bunga

Kompleksitas Permasalahan di Timur-Tengah

Kompleksitas Permasalahan di Timur-Tengah

Oleh. A Ajidin

A. Pendahuluan.

Kejadian 11 September 2001 yang lalu, setelah gedung WTC dan Pentagon yang merupakan dua simbol ketahanan Amerika Serikat telah jatuh ditangan teroris, itu kata mereka. Setelah kejadian tersebut, AS selalu getol meng-kampanyekan slogan pemberantasan “Terorisme”. Sampai-sampai penyerangan AS terhadap Irak salah satu dalihnya adalah, karena adanya terorisme, walaupun pada kenyataannya berawal dari adanya teori adanya senjata pemusnah massal yang membahayakan keamanan dunia. Yah! lebih tepatnya disebut dengan senjata Nuklir. Isu itulah semakin merebak keberbagai pihak, dan berbagai lapisan yang ada. Padahal kalau kita perhatikan isu itu telah basi, justru yang harus diperhatikan adalah, bagaimana mencarikan solusi pemecahannya.

Isu yang paling menyeruak sekarang adalah, problematika Tim-Teng tentang permasalahan konflik Palestina yang masih tetap berjalan sampai saat ini. Yang perlu kita pikirkan adalah, bagaimana negara Palestina bisa keluar dari konflik tersebut. Yah! Minimalnya bangsa Palestina bisa merasakan kemerdekaan yang terbebas dari penjajahan yang melanda negaranya, sejak tahun 1919 perang Dunia Pertama, sampai saat ini yang terjadi pada tahun 1948.

Ada dua fase penting yang harus kita perhatikan, kenapa Amerika selalu getol mengorek-ngorek stabilitas dunia Arab. Dua fase tersebut diantaranya; pertama, fase perang dingin, dan kedua, fase setelah perang dingin. Sedangkan fase pada perang dingin mencakup beberapa unsur penting yang bisa dijadikan standarisasi rujukan, kenapa sih Amerika Serikat selalu ingin ikut campur di dunia Arab. Pertama; Setelah jatuhnya negara Uni Soviet, ia (AS) semakin gencarnya menghegemoni bangsa-bangsa lain. Sebagaimana dikatakan oleh para pengamat politik, bahwasannya politik dan strategi AS ingin menguasai dunia Arab setelah adanya perang dunia kedua pada abad 20-an, yang terjadi sekitar tahun 50-an. Dimana Uni Soviet tidak diperbolehkan untuk mendekati daerah regional, apalagi setelah Uni Soviet mengadakan perjanjian senjata dengan Mesir pada 1955. Kedua, Permasalahan minyak, inilah yang paling dominan. Apalagi setelah selesai perang dunia kedua orientasi politik AS pada negara Arab, bukan lagi permasalahan stabilitas keamanan dan perdamaian akan tetapi lebih lagi tentang permasalahan minyak yang menjadi isu sentral. Karena minyak merupakan salah sumber daya alam (SDA) yang besar yang dimiliki bangsa Arab. Apalagi setelah bangsa Arab menjadikan minyak sebagai senjata penting untuk mengalahkan peperangan. Hal ini terjadi pada oktober 1973. Ketiga; jaminan keamanan bagi bangsa Israel. Salah satu cara bagaimana AS mudah untuk menguasai bangsa Arab secara keseluruhan, maka jalan yang terpenting adalah, membantu bangsa Israel dari ancaman bangsa Arab untuk dijadikan sebagai fatner-nya.[1]

Sedangkan orientasi politik AS setelah perang dingin mempunyai beberapa unsur, akan tetapi ada tiga unsur penting yang harus kita perhatikan. Pertama; bentrokan antara bangsa Arab—Israel, kedua; keamanan daerah Teluk, dan ketiga; mengusung jargon demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Saya fikir unsur ketiga ini-lah yang menjadi titik sentral yang sering kita dengar didengung-dengungkan oleh Amerika Serikat.[2]

B. Pengentasan Kemiskinan dan Kebodohan.

Isu tentang pengentasan kemiskinan dan kebodohan pasti sering kita dengar diberbagai negara, bahkan diberbagai kalangan pengamat, peneliti, ilmuwan, cendikiawan, dan mahasiswa sekalipun mereka berbicara tentang hal tersebut. Akan tetapi betapa sulitnya isu tersebut direalisasikan, dan diaplikasikan.

