun, kita merasa sendiri. Karena Ia, Selalu bersama Kita. Innalaha Ma’anaa


Banyak cara yang kemudian bisa kita lakukan dalam tahap ini. Yang termudah setelah Istighfar habis-habisan, adalah Tilawah Qur’an. Bacalah Qur’an dari mana saja kita kehendaki. Dari poermulaan, pertengahan, atau surat terntentu yang memang ingin kita Tadaburi. Ambil Wudhu, cari moment yang tepat, sendirian. Eh maaf, BERDUA SAJA, Dengan Allah. Jadikan Ia dekat, sedekat janjinya, “ Faida sa’alaka ‘Ibadii ‘Anni.“ “Ketika hambaku bertanya dimanakah Aku?” demikian firman Allah dalam Surat Al Baqoroh. Maka jawablah, “Fainni Qoriib.” “ Sesungguhnya Aku ( Allah ) itu Dekat.” Ya sobat! Allah itu dekat. Tapi kita yang sering menjauh dariNya.


Demi Allah sobat, Al Qur’an akan memberikan jawaban dari setiap gundah. Dari setiap tanya kita yang tidak berujung. Ia akan membimbing kita, meskipun kita tidak tahu artinya. Ia benar-benar akan menjadi sahabat karib kita, ketika kita benar – benar mengakrabinya. Permasalah yang timbul kemudian adalah, “ Jangankan Akrab. Menyentuhnya saja jarang.” Naudzubillahi mindzalik.



Jangan pula Qur’an sekedar menjadi Bacaan. Jadikan ia pedoman. Ketika apa yang kita “INGINI” tidak Allah berikan, cobalah tadaburi surat Ibrohim dan surat An nahl. Di Surat Ibrohim ayat 34 disebutkan : Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). Kemudian An Nahl ayat 16 Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shodaqollahul ‘adhiim. Maha benar Allah dengan segala firmanNya.

Dua ayat tersebut cukuplah jadi perenungan kita. Karena seringkali kita lupa ketika nikmat itu kita dapatkan, dan kita Selalu “Menggugat” manakala apa yang kita “INGINI” tidak terjadi. Padahal, yang kita ingini, tidak selalu baik untuk kehidupan kita.


Sobat, mari rekonstruksi pemikiran kita. Biarlah kemarin kita terjatuh. Karena memang allah menghendaki kita segera bangkit dan bergerak. Biarlah kemarin kita lelah, karena Allah Allah ingin agar kita menyejarah. Biarlah kaki ini perih, karena Allah ingin agar kita lebih GIGIH lagi dalam mendekatiNya. Karena Allah, hanya menghendaki kebaikan untuk kIta. Bukan sebaliknya.


Sebuah penutup, semoga membuat kita kembali tersadar, bahwa NIkmat Allah sungguh luas membentang. Maka, tak pantas kiranya jika hanya karena satu nikmat yang terlepas, kita berubah menjadi Pembangkang. Allah kembali mengingatkan , Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” ( Qs Ibrohim 14 : 7 )


Mari, Merayakan Syukur. Subhanallahi walhamdulillahi wa Laa Ilaha Illalllahu Wallahu Akbar Walillahil Hamd !!!

Semoga Allah melimpah ruahkan berkahNya, untuk kita semua.

Di siang penuh berkah, Jum’at 17 Jumadil Tsani 1432H / 20 Mei 2011.

(Kiriman dari adekku, Usman Alfarisi)
author

KEUTAMAAN ILMU DAN AHLI ILMU DI DALAM ISLAM

Rasanya tak habis-habisnya kita mesti bersyukur kepada Allah, karena dari limpahan rahmat dan karuniaNya, hingga kini kita tetap tegar menjaga keimanan kita sebagai tingkat nikmat yang paling tinggi. Sanjungan shalawat kita sampaikan kepada junjungan kita Rasulullah SAW, yang mana telah berjasa menyampaikan kebenaran kepada kita semua.

Ilmu, telah menjadi simbol kemajuan dan kejayaan suatu bangsa. Islam merupakan agama yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu.

Ayat pertama yang diturunkan Allah adalah Surat Al-‘Alaq, di dalam ayat itu Allah memerintahan kita untuk membaca dan belajar. Allah mengajarkan kita dengan qalam – yang sering kita artikan dengan pena.

Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam.

Dalam surat Al-‘Alaq, Allah Swt memerintahkan kita untuk menuntut ilmu. Setelah itu kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut.

Dalam ajaran Islam, baik dalam ayat Qur’an maupun hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan sifat Allah Swt adalah Dia memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seorang penyair besar Islam mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan dalam hal ilmu pengetahuan. Orang yang tinggi di hadapan Allah Swt adalah mereka yang berilmu.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatian dan penekanannya pada kewajiban menuntut ilmu sedetail nabi Muhammad Saw.

