My Sweet Home
author

Tugas Perancangan Jaringan Komputer

Soal Kasus Permasalahan :

Ada sebuah server dan tujuh user. Bagaimana server melayani permintaan user dan menanganinya? Misalnya, user membuka detik.com. Tiap user akan membuka website itu. Dari banyak content yang di buka, bagaimana server menanganinya. Akan ada content yang terbuka dan tidak terbuka.
Penyelesaian :

Cara 1
Server akan merespon masing-masing user menggunakan ip addressnya user masing-masing. Sehingga bisa tahu bahwa ini content untuk user A, ini content untuk user B dan seterusnya. Setiap IP address mempunyai port number. Misalnya 10.10.10.1.port number. Masing-masing user memiliki port number yang berbeda-beda. Jadi server mengenali user via port number itu.
Contoh : Dua buah komputer menggunakan protokol TCP/IP. Masing-masing komputer mendapat IP Address 10.1.1.1 (komputer A) dan 10.1.1.1.2 (komputer B). Misal, pengguna komputer A hendak mengirim file ke pengguna komputer B. Yang dilakukan oleh pengguna adalah mencari aplikasi FTP, mengetikkan alamat komputer B, yaitu 10.1.1.2, lalu menekan tombol ENTER untuk memulai koneksi. Komputer saling berkomunikasi menggunakan alamat hardware (MAC Address) yang dimiliki oleh Ethernet. Untuk mengatasi hal itu maka perlu dilakukan konversi antara IP address menjadi MAC address. Di sinilah peranan protokol ARP. protokol ini digunakan untuk menemukan MAC address yang berasal dari komputer dengan IP Address terterntu. Mula-mula komputer A melihat table ARP (ARP chace) miliknya dan mencoba menemukan MAC address komputer B. Jika tidak ditemukan, maka komputer A mengirim pesan ke alamat broadcast untuk menanyakan setiap komputer pada network.

Isi pesan sebagai berikut, “Siapa yang memiliki IP address 10.1.1.2 dimohon untuk memberikan MAC address-nya kepada komputer dengan IP address 10.1.1.1. Komputer B mendengarkan pesan ini dan kemudian memberikan MAC address-nya ke komputer A. Komputer A menyimpan informasi MAC address komputer B di table ARP. Sehingga suatu saat nanti diperlukan lagi masih bisa dibaca kembali. Setelah itu, barulah data ditransfer.

Kalau pada TCP, metode koneksi menerapkan connection oriented protocol (reliable networking) yaitu virtual circuit (3-way-handshake), Acknowledgments, sequencing, flow control. Di dini mekanisme pendeteksian kerusakan atau kehilangan paket data dilakukan dengan memanfaatkan ACK (acknowledge). Setiap segmen yang dikirim akan di-ACK oleh komputer penerima dengan cara mengirim segmen ACK ke komputer pengirim.

Cara 2
Apa yang user ketik ada di layer 7 (informasi berawal dari layer application), lalu turun ke layer 6, turun ke layer 5, turun ke layer 4 dan di layer 4 itu akan terjadi pelabelan data ke tujuan. Data mengalami transformasi ke bentuk lain yaitu segment. Kemudian turun ke layer 3. Segment yang mengalir ke layer Network dan kemudian diubah menajdi packet (kadang disebut datagram). Di sini label dikasih IP. Lalu turun ke layer 2, dan ditambahi MAC Address. Packet yang mengalir ke layer datalink dan kemudian diubah menjadi frame. Setelah itu turun ke layer 1. Frame mengalir ke layer physical dan kemudian menjadi bit-bit. Bit-bit diubah menjadi besaran fisik seperti arus listrik, gelombang elektromagnetik, dsb. Proses perubahan bentuk dari satu layer ke layer berikutnya dilakukan dengan emanmbahkan header khusus. Inilah yang disebut dengan encapsulation (enkapsulasi). proses enkapsulasi terjadi berulang-ulang hingga data diubah menjadi bit-bit. Kemudian dikirim masuk ke router/switch. lalu di sini di rekam data IP dan MAC Address. Setelah itu dilemparkan ke gatewaynya. Jika network itu memakai NAT maka yang akan dikirim IP NAT-nya. Tapi begitu terus sampai ke server yang di tuju. Request yang diterima oleh server dilempar balik dengan memakai IP router gateway-nya. Ketika sudah diterima oleh rouer gate, di cek IP dan MAC Address mana yang request. Setelah itu, baru diteruskan balik kepada yang request.