Kebahagian manusia telah menjadi tujuan utama dari semua masyarakat. Namun, ada perbedaan pandangan mengenai apa yang membentuk kebahagian itu dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan. Meskipun kondisi meteriil bukanlah satu-satunya isi dari kebahagian itu, pandangan sekuler modern yang sangat menekankan pada kondisi-kondisi demikian tampak percaya bahwa kebahagian dapat dijamin bila tujuan-tujuan materi tertentu dapat direalisasikan. Tujuan-tujuan ini antara lain adalah pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi semua individu, ketersediaan peluang bagi setiap orang untuk dapat hidup secara terhormat, dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Bagaimanapun juga tidak ada sebuah negara di dunia ini, baik itu kaya maupun miskin, yang telah berhasil merealisasikan sasaran meteriil ini.[3]

Hingga misalnya, negara Mesir sekalipun belum bisa mengadakan pemerataan kemiskinan dan pengentasan kebodohan. Namun sedikitnya, ada semacam usaha untuk menuju ke-arah itu. Seperti, dengan adanya propaganda-propaganda, iklan-iklan, dan gerakan tertentu untuk senantiasa berusaha mengajak pada masyarakatnya untuk maju. Apakah itu, dalam pendidikan, perekonomian, dan budaya, semuanya telah digerakan untuk kemajuan masyarakatnya. Sebagaimana telah disampaikan oleh PM, Ahmad Nazhif pada sidang MPR-nya.

C. Pemahaman Islam nan parsial, menjadikan timbulnya perpecahan dan saling memusuhi penuh kecurigaan.

Sampai tahun-tahun 1960-70-an, pemikiran manusia telah mengetahui gagasan khusus tentang dunia, atau dunia-dunia dalam bentuk jamak. Gagasan ini sendiri menumbuhkan sejumlah besar gambaran yang memiliki aneka produktifvitas spritual, artistik, dan ilmiah yang sesuai dengan lingkungan budaya dan berbagai pengalaman sejarah. Oleh karena itu, berkat Copernicus, Galileo, dan Kepler, manusia melampui “dunia yang tertutup” ke dunia yang “tanpa batas”. Apa yang dinamakan hubungan internasional dulunya sama sekali tidak mencakup konsep globalisasi sebagai kekuatan-kekuatan aktif dan realitas-realitas yang ditemukan atau dialami oleh semua orang dan masyarakat pada masa sekarang.

Globalisasi mempengaruhi semua tradisi budaya, agama, filsafat, dan politik hukum yang telah ada; bahkan modernitas yang muncul dari pemikiran Pencerahan pun tidak luput dari pengaruh tersebut. Itulah sebabnya, sejak tahun-1980-an, banyak pengamat, pemikir, dan peneliti, khususnya di Amerika Serikat, berbicara tentang pasca-modernitas. Lintasan sejarah linier yang dimulai di Eropa Barat selama abad ke-17 dan ke-18, globalisasi memaksa orang-orang Eropa sendiri untuk berbicara mengenai batasan-batasan dan efek-efek negatif dari pemikiran pencerahan yang telah memungkinkan dibentuknya negara-negara bangsa sekuler, demokrasi, dan liberal, kemajuan penelitian ilmiah dan transisi dari solidaritas-solidaritas karena kesamaan suku, darah, dan keyakinan.[4]

Dari pengaruh globalisasi yang tak bisa dibendung membuat kita kewalahan dalam menangkisnya. Karena hal itu, merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Yang paling penting yang harus kita lakukan adalah, bagaimana menghadapi globalisasi modern dengan pemaham islam yang komprehensif. Dengan begitu, tidak adanya saling kecurigaan dan saling menuduh antara yang satu dengan yang lain. Sebagaimana yang telah terjadi dimana belahan dunia, seolah-olah islam yang menjadi malapetaka bagi umat manusia. Padahal sesungguhnya, justru dengan islam itulah manusia hidup penuh dengan kedamaian. Tapi kita tidak bisa memungkiri bahwasannya mungkin disebahagian negara, ataupun disebahagian lapisan masyarakat islam hanya bisa memahami islam dengan bentuk jihad yang dilakukan dengan kekerasan dan semacamnya. Jihad-itulah yang sering mereka salah pahami.