Maka bukan hal yang asing jika waktu itu kita mendengar bahwa Islam memegang peranan yang penting dalam peradaban ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan didominasi oleh Islam yang dibangun oleh para ilmuwan Islam pada zaman itu yang berawal dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara lainnya. Itulah zaman yang kita kenal dengan zaman keemasan Islam, walaupun setelah itu Islam mengalami kemunduran. Di zaman itu, di mana negara-negara di Eropa belum ada yang membangun perguruan tinggi, negara-negara Islam telah banyak membangun pusat-pusat studi pengetahun. Tugas kita sekarang adalah mengembalikan masa kejayaan Islam melalui ilmu pengetahuan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengumpulkan keutamaan ilmu ini dalam 13 point:

Bahwa ilmu dien adalah warisan para nabi Shallallaahu alaihi wa Salam, warisan yang paling mulia dan berharga. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى النُّجُوْمِ. اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، وَاْلأَنْبِيَاءُ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَاًرا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ. الترمذي).

“Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR. Tirmidzi).

Ilmu itu tetap akan kekal sekalipun pemiliknya telah mati, berbeda dengan harta. Karena harta yang jadi rebutan manusia itu pasti akan sirna. Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:

صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ.

“Jika manusia mati terputuslah amalnya kecuali tiga: shadaqah jariyah, atau ilmu yang dia amalkan atau anak shalih yang mendoakannya.”

Ilmu, sebanyak apapun tak menyusahkan pemiliknya untuk menyimpan, tak perlu gedung yang tinggi dan besar untuk meletakkannya. Cukup disimpan dalam dada dan kepalanya, bahkan ilmu itu yang akan menjaga pemiliknya sehingga memberi rasa nyaman dan aman, lain halnya dengan harta yang semakin bertumpuk, semakin susah pula untuk mencari tempat menyimpannya, belum lagi harus menjaganya dengan susah payah bahkan bisa menggelisahkan pemiliknya.
Ilmu, bisa menghantarkan pemiliknya menjadi saksi atas kebenaran dan keesaan Allah. Sedang pemilik harta? Harta sama sekali takkan menghantarkan pemiliknya sampai ke derajat sana.
Para Ahli ilmu agama termasuk golongan petinggi kehidupan yang Allah perintahkan supaya orang mentaatinya, tentunya selama tidak menganjurkan durhaka kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana firmanNya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa: 59).
Para ulama, mereka itulah yang tetap tegar dalam mewujudkan syariat Allah hingga datangnya hari kiamat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ هُوَ الْمُعْطِيْ وَلاَ تَزَالُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ.

“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Allah akan fahamkan dia dalam (masalah) agama. Aku adalah Al-Qasim (yang membagi) sedang Allah Azza wa Jalla adalah yang Maha Memberi. Umat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang putusan Allah.” (HR. Al-Bukhari).

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menggambarkan para pemilik ilmu dengan lembah yang bisa menampung air yang bermanfaat terhadap alam sekitar, beliau bersabda, yang artinya:
Perumpamaan dari petunjuk ilmu yang aku diutus dengannya bagaikan hujan yang menimpa tanah, sebagian di antaranya ada yang baik (subur) yang mampu menampung air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak, di antaranya lagi ada sebagian tanah keras yang (mampu) menahan air yang dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia untuk minuman, mengairi tanaman dan bercocok tanam. Dan sebagian menimpa tanah tandus kering yang gersang, tidak bisa menahan air yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

Orang yang memahami agama Allah dan memanfaatkan apa yang aku bawa, maka dia mempelajari dan mengajarkannya. Sedangkan orang yang tidak (tidak memperhatikan ilmu) itu (maka) dia tidak mendapatkan petunjuk Allah (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ilmu adalah jalan menuju Surga, tiada jalan pintas menuju Surga kecuali ilmu. Sabdanya:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim).

Ilmu merupakan pertanda kebaikan seorang hamba. Tidaklah akan menjadi baik melainkan orang yang berilmu, sekalipun bukan jaminan mutlak orang yang (mengaku) berilmu mesti baik.
Sabda beliau Shallallaahu alaihi wa Salam :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan, Allah akan pahamkan dia (masalah) dien.” (Al-Bukhari).

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah.
Orang ‘alim (berilmu) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya.
Allah akan mengangkat derajat Ahli Ilmu (orang alim) di dunia dan akhirat. Di dunia Allah angkat derajatnya di tengah-tengah umat manusia sesuai dengan tingkat amal yang dia tegakkan. Dan di akhirat akan Allah angkat derajat mereka di Surga sesuai dengan derajat ilmu yang telah diamalkan dan diajarkannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam surat Mujadilah: 11 telah berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Kesimpulannya adalah:

Bahwa problem yang terbesar di kalangan umat ini adalah al-jahl biddien, bodoh tentang agamanya.
Tidak akan terangkat derajat umat ini menuju sebuah kejayaan kecuali harus bangkit dan menggali ilmu agama secara benar.
Ilmu agama yang akan membawa kejayaan adalah ilmu yang diamalkan dari sumber yang benar pula, bila tidak justru akan membawa kepada kehancuran dan laknat Allah.

Karena itulah mari kita gali ilmu agama secara benar dari sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah melalui pemahaman para Salafus-Shalih yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum serta para pengikutnya hingga hari akhir.

(Kiriman dari sahabat FB : akhi Hery Al-kusyairi)