Keterangan :
OSI layer ini terdiri dari 7 lapisan, dimana setiap-setiap lapisan mempunyai peran masing-masing dalam membangun arsitektur jaringan. Ketujuh lapisan itu yaitu:

1. Lapisan Fisik (Physical Layer)
Lapisan ini berfungsi menentukan masalah kelistrikan/gelombang/medan dan berbagai prosedur/fungsi yang berkaitan dengan link fisik, seperti besar tegangan/arus listrik, panjang maksimal media transmisi, pergantian fasa, jenis kabel dan konektor. Contoh protoko : RS-232, V.35, I.430, I.431, DSL, SONET, T1, E1, 10BASE-T, 100BASE-TX, 802.11 a/b/g/n PHY, hub, repeater, fibre optic.

2. Lapisan Data Link (Data Link Layer)

Lapisan ini berfungsi menentukan pengalamaan fisik (hardware address), error notification (pendeteksi error), frame flow control (kendali aliran frame), dan topologi network. Ada dua sublayer pada data link yaitu Logical Link Control (LLC) dan Media Access (MAC). LLC mengatur komunikasi seperti error notification dan flow control, sedangkan MAC mengatur pengalamatan fisik yang digunakan dalam proses komunikasi antar-adapter. Contoh protokol : 802.3 (Ethernet), 802.11a/b/g/n MAC/LLC,802.1Q (VLAN), ATM, CDP, HDP, FDDI, Fibre Channel, Frame relay, SDLC, HDLC, ISL, PPP, Token Ring.

3. Lapisan Network (Network Layer)

Lapisan ini berfungsi menentukan rute yang dilalui oleh data. Lapisan ini menyediakan logical addressing (pengalamatan logika) dan path determination (penetuan rute tujuan). Contoh protokol : IPX, IP, ICMP, IPsec, ARP, RIP, IGRP, BGP, OSPF, NBF, Q.931

4. Lapisan Transport (Transport layer)
Lapisan Transport menyediakan end-to-end communication protocol. Layer ini bertanggung jawab terhadap “keselamatan data” dan “segmentasi data”, seperti mengatur flow control (kendali aliran data), error detection (deteksi eror) dan correction (koreksi), data sequencing (urutan data), dan size of the packet (ukuran paket). Contoh protokol : TCP, SPX, UDP, SCTP, IPX.
Lapisan ini bekerja pada protokol TCP/UDP, bertugas untuk mengubah frame data menjadi beberapa paket data yang kemudian dikirimkan ke alamat tujuan dan menjamin data sampai ke tempat tujuan, kecuali untuk UDP karena transport data yang dilakukan tidak connection oriented (menjamin data sampai ke tempat tujuan), melainkan connectionless (tidak menjamin data sampai ke tempat tujuan)

5. Lapisan Session (Session Layer)
Lapisan ini bertugas untuk menjaga kedua koneksi yang saling terhubung, Lapisan ini berfungsi mengatur sesi (session) yang meliputi establishing (memulai sesi), maintaining (mempertahankan sesi), dan terminating (mengakhiri sesi) antar entitas yang dimiliki oleh presentation layer. Contoh protokol : SQL, X Window, Named Pipes (DNS), NetBIOS, RPC, NFS, ZIP, dll

6. Lapisan Presentasi (Presentation Layer)
Lapisan ini berfungsi mengatur konversi dan translasi berbagai format data, seperti konpresi data dan enkripsi data. Contoh protokol : TDI, ASCII, MIDI, MPEG, ASCII7.