D. Bias Jender dan partisipasi kaum wanita, klaim dan sudut pandang dunia pada terorisme islam dan keamanan.

Jender menjadi isu yang penting dalam rangka membangun relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan perkembangan di mana keterlibatan perempuan dalam wilayah publik sendiri mendesakkan perlunya kesadaran jender. Dalam berbagai tradisi, menurut Harirah, sejarah perempuan menyisakan tragedi yang buram dan memperihatinkan. Bangsa Yunani dan Romawi pada zaman dahulu menganggap kaum perempuan sebagai budak yang tidak memiliki hak apa pun atas dirinya. Filosof sekaliber Aristoteles pun mengatakan bahwa posisi perempuan dihadapan laki-laki menyerupai posisi hamba dihadapan tuan, pekerja di hadapan ilmuwan dan derajat laki-laki jauh lebih unggul atas perempuan. Di Jazirah Arab, sebelum masa kerasulan (bi’tsah) Nabi Muhammad, bangsa Arab menyikapi dengan penuh kebencian kelahiran bayi perempuan karena dianggap sebagai pembawa bencana, aib, malu dan boleh dikubur hidup-hidup.

Kedatangan islam sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar (basyir), dan pemberi peringatan (nazhir) bagi manusia, membuat pandangan terhadap perempuan berubah. Islam mendeklarasikan laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dihadapan Tuhan. Disparitas antara nilai-nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan yang diajarkan Islam dengan kehidupan praksis tetap berlangsung sampai sekarang, meskipun tidak separah masa sebelumnya. Ini bisa dilihat dari stereotype (pelabelan negatip) dan mitos kultural yang dilekatkan pada perempuan, misalnya tugas perempuan hanya pada wilayah domestik, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, dan sebagainya. Ini merupakan pengaruh budaya patriarkis (male dominated) yang telah merasuk di seluruh ranah kehidupan, ekonomi, sosial, politik, dan juga agama.[5]

Sebenarnya isu-isu tentang Jender telah banyak diusung oleh berbagai kalangan yang fro terhada isu tersebut. Seperti juga, di Mesir pada pemilu Presiden yang lalu sempat ada tercantum nama Nawal Sa’dawi sebagai salah satu calon presiden. Hal ini berarti didunia islam telah ada sedikit pergerakan yang menujukearah sana. Walaupun pada hakikatnya bias Jender tersebut, sangat mempengaruhi pada salah satu pihak, apakah itu pihak laki-laki atau pihak perempuan. Karena mungkin, emansipasi wanita, dan berbagai macam penamaan yang mengistilahkan tentang wanita masih sangat tabu du dunia yang berbasis islam. Beda lagi dengan negara adidaya seperti, Amerika Serkat, dan negara barat lainnya hal itu telah lumrah.

E. Pelanggaran HAM parah dan lemahnya penegakan hukum.

Sejak bubarnya Uni Soviet sebagai kekuasaan geopolitik, Amerika Serikat melakukan pengawasan hegemonik atas semua kekuatan globalisasi. Orang-orang Eropa, termasuk Rusia dan bekas negara-negara yang bergantung padanya, alih-alih memelihara persaingan, tetapi malah mencari berbagai persekutuan, kontrak, dan kerjasama dengan Amerika Serikat. Oleh karena itu, beban hegemoni ini membuat Amerika Serikat merasa lebih superior daripada rakyat dan bangsa yang lain dalam proses emansipasi dan unifikasi. Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri, yang memberikan banyak ilusi mengenai emansipasi nasional dalam konteks perang Dingin, telah menjadi kegilaan ideologis dalam menyikapi bermunculannya perang saudara yang mengoyak-ngoyak banyak masyarakat yang telah lama berada dalam genggaman nasionalisme totaliter dan proyeksikan secara tiba-tiba kepada liberalisme yang buas dari McWorld, yaitu; bantuan kemanusian bagi rakyat-rakyat yang ada dalam bahaya pembunuhan massal. Yang samar-samar dan menyesatkan dengan konsep yang dikembangkan oleh pendahulu mereka (kolonialis). Seperti penidasan yang terjadi di, Palestina, Aljazair Iran, Sudan, Bosnia, Irak, Libanon, dan sebagainya.[6]

Saya pikir semua kejadian yang menindas pada umat diberbagai belahan dunia perlu adanya penangan yang serius. Di sinilah peran aktif PBB yang kita harapkan untuk menangani berbagai kasu dunia. Dan salah satu kasus yang paling penting adalah, tenang HAM (hak asasi manusia) yang sering diusung oleh bangsa-bangsa yang telah maju. Akan tetapi yang paling aneh, hak-hak bangsa Palestina yang sering mendapatkan jajahan dari bangsa Israel sering terabaikan. Seperti, apakah sebenarnya HAM itu?.