7. Lapisan Aplikasi (Application Layer)


Lapisan ini berfungsi menyediakan servis bagi berbagai aplikasi network. Contoh protokol : NNTP, HL7, Modbus, SIP, SSI, DHCP, FTP, HTTP, NTP, RTP, SMPP, SMTP, SNMP, Telnet.
Lapisan ini bertugas untuk menyampaikan informasi dari jaringan kepada user lewat aplikasi yang ada, seperti browser, email, dll. Dan sebagai interface anatara pengguna dengan aplikasi.

Cara 3
Secara prinsip server cuma sebagai gudang. Misalnya user buka detik.com dan membuka tab pertama, kemudian tab ke dua maka komputer user akan me-request sejumlah data dari server. Selain itu user juga buka tab kedua secara berbarengan. Akan request tab kedua akan diminta oleh komputer user. Semakin banyak tab yang kita buka akan semakin banyak request data yang diperlukan. Itu sebabnya semakin banyak tab yang dibuka akan terasa lamban. Misalnya pada saat yang sama user lain buka tab kedua dan ketiga. Maka server akan memberikan data tab pertama dan kedua ke user pertama dan data tab kedua serta ketiga ke user ke dua. Server hanya bisa mengenali bila ada sistem hak akses, seperti username. Dan server hanya akan mencocokan data yang diminta apakah boleh diakses sesuai dengan usernamenya. jadi cara server mengenalinya dengan cara login username.

oleh : Evi Andriani (mahasiswi magister teknik elektro USU)
author

Pendidikan Karakter, Mau Kemana?

Sejak pertam kali dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada peringatan hari pendidikan Nasional pada 2010 lalu, model pendidikan karakter marak dipraktikkan di sekolah-sekolah. Lantas, seperti apa efektifitas aplikasi pendidikan karakter tersebut?



KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo, dalam wawancara dengan majalah Gontor (Juli 2011) berpendapat, bahwa pendidikan karakter itu sangat efektif di dalam pesantren. Karena di pesantrenlah pendidikan integral tercipta.



Dalam pandangan Kyai Sukri, pendidikan integral itu menciptakan orang yang berakter. Karakter dibangun bukan sekedar dengan pembelajaran, akan tetapi juga pengajaran, pelatihan, pembiasaan, dan pembinaan. Di sini artinya, pendidikan agama dan moralitas diintegrasikan.



Usulan model pesantren, sebagai basis pendidikan karakter patut direspon. Sebab selama ini harus diakui bahwa arah pendidikan karakter di Indonesia belum jelas. Model pendidikan karakter apa yang akan diaplikasikan Pendidikan Nasional. Standar apa yang digunakan untuk menentukan karakter itu baik dan tidak baik, tampaknya Depdiknas belum memiliki acuan yang jelas.



Jika karakter yang dimaksud adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara, juga masih umum. Bisa ditafsirkan apa saja. Belum menunjukkan suatu karakter manusia ideal, setidaknya untuk bangsa Indonesia yang religius.



Paham Humanisme

Pemahaman umum yang diyakini kebanyakan pendidik, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Definisi ini masih belum menjelaskan di mana peran pendidikan agamanya.



Selama ini pendidikan karakter yang akan dan sedang diaplikasikan di sekolah umumnya mengacu kepada konsep yang ditulis oleh Doni Kusuma. Doni kusuma menyatakan bahwa konsep pendidikan karakter yang ia usung minus pendidikan agama.



Doni Kusuma, yang mengenyam pendidikan di jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma, Italia tersebut ternyata mengadopsi pendidikan karakter model pedagog asal, Jerman F.W.Foerster.



Tujuan pendidikan, menurut Foerster, adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya.



Diakui Doni bahwa pendidikan ala Foerster tersebut memang bukanlah pendidikan agama. Memang, pemikiran tersebut tidak menunjukkan peran norma agama dalam pembentukan karakter. Jika seperti itu maka artinya, tanpa agama pun bisa saja orang jadi berkarakter baik.



Dengan demikian, maka model pendidikan seperti itu bermuatan humanisme. Humanisme merupakan ideologi sekular yang pernah dipopulerkan oleh Protagoras, filsuf Yunani kuno. Ideologi ini meyakini bahwa setiap manusia adalah standar dan ukuran segala sesuatu.



Ideologi ini sekular sebab menafikan agama sebagai standar tertinggi dalam menilai setiap aspek kehidupan. Para pengusung paham ini meyakini bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu digali dari manusia itu sendiri bukan dari doktrin agama.



Jika mengacu kepada konsep tersebut, seorang ateis pun bisa dikatakan berkarakter baik. Sebab tidak bersyarakat harus bertuhan apalagi bertauhid. Inilah yang disebut pragmatisme konsep pendidikan.



Kebaikan itu hanya dinilai pada satu sisi saja, sedangkan sisi lain yang lebih esensial justru dibuang. Karakter yang baik itu bukan sekedar berdisiplin, tidak korup, jujur dan lain sebagainya. Seorang ateispun bisa memiliki karakter-karakter tersebut.



Doni rupanya terlalu silau dengan keberhasilan dan kemajuan Barat. Barat maju karena disiplin dan tidak korup. Tapi ia tidak melihat sisi lain, yaitu nilai sekularismenya. Konsep Foerster tersebut konsep pendidikan karakter yang bebas nilai (free value).



Karakter yang bebas nilai itu lah yang berbahaya. Tidak ada nilai-nilai ketauhidan. Seorang yang jujur, tidak korup dan berdisiplin tapi tidak percaya Tuhan tetap saja ia dinilai manusia maju dan berkarater. Dalam pandangan Foerster, spiritualitas itu dapat dicapai tanpa taat beragama.



Di sinilah kerancuannya, bagaiman mungkin Negara Indonesia yang berpenduduk masyoritas muslim dan dikenal sebagai masyarakat religius dikenalkan pendidikan karakter yang sekular tersebut.



Jika karakter model Foerster yang dipakai, maka pendidikan kita bisa saja mencetak individu-individu cerdas, unggul dan berprestasi, akan tetapi berpaham sekular-pluralis.



Pendidikan Beradab

Maka seyogyanya pemerintah tidak malu-malu mengadopsi pendidikan karakter ala pesantren. Konsepnya jelas dan penerapannya telah dipraktikkan ratusan tahun yang lalu.



Di pesantren, apalagi pesantren yang menerpakan pendidikan integral, dikenalkan konsep adab. Dalam konsep adab, pertama-tama yang dibentuk adalah siswa yang berkarakter tauhid. Ini adalah elemen yang paling mendasar.



Siswa diajari bagaimana mengenal Sang Pencipta, bersyukur dan cara beribadah yang benar sesuai yang diperintah Allah. Karakter ini pun tidak serta merta berarti tidak humanis atau anti-sosial.Justru dengan karakter tauhid itu, adab kepada masyarakat, kepada sesama terbentuk. Tauhid adalah landasannya. Karakter tauhidi dikenlkan bersosialisasi, berorganisasi dan bertoleransi.



Pembentukan karakter di pesantren benar-benar serius. Sebab dilakukan selama dua puluh empat jam. Menurut KH Abdullah Syukri yang dicapai dari pendidikan karakter di pesantren itu adalah orang-orang yang berkarakter kuat, yang tidak cengeng dalam menjalani hidup, dan siap untuk menjalankan kehidupan.



Sebab pada hakikatnya kehidupan itu adalah dari Allah dan untuk Allah, maka seorang siswa itu haru siap dengan segala konsekuensi kehidupan. Maka disinilah peran integralisasi pendidikan tidak bisa diabaikan. Seorang siswa cakap dalam ilmu umum sekaligus fasih mengamalkan ajaran agama.



Tujuannya memang membentuk manusia beradab. Seorang beradab pasti berkarakter baik. Sebab ia mengamalkan adab dalam setiap aspek kehidupan dan keilmuan. Setiap ilmu baik itu ilmu sosial atau eksakta dimasuki konsep adab, agar kelak ia menjadi ilmuan yang beradab, ulama yang intelektual bukan intelektual yang tahu tentang agama.