F. Diktatorisme politik dan pembungkaman pendapat dan hak suara

Istilah dikatator, sewenang-wenang, zalim semua istilah itu sebenarnya sudah tidak asing lagi ditelinga kita semua. Dalam suatu pemerintahan, negara, organisasi, ataupun hanya kumpulan manusia yang terdiri dalam beberapa orang, itu semua tidak terlepas dari suatu kendali. Nah! Kendali itulah yang dipangku oleh seseorang, apakah seseorang itu berbuat adil, atau demokrasi, atau dia berbuat zalim, atau dikatator. Semuanya tergantung pada pondasi dasar pemimpin tersebut.

Suatu contoh, ketika AS menyerang Irak dalam satu pihak rakyat Irak mendukung, dan dalam pihak yang lain menentang. Mungkin bisa jadi masyarakat yang mendukung tentang kejatuhan rezim Saddam Husain itu, sudah tidak merasakan kebebasan dan keamanan lagi, atau mungkin juga sudah bosan dengan rezim tersebut. Karena suatu pemerintahan kalau sudah berkuasa dalam tempo waktu yang lama, akan mengalami sebuah kristalisasi penetapan kekuasaan.

Sampai sekarang hampir disemua negara sudah timbul berbagai tuntutan yang disuguhkan pada pemerintah yang memimpi-nya, karena masyarakatnya merasa tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Hampir semua aspirasi masyarakat dibungkam dengan kekuatan militer yang ada. Tidak jauh-lah negara Mesir sekarang ini, walaupun dikoran-koran, media-media cetak telah di dengung-dengungkan kebebasan bersuara, pemilu secara demokratis, tapi semua itu masih dalam tahap teoritis. Itu hampir terjadi dibelahan dunia yang ada. Hak suara dan kebebasan berpendapat masih tetap saja terbungkam dengan rezim yang berkuasa.

G. Penutup.

Dari pemaparan diatas masih-lah sangat jauh dari sebuah analisis, apalagi dikatakan dengan judul yang saya tulis “sangat komplek-nya permasalahan di Timteng” itu tidak mewakilinya pada permasalahan tersebut. Akan tetapi mudah-mudahan bisa mengantarkan pada diskusi kita pada kali ini, untuk bisa menganalisa permasalahan yang ada Timur-tengah sekarang ini. Karena dengan sangat kompleks permasalahan tersebut, saya hampir tidak bisa menyimpulkan hal yang mana yang harus dtuangkan pada tulisan kali ini.

Saya hanya bisa mengajak teman-teman untuk sama-sama melihat dan menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada sekaranga ini. Apakah kita akan memulai dari permasalahan, Palestina, Libanon yang semakin terpuruk, atau kita akan melihat permasalahan Sudan, Irak, Syiria, dan negara-negara yang lain yang terus menjadi tema sentral kajian kita kali ini.

Pada kesimpulannya, saya mengajak mari kita sama-sama menganalisis dan memberikan solusi terbaik bagi umat yang tertindas. Akan bisakah kita memberikan solusi konkrit bagi mereka?, atau hanya teori semata yang hanya bisa berikan kepada mereka untuk sekarang ini. Wallau’alam.

Makalah Kajian CIMAS (Center For Information of Middle East and Africa Studies)

Wisnu,Kamis 21 pebruari 2008


[1] Lihat: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah “Shana’at al-Karahiyah fii al-‘Alaqat al-Arabiyah—al-Afrkiyah, hal:71-73. Cet. III.

[2] Ibid, hal: 91.

[3] Lihat: Islam dan Tantangan Ekonomi, DR. M. Umer Chapra, hal: 1, pen: Gema Insani Pres.

[4] Lihat: Farhad Daftray (ed.), “Tradisi-tradisi Intelektual Islam”, hal: 263, Pen; Erlangga

[5] Lihat: Islam Emansipatoris, menafsir Agama untuk praksis pembebasan, Very verdiansyah, hal: 142-143, pen; P 3M.

[6] Ibid. hal; 266.

(Dari : sahabatku Aa Ajid)