Oleh : Kholili Hasib


http://www.hidayatullah.com/read/18004/15/07/2011/pendidikan-karakter,-mau-kemana?.html

Jum'at, 15 Juli 2011

(kiriman dari sahabatku : akhi kholili)
Tradisi Hafalan dalam Kemajuan Peradaban Islam
author

Tradisi Hafalan dalam Kemajuan Peradaban Islam


DALAM khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasul saw. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan (QS. al-Nahl: 44). Demikian halnya dengan hafalan Al-Hadits. Jadi, tehnik hafalan dalam menuntut ilmu selalu diawali dengan pemahaman.
Dari interaksi dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut, kemudian berkembanglah aktivitas intelektual di kalangan umat Islam.

Demikian pula, aktivitas tersebut melahirkan konsep utuh pandangan hidup Islam, epistemologi dan ilmu-ilmu Keislaman. Jika demikian halnya, tuduhan orang-orang liberal bahwa tehnik hafalan dalam proses menuntut ilmu hanya melemahkan kreatifitas umat Islam bukan hanya tidak tepat, tetapi juga mengaburkan signifikansinya dalam perkembangan peradaban Islam secara umum.


Menjaga Otentisitas Al-Qur’an dan Al-Hadits


Hafalan, sebagaimana yang disinggung di atas, bukanlah metode belajar yang berdiri sendiri. Ia bagian dalam proses menuntut ilmu yang secara langsung diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat ketika itu. Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasul saw untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya.

Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin). Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan sebagai penunjang semata (baca: M.M. Al-A’zami).

Demikian halnya dengan hafalan Al-Hadits, juga sangat berperan dalam menjaga otentisitas dan keberlangsungan Hadits-Hadits Nabi saw. Sebagaimana kita ketahui, sepanjang hidup Nabi saw, tidak banyak Sunnah yang ditulis melainkan dihafal. Ini sesuai perintah beliau sendiri, mengingat di masa itu pembelajaran sahabat lebih terfokus kepada Al-Qur’an.

Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).

Melihat latar belakang ini, wajar jika terminologi ‘hafalan’ dalam tradisi Islam selalu merujuk pada hafalan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh sebab itu, ketika para missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen menyerang tradisi hafalan ini, maka sejatinya mereka menyerang Al-Qur’an dan Al-Hadits. Khusus serangan terhadap Al-Qur’an mereka lakukan setelah sebelumnya gagal menghancurkan Sirah dan Sunnah Rasulullah saw (lihat: Daniel & Preideaux). Tujuannya agar umat Islam merasa minder untuk menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga akhirnya, kedua sumber pokok umat Islam ini ditinggalkan. Jika dituruti, tentu sangat merugikan umat Islam sendiri.

Hafalan dan Aktivitas Intelektual

Sebagai utusan Allah swt, baginda Rasul saw, penerima wahyu (Al-Qur'an) memiliki kemampuan menangkap, memahami, dan menafsirkan firman Allah swt dengan sangat baik. Jadi, seperti apa dan bagaimana kandungan Al-Qur’an dijelaskan dan dilakukan langsung oleh beliau (QS. al-Nahl: 44). Hal ini beliau lakukan dengan cara-cara yang khas yang berbeda dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview (baca: Islamic Science).

Makanya, di samping berkaitan dengan otentisitas, hafalan juga berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan. Apalagi, Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah sumber pokok ajaran Islam, dan kandungannya sarat dengan ilmu pengetahuan. Sehingga, semakin ia difahami, dieksplorasi, dikembangkan dan diamalkan, maka peradaban Islam akan semakin maju, demikian sebaliknya.

Ibnu Mas’ud, seorang sahabat senior berkata, “Ketika kami belajar Al-Qur’an, maka kami tidak akan melewati sepuluh ayat kecuali setelah menguasainya, mengerti dan mengamalkan isinya.”

Untuk semua kegiatan ini, di rumah-rumah para sahabat Nabi saw berdiri Halqah-halqah, salah satunya di rumah sahabat Arqam Ibnu Abi Arqam. Ini menunjukkan bahwa betapa kegiatan tersebut berjalan dengan intensitas tinggi. Halqah yang ada di Makkah disebut Halqah ar-Ridhwan, sedang yang di Madinah sering disebut Halqah ath-Thaybah. Dari Halqah-halqah inilah lahir para sahabat yang hafidz sekaligus memiliki pengetahuan yang sangat mendalam.

Hafalan Hadits pun demikian, diikuti pemahaman. Para ulama, dalam menghafal satu Hadits misalnya, diperoleh dari ulama yang otoritatif, bukan sekedar dari membaca buku yang diproduksi secara luas tanpa bimbingan orang-orang yang ahli (Al-Muhaddith). Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim misalnya, dua Muhaddith yang sejak kecil berkunjung ke berbagai tempat dan negara hanya untuk menemui dan belajar langsung kepada para ulama yang hafal dan memahami Hadits-Hadits Rasul saw dengan sangat baik. Jika sekedar ingin hafal, tentu tidak perlu sampai bertemu langsung dengan Ahl Al-Hadits.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap hafalan Hadits, selalu ada proses pemahaman ilmu dari sang ulama kepada sang murid tentang Hadits yang bersangkutan. Oleh karenanya, umat Islam masa klasik tidak pernah diresahkan oleh Hadits-hadits atau ayat-ayat yang bertebaran secara sepotong-potong di tengah umat. Ayat-ayat dan Hadits selalu dipelajari dalam konteks, tidak sekedar dihafalkan tanpa penjelasan yang memadai.

Dari aktivitas memahami, menghafal, mengkaji dan mengembangkan seminal-seminal konsep yang terdapat di dalam Al-Qur’an inilah perdaban Islam berkembang dan kokoh. Peradaaban Islam itu sendiri ditopang oleh pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) yang komprehensif dan tetap. Disusul kemudian kematangan epistemologi Islam dan ilmu-ilmu keislaman yang terus eksis hingga hari ini.

Melihat peran sentral hafalan di atas, maka tidak heran jika para ulama memberikan perhatian serius terhadapnya. Bahkan ada yang sampai menyatakannya sebagai prasyarat bagi siapapun yang ingin mendalami ilmu-ilmu Keislaman secara luas. Sebab bagi mereka, menuntut ilmu itu ada tahap-tahapnya. Dan tahap yang paling atas dan utama adalah menghafal Al-Qur’an, terang Abu Umar bin Abdil Barr.

Al-Hafizh An-Nawawi juga menegaskan: “Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, dimana itu adalah ilmu yang terpenting diantara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu Hadits dan Fiqh kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an (An-Nubadz fii Adabi Thalabil ‘Ilmi, p. 60-61).

Makanya, dulu, yang lahir adalah para ulama yang selain hafal Al-Qur’an, juga hafal dan menguasai (ahli) sekian banyak Hadits Rasulullah saw. Mereka juga mewariskan karya-karya brilian yang memberi manfaat hingga hari ini. Ada Ibnu Jarir ath-Thabari yang selain masyhur sebagai Mufassir juga pakar dalam Hadits, fiqih, sejarah bahkan sempat menulis tentang matematika. Lalu, ada Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, Imam Al-Ghazali, dan lainnya */bersambung, "Mengapa Barat“Menganak-tirikan” Hafalan?

Penulis adalah alumni sekaligus pengajar di PP. Al-Amien Prenduan-Madura. Sekarang sedang menyelesaikan Program Pascasarjana di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Akidah. Selain itu, juga aktif sebagai peneliti pada Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) ISID Gontor Ponorogo

http://hidayatullah.com/read/17926/11/07/2011/tradisi-hafalan-dalam-kemajuan-peradaban-islam.html

(Catatan sahabat saya : Asmu'i Marto)